Wednesday, November 07, 2007

Perlindungan Usaha Kecil dan Sektor Informal

Pengantar
Pada saat terjadi krisis moneter pertengahan 1997, di mana para pengusaha besar dan BUMN tidak dapat bertahan menghadapinya, usaha kecil (dan sektor informal) mampu bertahan ditengah krisis tersebut dan bahkan berkembang. Usaha kecil dan sektor informal telah menunjukkan eksistensinya dalam perekonomian nasional dengan pelbagai kontribusi, baik itu dari sisi makro maupun mikro. Hal tersebut sebenarnya merupakan fakta lama, namun tidak pernah terangkat ke permukaan.

Kisah kesuksesan usaha kecil dan sektor informal tersebut, ternyata tidak berbanding lurus dengan kepedulian pemerintah untuk mengangkat usaha kecil dan sektor informal ke jenjang yang lebih tinggi dalam kancah perekonomian negeri ini. Keberadaan usaha kecil dan sektor informal masih dipandang sebelah mata, setidaknya dapat tercermin dari rendahnya distribusi kredit kepada usaha kecil dan sektor informal karena minimnya agunan, sementara harus diakui bahwa kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja cukup tinggi.

Kucuran kredit yang sangat kecil tersebut semakin meyakinkan bahwa keberadaan usaha kecil (dan sektor informal) selalu dianaktirikan dalam akses permodalan dan selama itu pula keberadaan usaha kecil (dan sektor informal) hanya menggantungkan hidupnya dengan usaha sendiri dan tidak jarang mereka memanfaatkan keberadaan lembaga keuangan mikro pada level pedesaan.

Selain kendala permodalan, masih banyak hambatan operasional yang dialami oleh usaha kecil serta sektor informal termasuk rendahnya informasi tentang produk perbankan dan birokrasi yang rumit. Selain itu, selama ini kecenderungan pembinaan (pemberdayaan) yang ada terhadap usaha kecil dan sektor informal kurang optimal. Terkesan, pembinaan hanya dilakukan terhadap UKM-UKM serta sektor informal tertentu, terutama yang mendapat bantuan modal usaha dari BUMN atau UKM-UKM serta sektor informal yang sudah berkembang. Sedangkan yang belum mendapat bantuan atau belum berkembang, kurang mendapatkan pembinaan.

Secara politis, kemandirian pemerintah dan kemandirian masyarakat adalah wujud dari pengembangan kemampuan ekonomi daerah untuk menciptakan kesejahteraan dan memperbaiki kehidupan material secara adil dan merata yang pada ujungnya berpangkal pada pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat sendiri berdiri pada satu pemikiran bahwa pembangunan akan berjalan dengan sendirinya apabila masyarakat diberi hak untuk mengelola sumber daya alam yang mereka miliki dan menggunakannya untuk pembangunan masyarakatnya (Soetrisno, 1995:136). Paradigma pemberdayaan masyarakat menjadi sangat populer dikalangan para perencana pembangunan didunia ketiga, khususnya para anggota lembaga swadaya masyarakat yang melihat bahwa paradigma pemberdayaan akan lebih mampu mencapai tujuan pembangunan yaitu mengentaskan orang dari kemiskinan.

Apa Usaha Kecil dan Sektor Informal
Publik sudah mahfum bahwa usaha kecil dan sektor informal merupakan penampung angkatan kerja dominan. Akan tetapi, meski peranannya penting, pembicaraan tentang sektor informal tampak lebih menimbulkan persoalan daripada memecahkannya. Hal ini terjadi terutama karena langkanya definisi yang tepat tentang sektor informal. Secara sederhana, konsep ini digunakan untuk merangkum segala kegiatan yang tidak termasuk dalam sektor formal, yaitu sektor yang telah terorganisir, terdaftar dan dilindungi oleh hukum.

Pengertian lain dikembangkan dari karakterisitik pelakunya. Umumnya yang terlibat pada sektor informal berpendidikan rendah, miskin, tidak terampil dan kebanyakan para migran. Karena itu, cakrawala mereka terbatas untuk mencari kesempatan kerja dan menghasilkan pendapatan langsung bagi dirinya sendiri, tidak untuk maksimasi profit. Meskipun demikian harus diakui banyak di antara pelaku sektor informal berusaha dan berhasil mengatasi berbagai masalah dan hambatan yang ada dan secara perlahan masuk ke dalam sektor formal.

Mengingat kapasitas sektor formal dalam menampung pertambahan angkatan kerja sangat terbatas, maka perhatian serius terhadap sektor informal sangat diperlukan. Sebenarnya, Departemen Tenaga Kerja telah mengembangkan kebijakan pembinaan sektor informal dengan empat pendekatan, yaitu mendorong usaha informal menjadi usaha formal, meningkatkan kemampuan usaha sektor informal yang sama, merencanakan lokasi baru bagi usaha sektor informal yang menimbulkan kerugian sosial dan mengalihkan usaha yang kurang memiliki prospek ke bidang usaha lain yang lebih prospektif.

Secara umum, program-program tersebut cenderung membantu sektor informal dari segi manajemen dan permodalan. Pendekatan ini tampaknya tidak selalu berhasil dan lebih tepat bila ditujukan pada program pengembangan usaha kecil formal (small scale business). Hal ini disebabkan, selain permodalan menjadi masalah utama, pada sektor informal adalah rendahnya tingkat keterampilan dan pendidikan dari para pelakunya.

Jika keterampilan merupakan cerminan kasar dari tingkat pendidikan, sebagai gambaran, pada tahun 2005, sekitar 82% pekerja di sektor informal berpendidikan SD ke bawah, SLTP 11.6%, SLTA 6.2% dan diploma/universitas 0.2%. Kondisi demikian menyebabkan rendahnya tingkat produktivitas, sehingga pada dasarnya pertambahan kesempatan kerja baru di sektor informal tidak dapat meningkatkan produktivitas (BPS, 2005).

Masalah lain menyangkut pendekatan pembinaan (pemberdayaan) yang kurang didukung penataan aturan-aturan untuk melindungi sektor informal. Hal ini menimbulkan kesulitan terhadap pemerintah dalam membina sektor informal, sebab tidak sedikit di kalangan sektor informal yang pesimis dan skeptis dengan setiap program pembinaan dan pengembangan yang diprakarsai pemerintah.

Mengingat hal tersebut di atas, terdapat perbedaan antara unit-unit sektor informal dengan usaha kecil karena akan berimplikasi pada tataran operasional. Umumnya, usaha kecil cenderung berorientasi keuntungan (profit) dan sudah didukung keterampilan yang memadai. Masalah yang dihadapi pengusaha kecil lebih condong pada peningkatan kemampuan manajerial dan peluang lebih besar dalam mendapatkan dukungan permodalan.

Lebih lanjut, ada dua definisi usaha kecil yang dikenal di Indonesia. Pertama, definisi usaha kecil menurut Undang-Undang No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki hasil penjualan tahunan maksimal Rp 1 milyar dan memiliki kekayaan bersih, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, paling banyak Rp 200 juta (Sudisman & Sari, 1996:5). Kedua, menurut kategori Biro Pusat Statistik (BPS), usaha kecil identik dengan industri kecil dan industri rumah tangga. BPS mengklasifikasikan industri berdasrakan jumlah pekerjanya, yaitu: (1) industri rumah tangga dengan pekerja 1-4 orang; (2) industri kecil dengan pekerja 5-19 orang; (3) industri menengah dengan pekerja 20-99 orang; (4) industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih (BPS, 1999:250).

Kendati terdapat beberapa definisi mengenai usaha kecil namun agaknya usaha kecil mempunyai karakteristik yang hampir seragam. Pertama, tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan industri kecil dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan, serta memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekatnya.

Kedua, rendahnya akses industri kecil terhadap lembaga-lembaga kredit formal sehingga mereka cenderung menggantungkan pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau sumber-sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang perantara, bahkan rentenir. Ketiga, sebagian besar usaha kecil ditandai dengan belum dipunyainya status badan hukum.

Keempat, dilihat menurut golongan industri tampak bahwa hampir sepertiga bagian dari seluruh industri kecil bergerak pada kelompok usaha industri makanan, minuman dan tembakau, diikuti oleh kelompok industri barang galian bukan logam, industri tekstil, dan industri kayu, bambu, rotan, rumput dan sejenisnya termasuk perabotan rumahtangga.

Perbedaan karakteristik ini mengisyaratkan bahwa pola pendekatan untuk membantu usaha kecil haruslah berbeda dengan sektor informal. Program pengembangan usaha kecil lebih mengarah pada pembinaan manajemen usaha dan pemberian kemudahan mendapatkan kredit modal kerja/perluasan usaha. Sedangkan orientasi pembinaan unit-unit sektor informal yang tidak tergolong usaha formal kecil adalah pada peningkatan keterampilan, pendidikan dan penataan performa usaha.

Ciri-ciri pekerja sektor informal juga menunjukkan bahwa mereka tidak selalu dapat mengartikulasikan dan menetapkan kebutuhannya. Dalam hal ini perlu dicatat, meskipun berbagai usaha telah dilakukan untuk membantu sektor ini, usaha ini tidak selalu sesuai dengan harapan. Kelemahan-kelemahan ini sebagian disebabkan oleh fokus yang kurang jelas terhadap kebutuhan dan kegagalan dalam menilai kemampuan unit-unit sektor informal untuk menyerap bantuan.

Dengan kata lain, tidak seperti pada program pengembangan usaha kecil, program yang ditujukan pada sektor informal harus dapat menciptakan kepercayaan, membantu mereka dalam menetapkan kebutuhannya atas berbagai bentuk bantuan, mengetahui hubungan antara berbagai bentuk bantuan dan menilai kemampuan mereka untuk menyerap bantuan.

Di sisi lain, meskipun pekerja sektor informal membutuhkan berbagai bentuk bantuan, tipis harapan mereka akan mendapatkannya. Hal ini disebabkan, banyak kalangan mencurigai kemauan baik dari para pelaku sektor informal atau menyangsikan kemampuan dan kemauan dari pemerintah daerah untuk membantu mereka. Tidak mengherankan apabila kebijakan-kebijakan umum terhadap sektor ini di berbagai daerah dan/atau negara malah 'dimusuhi' sehingga mengurangi kredibilitas program.

Tampaknya penting untuk memulihkan keadaan ini melalui perubahan dalam kebijakan-kebijakan dan sikap pemerintah, terutama Pemerintah Daerah Kota Bandung. Dalam hal ini, lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) dapat memainkan peranan positif yang berguna membantu sektor informal. Pendekatan tersebut diperlukan agar dapat mengidentifikasikan berbagai bentuk bantuan (misalnya: kredit, keterampilan, peralatan, teknologi pemasaran, prasarana) dan memberikan paket yang disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan mereka.

Hal tersebut dapat dilakukan misalnya dengan menerapkan kebijakan bantuan khusus seperti penyediaan tempat atau kios untuk membangun kinerja unit-unit sektor informal yang lebih baik. Pemberian kredit juga harus dilakukan oleh pemerintah daerah, misalnya kredit melalui program-program khusus untuk golongan lemah dan sektor informal, serta mengembangkan kemudahan dalam pemasaran. Pemerintah daerah memfasilitasi dalam memberikan keterampilan kepada pelaku sektor informal sebagai suatu sarana untuk mobilitas pekerjaan bagi mereka juga merupakan upaya yang konstruktif.

Dewasa ini, kiranya sudah sangat diperlukan reorientasi pembinaan (pemberdayaan) kepada sektor informal yang mengacu pada peningkatan keterampilan, penataan performa usaha dan wilayah pemasaran. Selain itu, perlu adanya penataan aturan yang seimbang untuk menghindarkan perlakuan yang sewenang-wenang terhadap pelaku sektor informal dan sekaligus untuk menghindari kota dari kesemrawutan. Bagaimanapun, sektor informal yang tidak terkendali akan cenderung menyebabkan ketidaktertiban kota.

Pemerintah daerah kebanyakan berkilah mengenai tidak adanya dana bagi pemberdayaan sektor informal, padahal, dana dapat di ”program” dalam RAPBD jika pemerintah memiliki political will untuk hal tersebut. Jadi persoalannya bukan pada apakah ada dana atau tidak dalam kas daerah, tetapi lebih pada apakah pemerintah daerah punya komitmen untuk membenahi sektor informal dan juga unit-unit usaha kecil yang berada di wilayahnya.

Peningkatan keterampilan untuk pelaku sektor informal misalnya, tidak harus memerlukan biaya sangat tinggi, karena dapat dilakukan secara kemitraan dengan lembaga non profit. Hal yang sama juga untuk penataan performa usaha, lembaga non profit yang memiliki kapasitas di bidang ini dapat di ajak kerjasama dengan pemerintah daerah. Kerjasama antara pemerintah daerah dan lembaga non profit ini akan bermanfaat ganda, yakni selain bisa menekan biaya juga membuat program berjalan lebih efektif karena pelaku sektor informal umumnya masih respek terhadap lembaga-lembaga non profit dibanding kepada pemerintah daerah.

Mengapa Usaha Kecil dan Sektor Informal
Usaha kecil (dan sektor informal) merupakan salah satu kekuatan pendorong terdepan dalam pembangunan ekonomi. Gerak sektor usaha kecil dan sektor informal amat vital untuk menciptakan pertumbuhan dan lapangan pekerjaan. Usaha kecil dan sektor informal cukup fleksibel dan dapat dengan mudah beradaptasi dengan pasang surut dan arah permintaan pasar. Usaha kecil (dan sektor informal) juga menciptakan lapangan pekerjaan lebih cepat dibandingkan sektor usaha lainnya, dan cukup terdiversifikasi dalam memberikan kontribusi penting bagi ekspor dan perdagangan. Karena itu usaha kecil dan sektor informal merupakan aspek penting dalam pembangunan ekonomi suatu daerah yang kompetitif.

Di Indonesia, sumber penghidupan amat bergantung pada usaha kecil dan sektor informal. Kebanyakan usaha kecil dan sektor informal ini terkonsentrasi pada sektor perdagangan, pangan, olahan pangan, kayu dan produk kayu, serta produksi mineral non-logam. Usaha kecil dan sektor informal bergerak dalam kondisi yang amat kompetitif dan penuh dengan ketidakpastian; juga amat dipengaruhi oleh situasi ekonomi makro. Lingkungan usaha yang buruk lebih banyak merugikan usaha kecil dan sektor informal daripada usaha besar. Secara keseluruhan, sektor usaha kecil dan sektor informal diperkirakan menyumbang sekitar lebih dari 50% PDB (kebanyakan berada di sektor perdagangan dan pertanian) dan sekitar 10% dari ekspor (JICA, 2004).

Meski tidak tersedia data yang terpercaya, namun data BPS (tanpa tahun) mengindikasikan bahwa pekerja industri skala menengah telah menurun secara relatif dari sebesar 10% dari keseluruhan pekerja pada pertengahan tahun 1980an menjadi sekitar 5% di akhir tahun 1990an. Dibandingkan dengan negara maju, Indonesia kehilangan kelompok industri menengah dalam struktur industrinya. Akibatnya, disatu sisi terdapat sejumlah kecil perusahaan besar dan di sisi lain melimpahnya usaha kecil yang berorientasi pasar domestik.

Bagaimana Perlindungan Usaha Kecil dan Sektor Informal
Pengembangan dan perlindungan usaha kecil dan sektor informal harus bertumpu pada mekanisme pasar yang sehat dan adil. Pemerintah daerah perlu melakukan sejumlah langkah strategis yang harus ditempuh demi perlindungan usaha kecil dan sektor informal. Langkah-langkah tersebut misalnya Pertama, sumberdaya lokal (local resources) harus dijadikan basis utama, karena salah satu karakter usaha kecil dan sektor informal adalah melakukan proses efisiensi dengan ”mendekatkan” sumber bahan baku.

Kedua, pembentukan infrastruktur pendamping yang dapat membantu pelaku usaha kecil dan sektor informal dalam menghadapi lembaga pembiayaan, mengadopsi teknologi, dan mengakses pasar luas. Pusat inkubasi bisnis dapat dimulai dari masyarakat, tapi harus didukung penuh pemerintah, terutama oleh pemerintah daerah.

Ketiga, hadirnya lembaga penjamin kredit dari pemerintah daerah merupakan pilihan tepat, karena rendahnya aksesibilitas usaha kecil dan sektor informal terhadap lembaga pembiayaan berpangkal dari ketiadaan agunan. Strategi lain ialah menggencarkan produk pembiayaan alternatif berbasis syari’ah, seperti mudlarabah (bagi hasil).

Keempat, penggunaan teknologi yang berbasis pengetahuan lokal (indigenous knowledge) yang dilakukan oleh pemerintah bekerjasama dengan perguruan tinggi. Ketergantungan usaha kecil dan sektor informal terhadap teknologi asing yang berbiayai tinggi harus segera diakhiri.

Kelima, pemerintah daerah harus menyediakan informasi bagi pelaku usaha kecil dan sektor informal terkait dengan peluang pasar dan pemanfaatan teknologi. Disamping itu juga meningkatkan promosi produk dalam negeri di arena perdagangan nasional maupun internasional.

Penutup
Hampir setiap pemerintah daerah sering mengalami kesulitan dalam menerjemahkan dan menerapkan konsep otonomi daerah. Otonomi daerah seolah diimplementasikan sebagai keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk membuat kebijakan yang menguntungkan daerahnya dengan sasaran peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) tanpa harus memikirkan ekonomi rakyat. Padahal otonomi daerah adalah upaya untuk memberikan kewenangan pada pemerintah daerah untuk memberdayakan potensi daerah termasuk ekonomi kerakyatan, terutama usaha kecil dan sektor informal. Hal itu tidak hanya berarti materi, karena didalamnya ada juga keharusan untuk memperhatikan aspirasi masyarakat.

Keberadaan usaha kecil (dan sektor informal) yang merupakan salah satu diantara bentuk dari ekonomi kerakyatan, keberadaannya di era otonomi daerah merupakan potensi yang harus digali dan dikembangkan karena dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang masif dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana tujuan dari pembangunan daerah. Kondisi semacam ini juga dialami oleh Pemerintah Kota Bandung dengan potensi industri dan jasa yang dimilikinya, agar mampu mendorong peningkatan jumlah unit usaha kecil, baik industri kecil maupun sektor informal.

Kegiatan yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kota Bandung terkait dengan pengembangan usaha kecil (dan sektor informal) adalah:

  1. Mengembangkan master plan usaha kecil dan sektor informal di Kota Bandung;
    Meningkatkan infrastruktur bagi akses pelaku usaha kecil dan sektor informal terhadap informasi;
  2. Mendirikan sebuah lembaga daerah dalam pembiayaan usaha kecil dan sektor informal;
  3. Menunjuk sebuah dinas untuk melakukan koordinasi pengembangan pembiayaan mikro;
    Membentuk sebuak komite koordinasi untuk memperjuangkan reformasi peraturan bisnis;
  4. Menyederhanakan proses pembayaran pajak dan melakukan reformasi terhadap sistem pengembalian pajak;
  5. Mengurangi waktu dan biaya yang diperlukan untuk melakukan pendaftaran bisnis dalam jumlah tertentu;
  6. Mengakhiri program pinjaman bersubsidi bagi usaha kecil dan sektor informal;
    Menciptakan insentif dalam kebijakan yang mendorong investasi dibidang pusat pelatihan bisnis swasta;

Referensi
Soetrisno, Loekman. 1995. "Membangun Ekonomi Rakyat Melalui Kemitraan: Suatu Tinjauan Sosiologis", makalah dalam Diskusi Ekonomi Kerakyatan, Hotel Radisson, Yogyakarta, 5 agustus.
Bachruddin, Zaenal, Mudrajad Kuncoro, Budi Prasetyo Widyobroto, Tridjoko Wismu Murti, Zuprizal, Ismoyo. 1996. Kajian Pengembangan Pola Industri Pedesaan Melalui Koperasi dan Usaha Kecil. LPM UGM dan Balitbang Departemen Koperasi & PPK, Yogyakarta.

1 comment:

  1. mas aku minta artikelnya dikit ya...buat tugas kuliah...thanks sebelumnya

    ReplyDelete

DPRD KABUPATEN PELALAWAN
SIAK SRI INDRAPURA