Thursday, May 29, 2008

Pembangunan Berfokus Manusia: Antara Desentralisasi Governance dan Pelayanan Pendidikan

Pengantar
Pembangunan berfokus manusia (people centered development) bukan hal yang baru dalam wacana konsep maupun praktik pembangunan. Konsep pembangunan dengan fokus manusia harus dipahami sebagai suatu proses pembangunan yang memperhatikan kepentingan manusia sebagai manifestasi dari rakyat, terutama rakyat miskin. Pada dasarnya, pemahaman terhadap pembangunan menghasilkan ide kemajuan, dan hal tersebut berkonotasi ke depan atau ke tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, pembangunan harus dipahami sebagai suatu proses yang berdimensi jamak yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap masyarakat dan kelembagaan nasional, seperti halnya percepatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan, dan pemberantasan kemiskinan absolut.

Konsep tersebut muncul sebagai reaksi terhadap kegagalan model pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dalam mewujudkan kesejahteraan secara merata tidak terwujud. Kesadaran bahwa pembangunan seyogianya menjadi sarana untuk mengentaskan kemiskinan telah melahirkan model pembangunan yang bertumpu pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia, yakni pendidikan, kesehatan, dan pelayanan dasar. Namun, dalam praktiknya, model pembangunan yang bertumpu pada pemenuhan pelayanan dasar (basic needs development) juga ternyata memiliki kelemahan karena seringkali terjebak pada dominasi peran birokrasi pemerintah sebagai penentu dan pelaksana program. Alih-alih memulihkan martabat manusia, pendekatan top-down yang dominan dalam model pembangunan basic needs justru menciptakan ketergantungan baru masyarakat pada pemerintah.

Seperti halnya pembangunan sebuah gedung atau bangunan lainnya, tidak akan mungkin menghasilkan sebuah gedung atau bangunan besar yang kokoh bila pembangunan itu dilakukan di atas tanah yang lembek, tanpa mengadakan perbaikan atau usaha-usaha memperkuat tanah yang dijadikan landasan bangunan itu lebih dahulu. Demikian pula tidak akan mungkin melaksanakan pembangunan ekonomi yang menyeluruh, kokoh dan kuat di Indonesia, tanpa lebih dahulu mengatasi kelemahan-kelemahan dalam konstelasi masyarakat.

Dalam melaksanakan pembangunan ini, Indonesia tidak boleh melupakan unsur manusia yang tinggal di dalamnya. Penduduk harus ditempatkan sebagai titik sentral kegiatan pembangunan. Masalah kependudukan yang dihadapi Indonesia tidak hanya masalah pertumbuhan penduduk dan pengangguran saja, melainkan juga menyangkut kualitas sumber daya manusia (SDM). SDM yang tidak berkualitas akan mengalami kesulitan dalam upaya mencari penghidupan yang layak. Akibatnya, kemiskinan akan merebak dimana-mana.

Selama ini, pembangunan yang dilaksanakan lebih diartikan sebagai kegiatan mendirikan gedung-gedung, membangun jalan-jalan dan infrastruktur. Pembangunan lebih menekankan pada aspek fisik. Padahal hakikat pembangunan tidaklah sesempit itu. Pembangunan pada akhirnya harus bermanfaat bagi masyarakat yang tinggal di dalamnya. Jadi pembangunan harus dapat mengangkat kualitas dari masyarakatnya.

Human Capital merupakan salah satu determinan penting dalam proses pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, pembangunan manusia membutuhkan sumber daya, seperti untuk pembiayaannya, yang mana bersumber dari pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, terdapat hubungan dua arah antara pembangunan manusia dan kinerja ekonomi. Human capital merupakan salah satu faktor penting dalam proses pertumbuhan ekonomi. Dengan human capital yang berkualitas, kinerja ekonomi diyakini juga akan lebih baik. Kualitas ini dapat dilihat dari tingkat pendidikan, kesehatan, ataupun indikator-indikator lainnya. Oleh sebab itu, dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi perlu pula dilakukan pembangunan manusia di seluruh daerah di Indonesia. Kebijakan pembangunan yang tidak mendorong peningkatan kualitas manusia masing-masing daerah hanya akan membuat daerah yang bersangkutan tertinggal dari daerah yang lain, termasuk dalam hal kinerja ekonominya. Dengan kata lain, peningkatan kualitas modal manusia juga akan memberikan manfaat dalam mengurangi ketimpangan antar daerah.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa antara human capital dan pertumbuhan ekonomi sebetulnya terdapat hubungan yang saling mempengaruhi. Lebih jauh, Ramirez dkk (1999) menyebutkan bahwa ada hubungan timbal balik (two-way relationship) antara human capital dan pertumbuhan ekonomi dan itu sudah diterima secara luas namun faktor-faktor spesifik yang menghubungkannya masih kurang dieksplorasi secara sistematis. Berdasarkan penjelasan di atas, kajian empiris terhadap hubungan timbal balik antara pembangunan manusia / human capital (human development) dan kinerja ekonomi kiranya penting dilakukan. Studi Ramirez dkk (1999) berangkat dari terdapatnya hubungan dua arah antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia (human development). Adapun kedua rantai hubungan yang dimaksudkan Ramirez dkk tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama adalah dari pertumbuhan ekonomi ke human development. Kinerja ekonomi mempengaruhi human development, khususnya melalui aktivitas rumah tangga dan pemerintah, selain adanya peran civil society seperti melalui organisasi masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat. Dalam membelanjakan pendapatan bersih, rumah tangga cenderung untuk barang-barang yang memiliki kontribusi langsung terhadap pembangunan manusia (seperti makanan, air, pendidikan dan kesehatan) dan tergantung pada sejumlah faktor seperti tingkat dan distribusi pendapatan antar rumah tangga dan siapa yang mengontrol alokasi pengeluaran dalam rumah tangga. Sudah umum diketahui bahwa penduduk miskin menghabiskan porsi pendapatannya lebih banyak ketimbang penduduk kaya untuk kebutuhan pembangunan manusia. Sementara itu, perempuan juga memiliki andil yang tidak kecil dalam mengatur pengeluaran rumah tangga. Makin tinggi pendidikan perempuan akan makin positif pula bagi pembangunan manusia. Sehubungan dengan itu dapat dikatakan bahwa pembangunan manusia ditentukan bukan hanya oleh tingkat pendapatan, tetapi juga oleh distribusi pendapatan dalam masyarakat, termasuk peran perempuan dan peran pemerintah. Peran pemerintah dalam human development merupakan fungsi dari tiga hal, yakni total pengeluaran sektor pemerintah, berapa banyak yang dialokasikan untuk sektor-sektor pembangunan manusia, dan bagaimana dana tersebut dialokasikan di dalam sektor tersebut. Pengeluaran pemerintah untuk sektor sosial dan pendidikan perempuan penting artinya dalam memperkuat hubungan pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan manusia. Adapun peran organisasi masyarakat dan LSM sendiri umumnya sebagai pelengkap, hanya di sejumlah negara tampak sangat dominan karena menjadi pendorong terpenting bagi pembangunan manusia.

Kedua adalah dari human development ke pertumbuhan ekonomi. Mengenai hubungan dari human development ke pertumbuhan ekonomi tersebut relatif sudah banyak diungkapkan. Tingkat pembangunan manusia yang tinggi akan mempengaruhi perekonomian melalui peningkatan kapabilitas penduduk dan konsekuensinya adalah juga pada produktifitas dan kreatifitas mereka. Pendidikan dan kesehatan penduduk sangat menentukan kemampuan untuk menyerap dan mengelola sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baik dalam kaitannya dengan teknologi sampai kelembagaan yang penting bagi pertumbuhan ekonomi. Dengan pendidikan yang baik, pemanfaatan teknologi ataupun inovasi teknologi menjadi mungkin untuk terjadi. Begitu pula, modal sosial akan meningkat seiring dengan tingginya pendidikan. Tentu dalam hal ini juga penting adanya investasi dan juga distribusi pendapatan. Dengan distribusi pendapatan yang baik membuka kemungkinan bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dengan meratanya distribusi pendapatan maka tingkat kesehatan dan juga pendidikan akan lebih baik dan pada gilirannya juga akan memperbaiki tingkat produktifitas tenaga kerja. Sementara itu, investasi juga memungkinkan sumber daya manusia untuk bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, pengaruh pembangunan manusia terhadap pertumbuhan ekonomi akan lebih meyakinkan jika memang sudah ada kebiasaan untuk mendukung pendidikan yang baik yang mana tergantung pada tahapan pembangunan itu sendiri. Selain itu, pengaruh positif itu juga jika terdapat tingkat investasi yang tinggi, distribusi pendapatan yang lebih merata, dukungan untuk modal sosial yang lebih baik, serta kebijakan ekonomi yang lebih memadai.

Secara empiris, Garcia dan Soelistianingsih (1998) telah mengestimasi pengaruh variabel human capital yang diukur dengan pangsa penduduk berumur 10 tahun ke atas yang berpendidikan tingkat dasar atau menengah, rasio murid terhadap guru (untuk mengukur coverage upaya pendidikan dan efisiensi penggunaan sumber daya untuk pendidikan), fertilitas total (jumlah rata-rata anak yang lahir untuk setiap perempuan berumur 15 sampai 49 tahun). Temuannya adalah bahwa investasi untuk pendidikan dan kesehatan memang dibutuhkan untuk mengurangi ketimpangan pendapatan regional. Sedangkan Wibisono (2001) memasukkan variabel-variabel educational attaintment (diukur dengan tingkat pendidikan yang berhasil ditamatkan), angka harapan hidup (life expectancy), tingkat fertilitas (fertility rate), tingkat kematian bayi (infant mortality rate), laju inflasi dan juga variabel dummy regional juga terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Dari estimasi-estimasi yang dilakukan, diperoleh temuan bahwa variabel yang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan adalah pendidikan, angka harapan hidup, dan tingkat kematian bayi.

Salah satu determinan penting dalam proses pertumbuhan ekonomi adalah sumber daya manusia atau human capital. Di sisi lain, pembangunan manusia membutuhkan sumber daya lain, seperti untuk pembiayaannya, yang mana bersumber dari pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebetulnya terdapat hubungan dua arah antara pembangunan manusia dan kinerja ekonomi. Persoalan ini kiranya makin penting dalam konteks otonomi daerah dalam rangka memperkecil ketimpangan pembangunan antar daerah oleh karena sumber daya manusia yang berkualitas juga turut menentukan kemajuan ekonomi daerah yang bersangkutan.

Terkait dengan perlunya pemerintahan yang terdesentralisasi dalam rangka mewujudkan pembangunan manusia, maka terdapat pengertian dan penafsiran terhadap desentralisasi yang sangat beragam antar negara, antar ilmuwan, maupun antar praktisi pemerintahan. Sebagaimana dinyatakan oleh Devas (1997:351-352), bahwa istilah desentralisasi memiliki makna yang berbeda untuk orang yang berbeda, dan pendekatan terhadap desentralisasipun sangat bervariasi dari negara yang satu ke negara yang lain.

Turner dan Hulme (1997:152-153) juga mengungkapkan bahwa berbagai penulis mengajukan pengertian yang sangat berbeda tentang desentralisasi sehingga muncul ambiguitas yang begitu besar di sekitar konsep tersebut. Meskipun demikian, terdapat sebuah kesepakatan umum bahwa desentralisasi sangat diperlukan untuk mempromosikan sosok pemerintahan yang lebih baik, lebih efektif, dan lebih demokratis. Baik di negara maju maupun berkembang, desentralisasi merupakan salah satu elemen kunci terhadap agenda reformasi yang dijalankan. Sebagai sebuah konsep, Rondinelli (1999:2) mendefinisikan desentralisasi sebagai transfer kewenangan dan tanggungjawab fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat kepada unit dibawahnya atau organisasi pemerintahan semi independen. Lebih lanjut, Turner dan Hulme (1997:152) berpendapat bahwa desentralisasi di dalam sebuah negara mencakup pelimpahan kewenangan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat, dari pejabat atau lembaga pemerintahan di tingkat pusat kepada pejabat atau lembaga pemerintahan yang lebih dekat kepada masyarakat yang harus dilayani.

Dengan demikian jelaslah bahwa wacana desentralisasi selalu berkaitan dengan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, baik di bidang politik maupun sosial ekonomi. Dengan kata lain, desentralisasi yang muncul di sebagian besar negara di dunia lebih banyak dipicu oleh alasan-alasan politik dan ekonomi. Dari perspektif politik, Ford (1999:6-8) dan Javier (2000:2-3) memberikan ilustrasi menarik tentang pertimbangan politis perlunya desentralisasi di beberapa negara. Mereka mengungkapkan temuan bahwa di Amerika Latin, desentralisasi adalah bagian dari proses demokratisasi dimana rezim autokrasi digantikan oleh pemerintahan yang dipilih oleh rakyat berdasarkan konstitusi yang baru. Di Afrika, penyebaran sistem politik multi partai telah mengakibatkan tuntutan diakomodasikannya suara rakyat dalam pengambilan keputusan. Sedangkan di beberapa negara seperti Ethiopia, desentralisasi ditempuh sebagai reaksi terhadap tuntutan dari daerah atau kelompok-kelompok etnik terhadap sebuah kontrol partisipasi yang lebih besar dalam proses politik.

Dalam bentuknya yang lebih ekstrim, desentralisasi menggambarkan suatu upaya yang serius agar sebuah negara mampu mengelola berbagai tekanan dan tuntutan tadi secara lebih baik melalui pemberian otonomi yang lebih besar. Di Mozambique atau Uganda, desentralisasi juga merupakan hasil dari sebuah perang saudara yang panjang, dimana politik lokal telah memungkinkan partisipasi yang lebih luas bagi faksi-faksi yang bertikai.

Disisi lain, dari perspektif ekonomi, desentralisasi dapat dilihat sebagai kebutuhan intrinsik bagi pemerintah. Kebutuhan ini lahir sebagai akibat kegagalan pasar (market failures) yang pada gilirannya merangsang timbulnya ide sentralisasi dalam pemerintahan. Dalam hubungan ini, terdapat dua alasan ekonomis yang kuat tentang perlunya desentralisasi. Pertama, adanya variasi dalam preferensi individual tentang barang (dan jasa) privat dan publik, serta kemanfaatannya yang secara umum dicirikan oleh keterbatasan spasial (Owens and Panella, ed., 1991:6). Lebih jauh Ford (1999: 6) menambahkan alasan ekonomis yang mendukung desentralisasi, yakni pertimbangan efisiensi dalam alokasi sumber-sumber ekonomi. Alasan kedua, desentralisasi penting untuk meningkatkan daya saing (competitiveness) pemerintah dan memacu inovasi usaha, sehingga pemerintah dapat berbuat sesuatu untuk memuaskan harapan masyarakat.

Seiring dengan alasan tentang perlunya desentralisasi tersebut, maka desentralisasi secara umum dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) tipologi, yaitu (a) desentralisasi politik, (b) desentralisasi administratif, (c) desentralisasi fiskal dan (d) desentralisasi pasar atau desentralisasi ekonomi.

Desentralisasi politik bertujuan untuk memberikan kepada rakyat akses terhadap pengambilan keputusan publik, sedangkan desentralisasi administratif lebih berfokus pada redistribusi kewenangan dan tanggung jawab dalam penyediaan jasa layanan umum antara jenjang pemerintahan yang berbeda. Dalam hal ini, desentralisasi administratif memiliki 3 (tiga) bentuk utama, yakni dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi. Selanjutnya, desentralisasi fiskal bertujuan untuk memberi kewenangan kepada lembaga-lembaga lokal untuk menjalankan fungsi-fungsi yang telah diserahkan atau dilimpahkan, sekaligus merumuskan keputusan tentang pengeluaran anggaran, serta kewenangan untuk menggali sumber-sumber pendapatannya sendiri. Adapun desentralisasi ekonomi atau pasar diarahkan pada terjadinya alih tanggung jawab dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintah dari sektor publik kepada sektor privat.

Desentralisasi pasar ini merupakan bentuk sempurna dari desentralisasi, yang secara konkrit dapat berupa kebijakan privatisasi atau deregulasi (Rondinelli, 1999: 2-4). Pada tataran global, trend desentralisasi ini tidak hanya banyak diterapkan oleh Negara maju, namun juga hampir diseluruh negara berkembang di dunia. Dan trend ini sejalan dengan trend besar lain, yakni perubahan dari konsepsi government kepada governance. Pada konsep “government”, pemerintah (baik pusat maupun daerah) ditempatkan sebagai pelaku utama pembangunan, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi. Pemerintah juga menjadi penyandang dana terbesar sekaligus sebagai penerima benefit (beneficiary) terbesar.

Dengan berkembangnya paradigma governance, pola hubungan antar sektor (publik-privat) dan juga hubungan pusat – daerah berubah menjadi lebih sejajar (egaliter) dan demokratis. Pada pola seperti itu, penyelenggaraan jasa layanan atau fungsi pemerintahan tertentu tidak lagi di dominasi oleh satu pihak (pemerintah). Ini berarti pula bahwa proses kemitraan dan kerjasama harus lebih digalakkan melalui pengurangan peran pemerintah pada satu sisi, dan penguatan peran swasta pada sisi lain. Adapun pertimbangan atau alasan-alasan perlunya mendorong pemerintahan yang desentralistik sekaligus memperkuat kerjasama publik – privat, paling tidak dapat dilihat dari 3 dimensi sebagai berikut:
  1. Alasan politis: menciptakan pemerintah yang demokratis (egalitarian governance) serta untuk mendorong perwujudan good governance and good society.
  2. Alasan administratif: adanya keterbatasan sumber daya pemerintah (government resources), baik dalam hal anggaran, SDM, asset, maupun kemampuan manajemen.
  3. Alasan ekonomis: mengurangi kesenjangan (disparity) atau ketimpangan (inequity), memacu pertumbuhan (growth) dan produktivitas, meningkatkan kualitas dan kontinuitas (quality and continuity), serta mengurangi resiko.
Dalam kerangka “good governance” perlu dibangun saluran-saluran untuk memungkinkan terciptanya “participatory democracy”, baik dalam proses pembuatan kebijakan maupun implementasinya. Guna tercapainya kesejahteraan masyarakat diperlukan kestabilan penyelenggaraan pemerintah daerah. Visi mensejahterakan masyarakat harus dibangun dan dijadikan acuan oleh kedua lembaga tersebut. Menurut Hatta (1957), demokrasi tidak saja mendidik orang bertanggungjawab mengenai keselamatan dan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga menanam perhatian terhadap usaha-usaha publik. Setiap orang harus bersedia mencurahkan perhatian dan tenaganya untuk membela kepentingan umum tanpa mengharapkan imbalan jasa. Kewajiban membela kepentingan bersama, keselamatan dan kesejahteraan umum di dalam lingkungan hidup yang besar dan kecil. Oleh karena itu, secara khusus Hatta mengingatkan kepada DPRD bahwa “Dewan-dewan itu adalah tempat untuk menyatakan perhatian dan rasa tanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan umum. Dewan-dewan itu bukanlah tempat untuk mencari rezeki. Siapa yang ingin mencari rezeki dan memperoleh keuntungan, janganlah menjadi angota DPRD, menjadilah saudagar atau pengusaha atau pengacara atau mengerjakan pekerjaan lain yang menghasilkan nafkah hidup”.

Sesuai dengan arahan TAP MPR No. IV/MPR/2000 penyelenggaraan pemerintahan daerah ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemberian layanan publik dan pembangunan lokalitas. Dalam rangka “good governance”, pemberian layanan dan barang publik perlu melibatkan sektor swasta dan komunitas dengan tetap menjunjung tinggi berbagai prinsip transparansi, akuntabilitas, efisensi, keadilan dan penegakan hukum. Strategi demikian juga terkait dengan sejumlah kendala yang dihadapi daerah otonom termasuk dalam sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk dapat memuaskan para pelanggannya yang berstatus juga sebagai warga masyarakat (citizen). Oleh karena itu, distribusi barang dan jasa publik tidak mungkin sepenuhnya dipikul oleh birokrasi setempat. Sesuai dengan paradigma reinvinting government kini berkembang bergesernya peran pemerintah daerah dari services provider ke services enabler untuk mengakomodasi pergeseran paradigma dari rowing the boat ke steering the boat yang terkandung dalam konsep governance.

Melalui good governance diharapkan pula, pada pemerintahan daerah/lokal akan terbangunnya pemerintah yang kuat, sehat, kredibel dan berwibawa dan begitu pula dengan masyarakatnya. Sehingga pemerintah dan masyarakatnya memiliki hubungan yang sejajar, bukan hubungan yang subordinasi. Seringkali pemerintah selalu merasa superior terhadap masyarakatnya. Dalam konteks ini, seringkali pemerintah mengabaikan aspirasi dan kepentingan masyarakatnya. Good governance pada akhirnya mengacu kepada civil society yang harus tumbuh dalam pemeritahan lokal/daerah, yakni pemerintah yang kuat dan masyarakat yang kuat, sehingga prinsip keseimbangan pun akan terjadi. Dari prinsip ini diharapkan akan terjadi saling koreksi antara masayarakat dan pemerintah yang pada tahap selanjutnya bisa membangun pemerintahan yang baik di tingkat lokal/daerah tersebut.

Di sisi lain, sebagaimana dikatakan di atas, bahwa otonomi daerah sebagai buah reformasi tak sia-sia atau tak bermanfaat bagi kepentingan masyarakat di daerah. Maka, good governance harus menjadi manifesto politik untuk membangun otonomi daerah tersebut. Untuk itulah, setiap pemerintah daerah/lokal harus didorong dan difasilitasi untuk menjadikan good governance sebagai manifesto politiknya. Dalam konteks ini, dukungan masyarakat juga sangat penting dalam mendukung atau mengusung good governance sebagai manifesto politik bagi keberlangsungan penyelenggaraan otonomi daerah yang “sehat” dan bermanfaat tersebut.

Dengan demikian, otonomi daerah dan proses desentralisasi bisa membawa berkah dan kemaslahatan yang nyata bagi seluruh warga masyarakat daerah tersebut, karena sejak awal sudah dibangun good governance-nya. Tata pemeritahan di lokal/daerah pun menjadi “sehat” secara kelembagaan maupun pelaksana pemeritahannya. Sehingga cerita otonomi daerah bukannya konflik demi konflik antara eksekutif dan legislatif, atau eksekutif dengan masyarakatnya serta korupsi yang beralih dari pemerintah pusat kepada pejabat di daerah. Selain itu, good governance juga merupakan wujud jawaban bagi pemerintah lokal/daerah atas kepercayaan Pemerintah pusat dengan dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah tersebut Sehingga kepercayaan ini tak disia-siakan oleh pemerintah daerah dan tidak dianulir oleh pemerintah pusat. Dan peluang baik untuk membangun daerah dengan prakarsa sendiri tidaklah hilang tanpa bekas.

Desentralisasi adalah suatu paham yang mencoba menggugat kelemahan-kelemahan yang ada pada diskursus sentralisasi. Pemusatan segala urusan publik hanya kepada negara, dengan jargon idealnya Walfare State, dalam realitasnya hanyalah sebatas retorika. Sebab, urusan pelayanan publik yang demikian kompleks, mustahil dapat diurus “secara borongan” oleh institusi negara.

Pelayanan publik dapat diartikan sebagai suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang/kelompok orang atau institusi tertentu untuk memberikan kemudahan dan bantuan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Miftah Thoha,1991). Sedangkan Handayaningrat (1988), membedakan antara pelayanan masyarakat yaitu aktivitas yang dilakukan untuk memberikan jasa-jasa dan kemudahan-kemudahan kepada masyarakat. Sedangkan satu lagi, adalah pelayanan umum (public service) yaitu pelayanan yang diberikan dengan memegang teguh syarat-syarat efisiensi, efektivitas dan penghematan dengan melayani kepentingan umum di bidang produksi atau distribusi yang bergerak di bidang jasa-jasa vital.

Jika dilihat dari segi dimensi-dimensi pelayanan dapat dibagi dalam beberapa jenis, misalnya Chitwood (dalam Frederickson, 1988) menyebutkan apabila pelayanan publik dikaitkan dengan keadilan, maka bisa dibagi ke dalam tiga bentuk dasar, yaitu :
  1. Pelayanan yang sama bagi semua. Misalnya pendidikan yang diwajibkan bagi penduduk usia muda.
  2. Pelayanan yang sama secara proporsional bagi semua, yaitu distribusi pelayanan yang didasarkan atas suatu ciri tertentu yang berhubungan dengan kebutuhan. Misalnya jumlah polisi yang ditugaskan untuk berpratoli dalam wilayah tertentu berbeda-beda berdasarkan angka kriminalitas.
  3. Pelayanan-pelayanan yang tidak sama bagi individu-individu bersesuaian dengan perbedaan yang relevan. Ada beberapa kriteria mengapa pelayanan itu tidak sama antara lain; satu, pelayanan yang diberikan berdasarkan kemampuan untuk membayar dari penerima pelayanan. Dua, penyediaan pelayanan-pelayanan atas dasar kebutuhan-kebutuhan.

Berkembangnya ragam pelayanan publik dan kian tingginya tuntutan pelayanan publik yang lebih efisien, cepat, fleksibel, berbiaya rendah serta memuaskan, akan menjadikan negara pada posisi “kewalahan” manakala masih tetap memaksakan dirinya sebagai satu-satunya institusi yang “paling syah” dalam memberikan pelayanan.


Uphoff (1998) merekomendasi keterlibatan tiga sektor dalam memberikan pelayanan publik, ialah sektor negara (government/state), pasar (market) dan Non Government Organization (NGO)/Grassroot Organization/civil institution. Bahkan ia memandang bahwa keberhasilan suatu pembangunan banyak bergantung kepad rekayasa sinergi yang positif di antara ketiganya. Ketiganya merupakan institusi yang saling melengkapi dan berhubungan.

  1. Pada sektor pemerintahan: (1) yang menjadi mekanisme pengendali adalah organisasi birokrasi yang berlevel mulai dari pusat sampai ke desa, (2) sebagai pengambil keputusan adalah para administrator yang dikelilingi oleh elit ahli, (3) dalam memberikan layanan mendasarkan kepada aturan-aturan birokrasi (perundang-undangan), (4) kriteria keberhasilan keputusan adalah banyaknya kebijaksanaan yang berhasil diimplemenasikan, (5) dalam memberlakukan sangsi mempergunakan kekuasaan negara yang mempunyai sifat memaksa, dan (6) modus operandi layanan mendasarkan mekanisme yang berasal dari atas (top-down) atau pemerintahan sendiri.
  2. Pada sektor privat: (1) mekanisme pengendali lyanan publik mengandalkan proses pasar, (2) pengambilan keputusan dilakukan oleh individu, para penabung dan investor, (3) pedoman perilaku adalah kecocokan harga, (4) kriteria keberhasilan keputusan/layanan adalah efisiensi yaitu memaksimalkan keuntungan dan atau kepuasan dan meminimalkan kerugian dan atau ketidakpuasan, (5) sanksi yang berlaku berupa kerugian finansial, (6) modus operandi pelayanan dilakukan oleh perorangan.
  3. Pada sektor sipil: (1) mekanisme pengendali pelayanan adalah suatu asosiasi sukarela, (2) pembuatan keputusan pelayanan dilakukan secara bersama-sama oleh pemimpin dan anggota, (3) pedoman perilaku adalah persetujuan anggota, (4) yang dijadikan sebagai kriteria keberhasilan suatu keputusan adalah terakomodasinya interes anggota, (5) sanksi yang ada berupa tekanan sosial anggota, dan (6) modus operandi pelayanan dilakukan dari bawah (bottom up).


Pada sektor ketiga, terdapat perbedaan antara Non Government Organization (NGO) dan Grassroot organization (GRO). NGO merupakan organisasi yang jaringannya sampai ke tingkat internasional. Karena itu, strukturnya juga jelas mulai dari tingkat internasional sampai ke tingkat individual. Sedangkan GRO atau organisasi akar rumput adalah suatu organisasi yang tumbuh dari bawah. Ia tidak terstruktur sampai ke tingkat internasional. Bahkan tidak jarang, GRO ini tumbuh dengan tingkatan lokal belaka.


Dengan demikian, sebagai sumber pelayanan publik maka peranan negara sangat komplementer dengan mekanisme pasar (privat) maupun organisasi non pemerintah. Ketiga sumber pelayanan publik itu sama-sama diperlukan di dalam proses transformasi sosial ekonomi masyarakat. Masing-masing seharusnya bekerja secara komplementer di dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat luas.


Banyak contoh yang ditemukan bahwa pelayanan pendidikan, kesehatan, transportasi, fasilitas sosial, dan berbagai pelayanan jasa yang dikelola pemerintah tidak memuaskan masyarakat, bahkan kalah bersaing dengan pelayanan pihak swasta. Gejala ini telah dikemukakan Norman Flyn (1990: 38) bahwa pelayanan publik yang dikelola pemerintah secara hierarkis cenderung bercirikan over bureaucratic, bloated, wasteful, dan under performing.


Pergeseran peran pemerintah daerah menuju model demokrasi, tentu menuntut peningkatan kualitas pelayanan publik. Keterlibatan masyarakat lokal atas prakarsa sendiri menjadi sangat strategis dan menentukan dalam meningkatkan kualitas pelayanan yang mereka terima. Yang perlu dipahami adalah kualitas pelayanan yang berbeda-beda, sesuai dengan kondisi masyarakat, dapat dijalankan, mengingat masyarakat Indonesia bersifat majemuk, baik secara vertikal maupun horizontal: apakah berdasarkan agama, ras, bahasa, geografis, dan kultural. Sebagaimana dikemukakan Hoessein (2001:5) ”Mengingat kondisi masyarakat lokal beraneka ragam, maka local government dan local autonomy akan beraneka ragam pula. Dengan demikian fungsi desentralisasi (devolusi) untuk mengakomodasi kemajemukan aspirasi masyarakat lokal juga akan beraneka ragam. Desentralisasi (devolusi) melahirkan political variety dan structural variety untuk menyalurkan local voice dan local choice.


Mencermati pemikiran tersebut, tujuan desentralisasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dalam kerangka model demokrasi ini harus benar-benar menjunjung nilai-nilai demokrasi dan kemandirian yang berakar dari masyarakat setempat. Melalui wakil-wakilnya, masyarakat dapat menentukan kriteria kualitas pelayanan yang diharapkan di berbagai bidang: pendidikan, kesehatan, transportasi, ekonomi, sosial budaya, dan lain-lain. Masyarakat dapat menentukan bidang pelayanan yang perlu mendapatkan prioritas; bagaimana cara menentukan prioritas itu; oleh siapa dan dimana pelayanan itu diberikan; bagaimana agar pelayanan efektif, efisien, merepresentasikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat, serta masih banyak kriteria lain yang perlu dijelaskan. Karena itu penetapan semua kriteria tersebut dalam model demokrasi sangat ditentukan masyarakat itu sendiri.


UUD 1945 mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Untuk memenuhi amanat konstitusional tersebut, Pemerintah bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan dalam rangka memenuhi hak dasar setiap warga negara untuk memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas. Disadari sepenuhnya bahwa pendidikan merupakan salah satu bidang yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan nasional. Pendidikan yang berkualitas dapat mengantarkan Indonesia menjadi bangsa yang modern, maju, makmur, dan sejahtera yang tercermin pada keunggulan dan kemampuan bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Untuk itu, Pemerintah telah menempatkan pendidikan sebagai salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Pembangunan pendidikan sangat penting karena memberi kontribusi signifikan pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan menjadi landasan yang kuat dalam menghadapi era global yang sarat dengan persaingan antar bangsa yang berlangsung sangat ketat.


Meskipun desentralisasi dan otonomi pendidikan telah dilaksanakan selama tujuh tahun, manajemen pelayanan pendidikan belum sepenuhnya efektif dan efisien. Hal ini disebabkan belum mantapnya pembagian peran dan tanggung jawab antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Pemerintah daerah juga belum memberi kontribusi yang memadai dalam penyediaan anggaran pendidikan. Selan itu, standar pelayanan minimal (SPM) yang seharusnya dilaksanakan oleh masing-masing pemerintah kabupaten/kota juga belum efektif. Demikian pula peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan masih belum optimal, termasuk peran dan fungsi dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.



Pembangunan dan Globalisasi
Globalisasi membentuk kekuatan suatu zaman yang dominan saling ketergantungan dan interaksi yang baru antar negara-negara dan orang-orang di abad dua puluh satu. Globalisasi menyediakan peluang baru bagi ekonomi dan pembangunan sosial di negara-negara di seluruh dunia melalui liberalisasi perdagangan, investasi asing, arus modal, pertukaran informasi, dan perubahan teknologi. Namun globalisasi yang berkembang cepat belum menuju atau mampu mendorong kepada manfaat bagi berjuta orang yang tinggal di negara-negara di mana pemerintahnya belum menyesuaikan bidang jasa dan fungsi mereka pada permintaan masyarakat global tersebut.


Globalisasi telah memberi manfaat bersama menghadapi tantangan negara-negara di dunia. Globalisasi membawa peluang tidak hanya ekonomi baru tetapi juga politik baru, sosial, teknologi, dan kompleksitas kelembagaan, yang terutama bagi negara-negara miskin, dimana pemerintah harus menunjuk rangsangan ekonomi dan pembangunan sosial yang pantas, bisa didukung dan mengurangi kemiskinan. Agar dapat bermanfaat lebih untuk membuka interaksi ekonomi tersebar luas, negara harus mendukung sistem ekonomi yang mempromosikan dan memudahkan kemampuan perusahaan bisnis untuk bersaing secara efektif di dalam pasar internasional dan masyarakat pada semua tingkat ekonomi untuk mendapat kehidupan yang layak.


Distribusi tidak adil, keuntungan-keuntungan globalisasi berubah-ubah dari daerah yang satu ke daerah yang lain. Salah satu faktor yang tetap adalah jumlah penduduk merupakan kondisi yang penting untuk menggunakan peluang yang tersedia dalam globalisasi, melindungi dan mempromosikan minat kelompok yang peka dalam masyarakat. Negara berperan kritis dalam mengurangi kemiskinan, melindungi lingkungan, mempromosikan hak azasi manusia dan keamanan manusia, memastikan hak kekayaan semua jenis kelamin dan kondisi-kondisi yang perlu dalam meratakan keuntungan-keuntungan interaksi sosial dan ekonomi global secara lebih luas.


Kebutuhan meningkatkan penguasaan administrasi pemerintahan, meningkatkan kapasitas negara untuk menyelesaikan serta berfungsi dalam peran yang lebih luas. Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa meminta penguasaan yang baik dalam hak azasi manusia, promosi demokrasi, dan penguasaan (termasuk administrasi pemerintahan efektif dan efisien). Penguasaan yang baik adalah merupakan kondisi perlu untuk mencapai masing-masing tujuan Pengembangan Millennium/Millenium Development Goals (MDGs): pembasmian kemiskinan dan rasa lapar secara ekstrim, menuju keberhasilan pendidikan universal, mempromosikan persamaan jenis kelamin, mengurangi angka kematian anak, meningkatkan kesehatan maternal, menghilangkan HIV/AIDS serta penyakit lain, memastikan ketahanan lingkungan dan mempromosikan persekutuan global untuk pengembangan. Pemerintah di negara berkembang dan mitra pengembangan internasional sudah mantap meningkatkan dukungan keuangan untuk memperkuat penguasaan dan tingkat daya guna, tepat guna administrasi pemerintahan.


Dennis Rondinelli (1981) menyelidiki konsep dari daya saing nasional di dalam suatu sistem investasi dan perdagangan global. Ia menunjuk ke luar bahwa walaupun di dalam suatu pengertian sempit, hanya perusahaan dan organisasi yang transaksi ekonominya bersaing secara global, pemerintahannya memiliki peran penting di dalam menciptakan ekonomi, sosial, kondisi-kondisi politis yang membuat negara mereka menarik sebagai penempatan domestik dan investasi asing, peningkatan kemampuan sektor swasta mereka untuk mengambil bagian perdagangan internasional. Ia menguraikan secara singkat jenis kebijakan dan institusi yang pemerintah perlu diperkuat, dalam rangka menciptakan iklim bisnis yang kondusif, meningkatkan daya saing perusahaan yang menciptakan lapangan pekerjaan dan memperluas ketenaga-kerjaan.


Manuel Agosin dan David Kar (2001), menekankan dampak negatif globalisasi yang potensial untuk negara-negara yang tidak bisa mengintegrasikan diri mereka ke dalam ekonomi dunia dengan cara-cara tersebut perlu mengembangkan sumber daya manusia dan menciptakan kondisi-kondisi hidup lebih baik, terutama bagi populasi paling miskin. Mereka menguraikan tiga lapisan kebijakan pengembangan dan tugas yang pemerintah harus dapat melakukan pengembangan manusia yang nantinya bisa mendukung. Mereka mengkritik model pertumbuhan ekonomi konvensional yang semata menekankan penyesuaian ekonomi dan menawarkan model yang kembali memusat pada pertumbuhan dan pengembangan manusia.


Kebutuhan negara berkembang mengurangi kemiskinan dan masyarakat lemah/miskin mengambil bagian efektif dalam kegiatan ekonomi, Hafiz Pasha (2002) membantahnya, hal yang sangat penting menuju keberhasilan MDGS Perserikatan Bangsa-Bangsa dan memastikan keikutsertaan lebih merata di dalam keuntungan-keuntungan globalisasi. Pasha menguji peran negara di dalam menetapkan dan menerapkan kebijakan pembagian kembali dan restrukturisasi ekonomi. Ia memusatkan pada ekonomi negara, kebijakan berpihak pada masyarakat lemah/miskin bahwa target orang yang biasanya dikeluarkan dari ekonomi dan kemajuan sosial, tidak pada kebijakan sumber daya tempat tinggal mereka, sektor di mana mereka mendapat pencarian mereka. Ia menawarkan kerangka pengurangan kemiskinan dimana memerlukan campur tangan aktif pemerintah dan dengan bebas memusatkan strategi pengembangan mereka pada kebijakan masyarakat lemah/miskin.


Shabbir dan Cheema menetapkan bahwa negara-negara tidak bisa memainkan suatu peran yang mendukung penuh dalam suatu masyarakat global kecuali jika pemerintah mereka dapat memperkuat integritas, menyerang korupsi, meningkatkan tanggung-jawab dan ketransparanan. Ia menguraikan format korupsi yang menggoda pengembangan negara berkembang, bagaimana korupsi dapat mengikis proses demokratis dan memperlemah daya saing ekonomi. Ia menguji perubahan di dalam negara berkembang membantu memastikan integritas pemerintah, pelajaran dari pengalaman mencari pemerintah untuk menghapuskan korupsi.


Suresh Shende (2002) menaruh perhatian pada negara yang mengerahkan sumber daya keuangan secara efisien, secara efektif, memanage pajak dan sistem pembelanjaan. Ia menyelidiki peran yang penting dari pengerahan sumber daya internasional dan domestik untuk memenuhi tantangan globalisasi dan mencapai MDGs. Ia membandingkan sumber alternatif pendapatan negara berkembang yang efektif dalam ekonomi global, rekomendasi garis besar untuk memperkuat kapasitas manajemen keuangan negara.


Robertson Work dalam Rondinelli merancang dukungan desentralisasi sepuluh negara-negara yang membawa ke luar UNDP untuk menguraikan dampak keikutsertaan dan persekutuan di dalam mengirimkan jasa secara lebih efektif kepada yang lemah/miskin. ia menekankan pentingnya peran negara di dalam menciptakan lingkungan desentralisasi dan penguasaan lokal, dampak desentralisasi di sepuluh negara-negara yang ikutserta dalam pelayanan, faktor yang berperan sukses dalam kebijakan desentralisasi. Bekerja dari pengalaman untuk mencari pemerintah yang mendisain, menerapkan proses desentralisasi dengan pemerintah lokal, nasional, kewarganegaraan, organisasi non pemerintah, sektor swasta yang dapat bekerja sama dengan yang lemah/miskin untuk meningkatkan pelayanan.


Selama ini pembangunan yang dilakukan suatu negara selalu diidentikkan dengan pembangunan secara fisik. Akibatnya manusia sebagai pelaku dan sasaran pembangunan itu sendiri kurang mendapatkan perhatian yang memadai. Padahal pada hakekatnya pembangunan yang dilakukan seharusnya pembangunan manusia. Gagasan tentang bagaimana mengukur kualitas kehidupan manusia pertama kali digagas oleh seorang ekonom Pakistan, Dr. Mahbub ul-Haq. Dengan didukung oleh para ahli ekonomi dan pemenang Nobel bidang ekonomi, Amartya K. Sen, mereka merumuskan suatu indikator yang dapat mengukur pembangunan manusia.


Akhirnya pada tahun 1990 pertama kali UNDP mempublikasikan Human Development Report (HDR) yang berfokus pada pembangunan manusia. Fokus utama HDR lebih pada aspek-aspek non-fisik pembangunan. HDR disusun dan dipublikasikan terutama ditujukan untuk membantu tiap pemerintah yang rakyatnya hidup dalam kemiskinan dan kesulitan untuk mengembangkan model pembangunan yang secara holistik memperbaiki kualitas kehidupan manusia. Tidak hanya sekedar mempertinggi pendapatan per kapita yang terkadang malah berdampak pada masalah ketimpangan (Berlian, 2004).


HDR merupakan salah satu instrumen penting bagi UNDP untuk mencapai tujuan utama sesuai mandat yang diberikan Majelis Umum PBB, yaitu pemberantasan kemiskinan. Setiap tahun HDR memberikan resep yang berbeda sehingga semakin banyak mekanisme yang bisa dipakai. Pada tahun 2004 secara global HDR mengangkat topik yang sangat relevan dengan Indonesia yaitu Cultural Liberty in a Diverse World. Ini merupakan topik yang sangat relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang sarat dengan kemajemukan atau multikulturalisme.


Pada Millennium Summit September 2000, disepakati the Millenium Development Goals (MDGs) dengan agenda utama adalah mengurangi kemiskinan dan memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat dunia. Setiap poin ditetapkan target untuk tahun 2015 dengan menggunakan tahun 1990 sebagai benchmark. MDGs terdiri dari delapan goal yang hendak dicapai antara lain:

  1. Eradicate extreme poverty and hunger – Pada tahun 2015, proporsi penduduk yang hidup di bawah kemiskinan yang ekstrim harus dikurangi hingga 50 % dari kondisi tahun 1990.
  2. Achieve universal primary education – Pada tahun 2015 angka enrolment di sekolah dasar harus mencapai 100 %.
  3. Promote gender equality and empower women – Mengeliminasi ketimpangan jender di sekolah dasar dan menengah.
  4. Reduce child mortality – Menurunkan tingkat kematian anak di bawah usia lima tahun hingga dua per tiga dibandingkan tahun 1990.
  5. Improve maternal health – Pada tahun 2015 angka kematian ibu hamil harus diturunkan hingga tiga per empat angka tahun 1990.
  6. Combat HIV/AIDS, malaria and other disease.
  7. Ensure environmental sustainability.
  8. Develop a global partner-ship for development.

Untuk mencapai target MDGs memang diperlukan upaya yang tidak ringan. Tidak hanya komitmen pemerintah tetapi juga bagaimana implementasi dari program-program yang telah dicanangkan. Beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam hal pengentasan kemiskinan dan pembangunan sosial antara lain pertama, negara sedang berkembang harus menerapkan langkah strategis dalam hal pengentasan kemiskinan dan pembangunan sosial dengan cara:

  1. Akselerasi pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu senjata yang cukup ampuh untuk meningkatkan standar hidup. Namun demikian ini bukanlah satu-satunya alat, tetapi harus dikombinasikan dengan indikator yang lain misalnya pemerataan.
  2. Memperbaiki distribusi pendapatan dan kesejahteraan. Seringkali masalah distribusi pendapatan menjadi hal yang terlupakan dalam pembangunan. Meningkatnya ketimpangan distribusi pendapatan akan mengurangi sejumlah masyarakat yang seharusnya mendapatkan manfaat dari pertumbuhan.
  3. Akselerasi pembangunan sosial. Ini dapat dilakukan dengan konsep social safety net (Jaring Pengaman Sosial). Konsep ini memang berisiko bagi tumbuhnya sifat ketergantungan orang miskin pada bantuan. Tetapi negara maju pun ternyata juga menerapkan strategi yang sama. Misalnya di Amerika Serikat, pemerintah AS merancang social security bagi rakyatnya yang miskin. Dalam bidang gizi misalnya, Amerika mencanangkan program WIC (Supplemental Food Program for Women, Infants and Children), foodstamps, school lunch, school break-fast, school milk, dan nutrition for elderly. Semua program ini dengan sasaran orang miskin. Sebagian besar program dilakukan dengan sistem voucher.


Kedua, lembaga-lembaga internasional dan donor harus membantu negara-negara sedang berkembang untuk menemukan apa saja yang menjadi determinasi masalah-masalah yang dihadapi dan menunjukkan peluang-peluang yang mungkin untuk dilakukan. Ketiga, lembaga-lembaga internasional juga harus membantu negara sedang berkembang untuk penguatan kapasitas dengan cara terus melakukan monitoring dan evaluasi pada hasil yang diperoleh.


Upaya pencapaian MDGs dilakukan oleh semua negara termasuk Indonesia. Laporan perkembangan pembangunan manusia juga dilakukan setiap tahun. Tahun 2004, Laporan Pembangunan Manusia Indonesia (LPMI) yang bertajuk “The Economics of Democracy: Financing Human Development in Indonesia” menekankan perlunya Indonesia memberikan prioritas investasi yang lebih tinggi pada upaya pembangunan manusia dan bagaimana pembiayaannya.


Dalam bidang pendidikan, adult literacy rate meningkat seiring dengan meningkatnya murid masuk sekolah. Pada tahun 2002 sekitar 90% penduduk berusia 15 tahun ke atas dapat membaca dan menulis. Namun hanya separuh dari anak masuk sekolah dasar bisa menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun. Menurut data Departemen Pendidikan Nasional, angka putus sekolah jenjang pendidikan SD/MI pada tahun 2003/2004 sebanyak 702.066 siswa. Sementara untuk pendidikan di SMP/MTs sebesar 271.948 siswa pada tahun yang sama.


Data di atas menunjukkan bahwa masih banyak anak usia sekolah yang terpaksa berhenti sekolah. Kondisi ini lebih banyak disebabkan oleh kemiskinan yang mendera mereka. Bagi kelompok masyarakat ini, sekolah merupakan kebutuhan “mewah”. Sekolah berarti pengeluaran tambahan yang tidak sedikit. Mereka lebih memilih alternatif berhenti sekolah dan akhirnya membantu orang tua untuk mencari nafkah.


Kondisi seperti ini menjadi semacam lingkaran setan kemiskinan. Mereka tidak dapat menikmati pelayanan pendidikan karena miskin. Akibatnya mereka tidak mempunyai kemampuan dan ketrampilan yang memadai untuk bekerja. Ketiadaan ketrampilan menyebabkan pekerjaan yang didapat adalah pekerjaan yang memberikan penghasilan yang rendah. Penghasilan yang rendah berarti kemiskinan.


Dalam bidang pendidikan, tantangan yang dihadapi Indonesia antara lain:

  1. Masih terdapat kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup lebar antarkelompok masyarakat, seperti antara penduduk kaya dan penduduk miskin, antara penduduk laki-laki dan penduduk perempuan, antara penduduk di perkotaan dan penduduk di perdesaan, dan antardaerah.
  2. Fasilitas pelayanan pendidikan belum tersedia secara merata, terutama di daerah perdesaan, terpencil, dan kepulauan, sehingga menyebabkan sulitnya anak-anak mengakses layanan pendidikan.
  3. Kualitas pendidikan relatif masih rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan kompetensi peserta didik.
  4. Manajeman pendidikan belum berjalan secara efektif dan efisien, terutama karena desentralisasi pendidikan belum sepenuhnya dapat dilaksanakan dengan baik. Hal ini ditandai oleh belum mantapnya pembagian peran dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan–termasuk kontribusinya dalam menyediakan anggaran pendidikan.


Penurunan jumlah penduduk miskin menunjukkan adanya trend positif dalam rangka mencapai target penurunan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan nasional pada tahun 2015 menjadi sebesar 7,2% sesuai dengan MDGs. Namun hal ini harus dilakukan dengan usaha keras dan kerjasama stakeholders dan keberpihakan terhadap si miskin dalam pelaksanaan pembangunan, masih banyak tantangan yang harus dihadapi.


Tantangan yang dihadapi antara lain: pertama, masalah kemiskinan di Indonesia juga ditandai dengan rendahnya mutu kehidupan masyarakat. Kedua, kesenjangan antara desa dan kota. Proporsi penduduk miskin di perdesaan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan. Ketiga, kemiskinan yang dialami oleh kaum perempuan yang ditunjukkan oleh rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan, terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta masih rendahnya angka Indeks Pembangunan Gender (Gender-related Development Index, GDI) dan angka Indeks Pemberdayaan Gender (Gender Empowerment Measurement, GEM).


Mencapai pembangunan manusia yang menunjang pada awal abad kedua puluh sebagaimana telah diuraikan di dalam MDGs, memerlukan pemerintahan yang kompeten untuk mewujudkan lingkungan yang memungkinkan dimana orang-orang dan perusahan dapat berpartisipasi dan mengambil keuntungan dari interaksi ekonomi global. Pengawasan pemerintah yang meratifikasikan UN Millennium Declaration berpendapat bahwa kendala utama yang kita hadapi sekarang ini adalah untuk memastikan bahwa globalisasi menjadi kekuatan positif bagi semua orang diseluruh dunia.


Pemerintahan yang kompeten mesti merespon kesempatan dan risiko bahwa globalisasi dapat mempengaruhi semua bidang kehidupan modern-ekonomi, masyarakat, komunikasi, transportasi, perdagangan, dan investasi. Bertucci dan Alberti, Rondinelli, dan Agosin dan Bloom semua menggambarkan kecenderungan bahwa mengendalikan sirkulasi baru globalisasi dimana pemerintah harus merespon untuk mewujudkan lingkungan yang memungkinkan bagi keikutsertaan di dalam berbagi keuntungan perdagangan dan investasi internasional.


Pada intinya MDGs adalah suatu kendala bagi UN Member States baik itu untuk mengejar pembangunan ekonomi secara sosial maupun untuk mengurangi kemiskinan. Apabila negara-negara akan berintegrasi ke dalam ekonomi global secara lebih ketat, sebagaimana Agosin dan Bloom mengungkapkan bahwa mereka juga menjadi lebih rentan terhadap sirkulasi ekonomi internasional dan kelompok miskin di semua negara. Pemerintahan yang kompeten mesti berjalan di luar penyesuaian makro ekonomi konvensional, perdagangan dan kebebasan investasi dan tingkat perubahan reformasi yang diperlukan untuk mewujudkan lingkungan memungkinkan bagi pertumbuhan ekonomi dan di luar kebijakan yang ditujukan pada akumulasi modal, pengembangan buruh, total produktivitas faktor dan pengembangan infrastruktur yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomiuntuk mencapai pembangunan manusia yang dapat menunjang. Agosin dan Bloom juga menyatakan bahwa pemerintahan yang kompeten mesti meratifikasi dan mengimplementasikan kebijakan dan program-program di bidang kesehatan, pendidikan, pembangunan perusahaan baik itu kecil maupun sedang, persamaan jenis kelamin, demokrasi, perumusan modal sosial, dan perlindungan lingkungan yang difokuskan khususnya pada penguatan kapasitas manusia guna memerangi kemiskinan. Pemerintah berusaha untuk mencapai pembangunan manusia yang dapat menunjang serta membantu mengembangkan kapasitas manusia dan memperkuat modal sosial sehingga orang miskin dapat berpartisipasi secara efektif di dalam pembangunan ekonomi.


Pembangunan, dengan demikian berarti merangsang suatu masyarakat sehingga gerak majunya menjadi otonom, berakar dari dinamik sendiri dan dapat bergerak atas kekuatan sendiri. Tidak ada model pembangunan yang berlaku universal. Dalam jangka panjang, suatu pembangunan tidak akan berhasil dan bertahan, jika pembangunan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang dianut masyarakat. Selama Orde Baru, secara sadar maupun tak sadar, telah terjadi ”kesalahan” besar yang dibuat bersama-sama. Dari tahun ke tahun, lembaran buku GBHN dan Pelita yang dicanangkan pemerintah makin tebal. Masyarakat profesi, para pakar maupun berbagai organisasi masyarakat, berlomba-lomba merumuskan berbagai persoalan, lalu diserahkan pada pemerintah.


Dengan demikian, masyarakat telah ”menyerahkan” kemandirian yang dimiliki, sehingga pemerintah semakin memiliki kekuatan, legitimasi, dan kedaulatan untuk melakukan berbagai hal (bahkan menjadi leviathan). Tragisnya, masyarakat merasa lega karena tak mengerjakan apa-apa, sebab semuanya telah diserahkan pada pemerintah. Meski sebenarnya, telah ”melumpuhkan” diri sendiri.


Pembangunan di Indonesia selama ini yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, dan belum memberikan prioritas yang cukup pada pembangunan manusia sangat berpotensi menciptakan kemiskinan struktural yang semakin tajam. Dengan demikian, kemiskinan merupakan perampasan kemampuan (capability deprivation) terhadap sumber daya dasar seperti pendidikan, kesehatan dan lapangan pekerjaan. Kemiskinan struktural merupakan suatu kondisi dijauhkannya masyarakat dari sumber daya yang dapat dipergunakan untuk memperbaiki kehidupannya. Kemiskinan adalah kondisi yang membuat masyarakat jauh dari sumber daya tersebut. Sementara akar dari muncul atau tidaknya kemiskinan akan sangat terkait dengan kebijakan negara.


Abad ke dua puluh satu telah memulai era baru globalisasi, tidak hanya untuk perdagangan ekonomi dan investasi, akan tetapi teknologi, sosial, dan interaksi politik juga. Dikarenakan kebutuhan di era globalisasi untuk semua negara untuk berpartisipasi melalui pasar terbuka di dalam perdagangan dan investasi internasional, pemerintah tidak dapat secara sentral merencanakan dan menata ekonomi nasional ataupun memberikan jasa umum tradisional. Daya saing global akan memerlukan negara pada semua tahapan pembangunan ekonomi guna memperkuat kapasitas kelembagaan negara untuk meningkatkan dan mengalokasikan efisiensi dan menciptakan kondisi memungkinkan untuk mencapai pembangunan ekonomi dan sosial yang merata. Peranan pemerintah secara drastis akan berubah dari pengawasan, pengarahan, dan keterlibatan di bidang ekonomi guna memprmudah aktivitas ekonomi produktif; menyediakan infrastruktur memadai dan modal sosial; menciptakan dan mempertahankan iklim keuntungan kompwetitip memastikan aset pasar bebas; melindungi kepentingan pekerja dan konsumen; dan menyediakan sarana kesehatan, keamanan, dan keselamatan bagi warga negara.
Pemerintah mendefinisikan kembali peran dan fungsinya dapat memainkan peranan positif di dalam membantu warga negara dan perusahaan berpartisipasi secara lebih efektif dan membagi keuntungan globalisasi di dalam semua dimensi. Pemerintahan yang kompeten mesti secara berkesinambungan menemukan pemerintah melalui inovsi dan peningkatan kualitas dan memperkuat hubungan dengan warga negara, sektor swasta, dan organisasi masyarakat sipil. Pemerintah yang kompeten mesti mengambil peranan kuat didalam membentuk peraturan interaksi global dan meminimalisir beban globalisasi. Selama abad keduapuluh pemerintahan yang kompeten mesti efisien, efektif, partisipatif, terbuka, transparan, profesional, responsif dan kolaboratif jika ini untuk mencapai tujuan pemeratan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia yang menunjang.


Pembangunan ekonomi dan sosial selama paruh abad adalah pemerintahan pusat itu sendiri tidak dapat mencapai ekonomi dan persamaan sosial. Kauzya dan Work menegaskan bahwa pemerintah mesti seringkali mendekonsentrasikan atau memfokuskan wewenang, sumber, dan tanggung jawab atas partisipatif pemerintahan dan NGOs untuk menggambarkan partisipasi lebih baik di dalam politik dan pengambilan keputusan administratif dan untuk menyampaikan jasa sosial guna menciptakan ekonomi yang kuat. Pasha, malik dan wagle keduanya mengharapkan pemerintahan yang kompeten guna menciptakan keamanan sosial bagi orang miskin yang secara ekonomi lemah, tidak hanya melalui agen umum, akan tetapi juga melalui pemerintahan daerah dan organisasi masyarakat.


Mempertahankan kapasitas lembaga umum untuk memberdayakan organisasi masyarakat sipil guna berpartisipasi dibidang aktivitas ekonomi, sosil dan politik akan diperlukan oleh semua negara di era globalisasi seperti ini. Organisasi masyarakat sipil tidak hanya melengkapi jasa yang diberikan oleh sektor swasta dan mengawasi kekuatan pemerintah, akan tetapi juga mereka membantu untuk mendistribusikan keuntungan pertumbuhan ekonomi didalam masyarakat secara lebih merata, dan menawarkan kesempatan bagi orang-orang untuk meningkatkan standar kehidupan. Lembaga sipil saluran partisipasi orang-orang dibidang aktivitas ekonomi dan sosial dan mengorganisirnya kedalam kekuatan untuk memnpengaruhi kebijakan umum. Lembaga masyarakat sipil memberikan peran penting didalam meluruskan secara potensial kontradiksi ketidakstabilan ekonomi, mewujudkan mekanisme efisien guna mengalokasikan keuntungan ekonomi, dan memberikan kesempatan kepada kelompok masyarakat yang lbih miskin didalam pengambilan keputusan politik dan pemerintah.

Catatan Akhir
Paradigma baru tentang pembangunan manusia saat ini yang menghendaki pendekatan yang lebih manusiawi, dimana pertumbuhan ekonomi bukan lagi menjadi tujuan, akan tetapi justru menjadi alat untuk memperluas pilihan-pilihan manusia, sesuai dengan pandangan psikologi perkembangan tentang human development. Perkembangan manusia harus diletakkan sebagai upaya untuk mengoptimalkan seluruh aspek kehidupan manusia sejak bayi sampai lanjut usia. Optimalisasi perkembangan manusia dapat terlaksana jika lingkungan ikut mendukung, yaitu adanya interplay antara faktor nature dan faktor nurture. Oleh karena itu dalam proses perkembangannya, manusia tidak terlepas dari konteks kesejarahan dan budaya yang memberi pengaruh yang sangat kuat terhadap dirinya.


Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan manusia merupakan aspek yang terpenting dalam kegiatan pembangunan. Meskipun Indonesia dalam pencapaian MDGs masih menghadapi banyak persoalan dan tantangan, tidak ada alasan target tersebut tidak tercapai tahun 2015. Semua pihak harus berjuang keras untuk mewujudkan komitmennya. Hal lain yang harus dilakukan adalah pengembangan kemitraan global dengan lembaga-lembaga internasional. Terkait dengan anggaran pemerintah sebenarnya cukup untuk memenuhi hak-hak dasar warga negaranya misalnya untuk pengentasan kemiskinan, kesehatan, dan pendidikan. Namun masalahnya kadang-kadang tidak tepat sasaran sehingga efisiensi penggunaan anggaran seyogianya dipertimbangkan selain tentu saja pemenuhan anggaran sesuai amanat UU.


Rujukan
Devas, Nick, 1997, Indonesia: what do we mean by decentralization, dalam Public Administration and Development Journal, Vol. 17, p. 351-367.
Frederickson, G. 1988. Administrasi Negara Baru. Jakarta: LP3ES.
Ford, James, 1999, “Rationale for Decentralization”, dalam Jennie Litvack and Jessica Seddon (ed.), Decentralization Briefing Notes. World Bank Institute. Dapat dilihat di http://www.worldbank.org/wbi/publications/wbi37142.pdf.
Hadiz, Vedi R., 2003, Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo-Institutionalist Perspectives, Working Papers Series No. 47, City University of Hong Kong: Southeast Asia Research Center. Dapat dilihat di http://www.gtzsfdm.or.id/documents/dec_ind/o_pa_doc/Hadiz_Decentralization_May2003.pdf
Handayaningrat, S, 1988. Administrasi Pemerintahan Dalam Pembangunan Nasional, CV Haji Masagung, Jakarta.
Hatta, Moh.1957. “Demokrasi dan Autonomi”. Keng Po lauggal 27 April 1957: I-II
Kompas. 2004. “Pembangunan Harus Berbasis kepada Manusia”. 6 Agustus 2004.
Litvack, Jennie, Junaid Ahmad, Richard Bird, 1998, Rethinking Decentralization in Developing Countries, The World Bank, Washington DC
Moore, Mick and James Putzel, 1999, Politics And Poverty: A Background Paper For The World Development Report 2000/1. Paper tidak dipublikasikan. Dapat dilihat di http://www.worldbank.org/poverty/wdrpoverty/dfid/synthes.pdf.
Owens, Jeffrey and Giorgio Panella (ed.), 1991, Local Government: An International Perpsective, North-Holland.
Rondinelli, Dennis A. etc, 1981. Decentralization in Developing Countries: A Review of Recent Experience. Washington DC: World Bank Staff Working Papers.
Rondinelli, Dennis A dan Cheema, G. Shabbir (eds). 1983. Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries. London: Sage Publications.
Samsudin Berlian. 2004. “HDR Menilai Kesejahteraan Manusia Bermartabat”. Kompas. 6 Agustus 2004.
UNDP. 2001. Laporan Pembangunan Manusia 2001: Menuju Konsensus Baru. BPS, Bappenas, dan UNDP Indonesia.
UNDP. 2004. National Development Report 2004, The Economics of Democracy: Financing Human Development in Indonesia. BPS, Bappenas and UNDP Indonesia.
Uphoff, Norman. 1995. “Grassroots Organizations and NGOs in Rural Development: Opportunities with Diminishing States and Expanding Markets”. Dalam Janvry, Alain de, et.all, 1995. State, market and Civil Organizations: New Theories, New Practices and their Implications for Rural Development. London: MacMillan Press Ltd.

Tuesday, May 27, 2008

Konvergensi Administrasi Publik dan Pembangunan

Pengantar
Secara umum, tulisan ini membahas tentang konvergensi pemikiran antara administrasi publik (negara) dan pembangunan. Dalam administrasi negara modern --baik sebagai ilmu maupun dalam praktik-- terus berkembang, baik di negara berkembang (sebagai administrasi pembangunan) maupun di negara maju dengan berbagai gerakan pembaharuan. Demikian juga terlihat bahwa terdapat konvergensi dari pemikiran-pemikiran yang melahirkan berbagai konsep pembangunan dengan pandangan-pandangan dalam ilmu administrasi yang mengarah pada makin terpusatnya perhatian pada aspek manusia serta nilai-nilai kemanusiaan yang tercermin dalam berbagai pendekatan yang sedang berkembang.

Administrasi Publik
Administrasi publik, seperti yang dirumuskan oleh Pfiffner dan Presthus (1953), adalah sebuah disiplin ilmu yang terutama mengkaji cara-cara untuk mengimplementasikan nilai-nilai politik. Hal tersebut sejalan dengan gagasan awal Wilson dalam Shafritz dan Hyde (1992) yang dianggap sebagai orang yang membidani lahirnya ilmu administrasi publik modern di Amerika Serikat. Wilson mengemukakan bahwa disiplin administrasi publik merupakan produk perkembangan dari ilmu politik. Namun Wilson mengusulkan adanya pemisahan disiplin administrasi dari ilmu politik. Gagasan ini kemudian dikenal sebagai dikotomi politik-administrasi. Sejak itu, selama satu abad lebih, administrasi publik baik sebagai bidang studi maupun sebagai profesi terus berkembang. Ilmu administrasi publik, menurut Wilson, berkaitan dengan dua hal utama, yaitu:
  1. What government can properly and successfully do?
  2. How it can do these proper things with the utmost possible efficiency and at the least possible cost either of money or of energy?
Bertolak dari gagasan dasar tersebut, dapat diyakini bahwa administrasi publik dapat berperan positif dalam mengawal pembangunan suatu negara sampai pada tujuan yang dicita-citakan, karena pada dasarnya administrasi publik berurusan dengan persoalan bagaimana menentukan to do the right things dan to do the things right. Dengan kata lain, administrasi publik bukan saja berurusan dengan cara-cara yang efisien untuk melakukan proses pembangunan, melainkan juga mempunyai kemampuan dalam menentukan tujuan dari proses pembangunan itu sendiri, terutama dalam bentuk penyelenggaraan pelayanan publik secara efektif sebagai wujud dari penjaminan hak-hak konstitusional seluruh warga negara.


Menjelang dan memasuki Perang Dunia II program sosial yang besar, seperti New Deal di Amerika Serikat dan pengendalian mesin perang telah menampilkan administrasi publik pada tataran yang semakin mengemuka. Program rehabilitasi pasca perang dunia, serta bangkitnya negara-negara baru yang sebelumnya adalah wilayah-wilayah jajahan semakin memperbesar peran dari administrasi publik. Upaya mengembangkan administrasi sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri diperkuat dengan studi perbandingan administrasi publik, antara lain dengan dibentuknya Comparative Administration Group (CAG) pada tahun 1960 oleh para pakar administrasi, seperti John D. Montgomery, William J. Siffin, Dwight Waldo, George F. Grant, Edward W. Weidner, dan Fred W. Riggs. Dari CAG inilah lahir konsep administrasi pembangunan (development administration), sebagai bidang kajian baru. Kelahirannya didorong oleh kebutuhan membangun administrasi di negara-negara berkembang.


Lebih lanjut, administrasi publik menyangkut pengkoordinasian seluruh kegiatan yang berkaitan dengan tugas dalam melaksanakan kebijakan umum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat suatu negara. Kebutuhan masyarakat tidak seluruhnya dapat dipenuhi oleh individu atau kelompoknya sendiri, melainkan memerlukan keterlibatan atau intervensi pihak lain yang dibentuk oleh mereka sendiri sebagai masyarakat suatu negara. Pihak lain ini dinamakan sebagai administrasi publik yang menurut Nigro & Nigro (1988) adalah public administration has an important role in the formulation of public policy and is this part of political process. Dengan demikian, administrasi publik mempunyai peranan yang sangat penting dalam merumuskan kebijakan negara dan oleh karenannya merupakan bagian dari proses politik.


Kajian tentang administrasi publik tidak terlepas dari organisasi pemerintah dalam penanganan masalah-masalah publik. Bellone (1982:1) berpendapat bahwa the discipline of public administration is predicated on the study of organization. Teori organisasi, hipotesis tentang perilaku manusia dalam organisasi pemerintahan yang kompleks dan teori administrasi serta hipotesis tentang perilaku manusia dalam kelompok kerja, merupakan dasar dalam teori administrasi publik. Hingga dapat dijelaskan bahwa administrasi publik berbicara tentang perilaku manusia dalam organisasi pemerintah. Bahkan Shafritz dan Russell (2005:5) mengemukakan bahwa it is easy to define administration if you are content with being simplistic: it is governmnet in action – the management of public affairs on the implementation of public policies.


Administrasi publik bersifat sangat dinamis, ia selalu ditantang oleh perubahan-perubahan yang dinamis dan tidak statis. Dinamika yang berkembang pada administrasi publik pada gilirannya memunculkan model-model baru, seiring dengan perkembangan pemikiran para ahli. Islamy (2000:3) mengemukakan bahwa ”administrasi negara sebagai suatu disiplin ilmu telah mengalami berbagai penggantian paradigma. Ini membuktikan bahwa administrasi publik bukanlah ilmu yang statis tetapi terus berkembang dalam rangka mencari identitas secara kokoh dan mantap. Perkembangannya tidak terlepas dari berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat, yang kemudian melahirkan pemikiran-penikiran baru untuk menyelesaikannya.”


Dengan demikian, administrasi publik tidak saja mempersoalkan apa yang dilakukan pemerintah tetapi juga bagaimana cara pemerintah melakukannya. Terkait dengan hal tersebut, Long dalam Shafritz dan Hyde (1987:203) mengemukakan bahwa the lifehood of adiministration is power. Melalui kekuasaan yang dimilikinya, administrasi publik dapat membuat berbagai program kegiatan pembangunan dan melaksanakan berbagai usaha untuk mencapai tujuan dalam bentuk kebijakan.


Pembangunan
Pembangunan menurut literatur-literatur ekonomi pembangunan seringkali didefinisikan sebagai suatu proses yang berkesinambungan dari peningkatan pendapatan riil perkapita melalui peningkatan jumlah dan produktivitas sumber daya. Dari pandangan itu lahir konsep-konsep mengenai pembangunan sebagai pertumbuhan ekonomi. Teori mengenai pertumbuhan ekonomi telah ditelusuri setidak-tidaknya sejak abad ke-18. Saat itu muncul pemikiran-pemikiran aliran klasik yang berusaha mengkaji batas-batas pertumbuhan (limits to growth). Menurut Adam Smith (1776), Malthus (1798) dan Ricardo (1917), proses pertumbuhan dimulai apabila perekonomian suatu negara mampu melakukan pembagian kerja (division of labor). Pembagian kerja akan meningkatkan produktivitas yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan.


Selanjutnya berkembang teori pertumbuhan ekonomi modern dengan berbagai variasinya yang pada intinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu yang menekankan pentingnya akumulasi modal (physical capital formation) dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (human capital). Salah satu pandangan yang dampaknya berlanjut hingga sekarang adalah model pertumbuhan yang dikembangkan oleh Harrod (1948) dan Domar (1946). Model ini berpijak pada pemikiran Keynes (1936) yang menekankan pentingnya aspek permintaan dalam mendorong pertumbuhan jangka panjang.


Dalam model Harrod-Domar, pertumbuhan ekonomi akan ditentukan oleh dua unsur pokok, yaitu tingkat tabungan (investasi) dan produktivitas modal (capital output ratio). Agar dapat tumbuh secara berkelanjutan, masyarakat dalam suatu perekonomian harus mempunyai tabungan yang merupakan sumber investasi. Makin besar tabungan, yang berarti makin besar investasi, maka akan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi dan sebaliknya.


Berbeda dengan Harrod-Domar yang memberikan tekanan kepada pentingnya peranan modal, Arthur Lewis (1954) dengan model surplus of labornya memberikan tekanan kepada peranan jumlah penduduk. Dalam model ini diasumsikan terdapat penawaran tenaga kerja yang sangat elastis. Ini berarti para pengusaha dapat meningkatkan produksinya dengan mempekerjakan tenaga kerja yang lebih banyak tanpa harus menaikkan tingkat upahnya. Meningkatnya pendapatan yang dapat diperoleh oleh kaum pemilik modal akan mendorong investasi-investasi baru karena kelompok ini mempunyai hasrat menabung dan menanam modal (marginal propensity to save and invest) yang lebih tinggi dibandingkan dengan kaum pekerja. Tingkat investasi yang tinggi pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi.


Sementara itu berkembang pula sebuah model pertumbuhan yang disebut neoklasik. Teori pertumbuhan neoklasik mulai memasukkan unsur teknologi yang diyakini akan berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara (Solow, 1957). Dalam teori neoklasik, teknologi dianggap sebagai faktor eksogen yang tersedia untuk dimanfaatkan oleh semua negara di dunia. Dalam perekonomian yang terbuka, di mana semua faktor produksi dapat berpindah secara leluasa dan teknologi dapat dimanfaatkan oleh setiap negara, maka pertumbuhan semua negara di dunia akan konvergen.


Teori pertumbuhan selanjutnya mencoba menemukan faktor-faktor lain di luar modal dan tenaga kerja, yang mendorong pertumbuhan ekonomi, yaitu human capital. Teori human capital berpendapat bahwa investasi sumber daya manusia mempunyai pengaruh yang besar terhadap peningkatan produktivitas. Menurut Becker (1964) peningkatan produktivitas tenaga kerja ini dapat didorong melalui pendidikan dan pelatihan serta peningkatan derajat kesehatan. Selanjutnya, pertumbuhan yang bervariasi di antara negara-negara yang membangun melahirkan pandangan mengenai teknologi bukan sebagai faktor eksogen, tapi sebagai faktor endogen yang dapat dipengaruhi oleh berbagai variabel kebijaksanaan (Romer, 1990). Sumber pertumbuhan dalam teori endogen adalah meningkatnya stok pengetahuan dan ide baru dalam perekonomian yang mendorong tumbuhnya daya cipta dan inisiatif yang diwujudkan dalam kegiatan inovatif dan produktif. Ini semua menuntut kualitas sumber daya manusia yang meningkat. Transformasi pengetahuan dan ide baru tersebut dapat terjadi melalui kegiatan perdagangan internasional, penanaman modal, lisensi, konsultasi, komunikasi, pendidikan, dan aktivitas research & development.


Dalam kelompok teori pertumbuhan ini, terdapat pandangan penting yang dianut oleh banyak pemikir pembangunan, yaitu teori mengenai tahapan pertumbuhan. Dua di antaranya yang penting adalah dari Rostow (1960) dan Chenery-Syrquin (1975). Menurut Rostow, transformasi dari negara yang terkebelakang menjadi negara maju dapat dijelaskan melalui suatu urutan tingkatan atau tahap pembangunan yang dilalui oleh semua negara. Rostow mengemukakan lima tahap yang dilalui oleh suatu negara dalam proses pembangunannya, yaitu tahap traditional society, preconditions for growth, the take-off, the drive to maturity, dan the age of high mass consumption. Sedangkan menurut pemikiran Chenery-Syrquin (1975), yang merupakan pengembangan pemikiran dari Clark dan Kuznets, perkembangan perekonomian akan mengalami suatu transformasi (konsumsi, produksi dan lapangan kerja), dari perekonomian yang didominasi sektor pertanian menjadi didominasi oleh sektor industri dan jasa.


Pandangan-pandangan yang berkembang dalam teori-teori pembangunan kemudian mengalir makin deras ke arah manusia (dan dalam konteks plural ke arah masyarakat atau rakyat) sebagai pusat perhatian dan sasaran sekaligus pelaku utama pembangunan (subjek dan objek sekaligus). Salah satu harapan atau anggapan dari pengikut aliran teori pertumbuhan adalah hasil pertumbuhan akan dapat dinikmati masyarakat sampai lapisan yang paling bawah. Cara pandang tersebut mendominasi pemikiran-pemikiran pembangunan pada dekade 50-an dan 60-an dengan ciri utamanya bahwa pembangunan adalah suatu upaya terencana untuk mengejar pertumbuhan ekonomi agregat. Namun pada kenyataannya, hanya masyarakat dengan tingkat pendapatan menengah ke atas yang mampu menikmati hasil pertumbuhan tersebut.


Oleh karena itu, berkembang berbagai pemikiran untuk mencari alternatif lain terhadap paradigma yang semata-mata memberi penekanan kepada pertumbuhan. Maka berkembang kelompok pemikiran yang disebut sebagai paradigma pembangunan sosial yang tujuannya untuk menyelenggarakan pembangunan yang lebih berkeadilan. Salah satu metode yang umum digunakan dalam menilai pengaruh dari pembangunan terhadap kesejahteraan masyarakat adalah dengan mempelajari distribusi pendapatan. Selain distribusi pendapatan, dampak dan hasil pembangunan juga dapat diukur dengan melihat tingkat kemiskinan (poverty) di suatu negara.


Meskipun pembangunan harus berkeadilan, perlu disadari bahwa pertumbuhan tetap penting. Upaya untuk memadukan konsep pertumbuhan dan pemerataan merupakan tantangan yang harus dijawab dalam studi pembangunan. Model pemerataan dengan pertumbuhan atau redistribution with growth (RWG) yang dikembangkan berdasarkan suatu studi yang disponsori oleh Bank Dunia pun tidak menunjukkan kemajuan yang berarti (Chenery, et.al., 1974), termasuk model basic human needs (BHN).


Beberapa ahli studi pembangunan berpendapat pula bahwa pemerataan pendapatan akan meningkatkan penciptaan lapangan kerja (Seers, 1970). Menurut teori ini, barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat miskin cenderung lebih bersifat padat tenaga kerja dibandingkan dengan konsumsi masyarakat yang berpendapatan lebih tinggi. Dengan demikian, pemerataan pendapatan akan menyebabkan pergeseran pola permintaan yang pada gilirannya akan menciptakan kesempatan kerja. Dalam rangka perkembangan teori ekonomi politik dan pembangunan, perlu dicatat pula bahwa aspek ideologi dan politik turut mempengaruhi pemikiran-pemikiran yang berkembang. Salah satu di antaranya adalah teori ketergantungan yang dikembangkan terutama berdasarkan keadaan pembangunan di Amerika Latin pada tahun 1950-an.


Ciri utama dari teori ketergantungan adalah bahwa analisisnya didasarkan pada adanya interaksi antara struktur internal dan eksternal dalam suatu sistem. Menurut Baran (1957), keterbelakangan negara-negara Amerika Latin terjadi pada saat masyarakat prakapitalis tergabung ke dalam sistem ekonomi dunia kapitalis. Dengan demikian, masyarakat tersebut kehilangan otonominya dan menjadi daerah pinggiran (periphery) negara metropolitan yang kapitalis. Daerah (negara) pinggiran dijadikan “daerah-daerah jajahan” negara-negara metropolitan. Mereka hanya berfungsi sebagai produsen bahan mentah bagi kebutuhan industri daerah metropolitan tersebut, dan sebaliknya merupakan konsumen barang-barang jadi yang dihasilkan oleh industri-industri di negara-negara metropolitan tersebut.


Dengan demikian, timbul struktur ketergantungan yang merupakan rintangan yang hampir tak dapat diatasi serta merintangi pula pembangunan yang mandiri. Patut dicatat adanya dua aliran dalam teori ketergantungan, yaitu aliran Marxis dan Neo-Marxis, serta aliran non-Marxis. Aliran Marxis dan Neo-Marxis menggunakan kerangka analisis dari teori Marxis tentang imperialisme. Aliran ini tidak membedakan secara tajam mana yang termasuk struktur internal ataupun struktur eksternal. Kedua struktur tersebut dipandang sebagai faktor yang berasal dari sistem kapitalis dunia itu sendiri. Selain itu, aliran ini mengambil perspektif perjuangan kelas internasional antara para pemilik modal (para kapitalis) di satu pihak dan kaum buruh di lain pihak. Untuk memperbaiki nasib buruh, maka perlu mengambil prakarsa dengan menumbangkan kekuasaan yang ada. Oleh karena itu, menurut aliran ini, resep pembangunan untuk daerah pinggiran adalah revolusi (Frank, 1967).


Sedangkan aliran kedua melihat masalah ketergantungan dari perspektif nasional atau regional. Menurut aliran ini, struktur dan kondisi internal pada umumnya dilihat sebagai faktor yang berasal dari sistem itu sendiri, meskipun struktur internal ini pada masa lampau maupun saat ini dipengaruhi oleh faktor-faktor luar negeri (lihat misalnya Dos Santos dan Bernstein, 1969; Tavares dan Serra, 1974; serta Cariola dan Sunkel, 1982). Oleh karena itu, subjek yang perlu dibangun adalah “bangsa” atau ”rakyat” dalam suatu negara (nation building). Dalam menghadapi tantangan pembangunan tersebut, konsep negara atau bangsa perlu dijadikan landasan untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan dengan dukungan administrasi pembangunan yang memadai.


Dalam pembahasan mengenai berbagai paradigma yang mencari jalan kearah pembangunan yang berkeadilan, maka perlu diketengahkan pula teori pembangunan yang berpusat pada rakyat. Era pascaindustri menghadapi kondisi-kondisi yang sangat berbeda dari kondisi-kondisi era industri dan menyajikan potensi-potensi baru yang penting guna memantapkan pertumbuhan dan kesejahteraan manusia, keadilan dan kelestarian pembangunan itu sendiri (Korten, 1984). Paradigma ini memberi peran kepada individu bukan sebagai objek, melainkan sebagai pelaku yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya, dan mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya. Pembangunan yang berpusat pada rakyat menghargai dan mempertimbangkan prakarsa rakyat dan kekhasan setempat.


Paradigma terakhir yang tidak dapat dilepaskan dari paradigma pembangunan sosial dan berbagai pandangan di dalamnya adalah paradigma pembangunan manusia. Menurut paradigma pembangunan manusia, tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan masyarakatnya untuk menikmati kehidupan yang kreatif, sehat dan berumur panjang. Pertumbuhan produksi dan pendapatan hanya merupakan alat saja, sedangkan tujuan akhir pembangunan harus manusianya sendiri.


Menurut pandangan ini tujuan pokok pembangunan adalah memperluas pilihan-pilihan manusia (Ul Haq, 1985). Pengertian ini mempunyai dua sisi, pertama, pembentukan kemampuan manusia seperti tercermin dalam kesehatan, pengetahuan dan keahlian yang meningkat, dan kedua penggunaan kemampuan yang telah dipunyai untuk bekerja, untuk menikmati kehidupan atau untuk aktif dalam kegiatan kebudayaan, sosial, dan politik. Paradigma pembangunan manusia yang disebut sebagai sebuah konsep yang holistik mempunyai 4 (empat) unsur penting, yakni peningkatan produktivitas, pemerataan kesempatan, kesinambungan pembangunan, dan pemberdayaan manusia.


Dewasa ini muncul pula gagasan pembangunan berkelanjutan yang erat kaitannya dengan kesejahteraan yang semakin terus meningkat dari generasi ke generasi. Dalam konsep tersebut, pemakaian dan hasil penggunaan sumber daya alam dan lingkungan yang merusak sumbernya, tidak dihitung sebagai kontribusi terhadap pertumbuhan tetapi sebagai pengurangan asset.

Konvergensi Administrasi Publik dan Pembangunan
Secara umum, konvergensi antara administrasi publik dan pembangunan melahirkan suatu disiplin ilmu baru yang disebut sebagai administrasi pembangunan. Administrasi pembangunan berkembang karena adanya kebutuhan di negara–negara yang sedang membangun untuk mengembangkan lembaga–lembaga dan pranata-pranata sosial, politik, dan ekonomi, agar pembangunan dapat berhasil. Oleh karena itu menurut Kartasasmita (1997), pada dasarnya administrasi pembangunan adalah bidang studi yang mempelajari sistem administrasi negara di negara yang sedang membangun serta upaya untuk meningkatkan kemampuannya.


Secara konsep menurut Suminta (2005), administrasi pembangunan merupakan gabungan dua pengertian, yaitu administrasi, yang berarti segenap proses penyelenggaraan dari setiap usaha kerjasama sekelompok manusia untuk mencapai tujuan pembangunan. Hal ini merupakan rangkaian usaha perubahan dan pertumbuhan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara, dan pemerintahan menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa. Dengan demikian, gabungan antara kedua pengertian tersebut di atas mengandung beberapa pokok pikiran, yaitu:

  1. Pembangunan merupakan suatu proses. Oleh karena itu, harus dilaksanakan secara terus-menerus, berkesinambungan, pentahapan, jangka waktu, biaya, dan hasil tertentu yang diharapkan.
  2. Pembangunan adalah suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan merupakan hasil pemikiran sampai pada tingkat rasionalitas tertentu.
  3. Pembangunan dilaksanakan secara berencana.
  4. Pembangunan mengarah pada modernitas dan bertujuan untuk menemukan cara hidup yang lebih baik dari sebelumnya, lebih maju, serta dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi atau iptek.
  5. Pembangunan mempunyai tujuan yang bersifat multidimensional, meliputi berbagai aspek kehidupan bangsa dan negara, terutama aspek politik, ekonomi, sosial-budaya, serta pertahanan dan keamanan.
  6. Pembangunan ditujukan untuk membina bangsa.

Berdasarkan uraian di atas, administrasi pembangunan merupakan administrasi publik yang diarahkan untuk mendukung proses pembangunan, dalam arti untuk keperluan keberhasilan pembangunan, yang meliputi administrasi untuk perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan, pengendalian, dan evaluasi. Lebih lanjut, administrasi pembangunan merupakan administrasi publik yang diarahkan untuk penyempurnaan administrasi negara agar berkemampuan mendukung proses pembangunan.


Dengan demikian, administrasi pembangunan lahir dan merupakan penyempurnaan dari administrasi publik untuk dapat diterapkan di negara berkembang. Selain itu, tujuan diterapkannya administrasi pembangunan adalah untuk mencapai kemajuan pembangunan suatu negara menuju modernisasi. Dapat dikatakan pula bahwa, administrasi publik adalah ditujukan bagi negara yang sudah maju, sedangkan administrasi pembangunan ditujukan untuk negara yang sedang berkembang.


Menurut Tjokroamidjojo (1995), setidaknya terdapat 4 kecenderungan yang mengarahkan administrasi negara kepada administrasi pembangunan. Kecenderungan-kecenderungan tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Perhatian administrasi negara mengarah kepada masalah-masalah pelaksanaan dan pencapaian tujuan pembangunan, yang dimulai dari perumusan kebijaksanaan, instrumen pelaksananya hingga pelaksanaan pembangunan itu sendiri.
  2. Administrasi negara mengembangkan penelaahan mengenai sikap dan peranan birokrasi (behavioral approach), serta berbagai masalah hubungan manusia, seseorang atau kelompok dalam birokrasi tersebut, juga ditelaah tentang bagaimana keputusan diambil, dan pengetahuan dikembangkan.
  3. Kecenderungan melakukan pendekatan manajemen dalam administrasi negara. Di sini dikembangkan sistem analisis administrasi negara terhadap administrasi pembangunan, penggunaan teknik-teknik kuantitatif dan analitis dalam administrasi negara.
  4. Administrasi negara memberikan tekanan kepada ekologi sosial dan kultural. Di sini ditekankan telaah terhadap hubungan dan sikap administratif dengan ekologi sosial dan budaya masyarakat tertentu.

Keempat kecenderungan tersebut saling terkait satu sama lain dan kecenderungan tersebut mengarah kepada administrasi pembangunan. Kecenderungan administrasi pembangunan berorientasi untuk mendukung pembangunan, dan usaha-usaha ke arah modernisasi guna mencapai kehidupan yang sejahtera secara sosial dan ekonomi. Namun, harus pula dipahami bahwa administrasi pembangunan masih mendasarkan diri pada administrasi publik dan peralatan analisis administrasi negara sehingga administrasi pembangunan secara disiplin keilmuan belum dapat dipisahkan dari administrasi negara.


Administrasi pembangunan dikembangkan sebagai konsekuensi dari adanya ketimpangan antara administrasi pemerintahan di negara maju dengan administrasi pemerintahan di negara berkembang. Riggs (1964) dalam Hayati, et.al (2005:18) memandang bahwa administrasi negara untuk negara berkembang mempunyai pola perilaku yang berbeda dengan negara maju, yang menyangkut sistem, struktur, dan fungsi. Lebih lanjut Riggs mencatat setidaknya terdapat tiga kecenderungan dalam administrasi pembangunan, yaitu:

  1. Pergeseran dari pendekatan normatif ke pendekatan empiris;
  2. Pergeseran dari pendekatan ideologis ke arah pendekatan nomotetis;
  3. Pergeseran dari semua pendekatan tersebut ke pendekatan ekologis.

Referensi
Bellone, Carl J. 1982. Structural Vs. Behavioral Change: the Civil Service Reform Act of 1978. Review of Public Personnel Administration, Vol. 2, No. 2, 59-67 (1982). London: SAGE Publications.

Hayati, Tri, Harsanto Nursadi, dan Andhika Danesjvara. 2005. Administrasi Pembangunan: Suatu Pendekatan Hukum dan Pernecanaannya. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Kartasasmita, Ginandjar. 1997. Administrasi Pembangunan: Perkembangan dan Praktiknya di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Nigro, Lloyd G. & Felix A. Nigro. 1988. Modern Public Administration, 3rd-7th editions. New York: Harper and Row/Collins.

Pfiffner, John M & R. Vance Presthus. 1953. Public Administration (third edition). New York: Ronald Press Company.

Riggs, Fred W. 1964. Administration in Developing Countries:The Theory of Prismatic Society. Boston: Houghton Mifflin Company.

Shafritz, Jay M and E. W. Russell. 2005. Introducing Public Administration. Publisher: Longman Pub Group.

Siagian, Sondang P. 2003. Administrasi Pembangunan: Konsep, Dimensi, dan Strateginya. Jakarta: Bumi Aksara.

Suminta, Pradja. 2005. Bahan Ajar Administrasi Pembangunan. Surakarta: Program Studi Pendidikan Ekonomi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.

Tjokroamidjojo, Bintoro. 1995. Pengantar Administrasi Pembangunan. Jakarta: LP3ES.

Wilson, Woodrow. 1992. The Study of Administration., dalam Jay M. Shafritz dan Albert C. Hyde (ed.). Classic of Public Administration. Belmont, CA.: Wadsowrt Publishing Company.
DPRD KABUPATEN PELALAWAN
SIAK SRI INDRAPURA