Wednesday, November 14, 2007

Rangkap Jabatan: Antara Etika dan Profesionalitas

Pengantar
Masalah rangkap jabatan, kerap mencuat menjadi satu wacana kontroversial di masyarakat. Khususnya jika sedang mengkritisi perilaku politik elit politik atau eksekutif. Kasus yang terakhir muncul adalah kritikan terhadap rangkap jabatan antara jabatan politik dengan jabatan publik, seperti ketua partai merangkap ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (dulu), ketua partai merangkap Presiden atau Wapres. Kritik terhadap masalah ini menjadi sangat penting, khususnya dikaitkan dengan kepentingan etika jabatan dan profesionalitas.

Dalam pandangan ilmu pemerintahan dan ilmu administrasi, pentingnya kajian tentang etika dalam administrasi pada umumnya, pernah diungkapkan oleh Nicholas Henry. Henry melihat ada tiga alasan utama pentingnya pengkajian etika dalam administrasi. Pertama, hilangnya dikotomi politik-administrasi. Bahkan, kita ingin menambahnya dengan batas profesionalitas. Dahulu, kasus yang menimpa Samudra Sukardi, dapat dijadikan contoh relevan dalam masalah ini. Kasus Samudra cukup berlarut-larut (April-Mei 2002), dan akhirnya dia gagal menjadi direktur Garuda Indonesia. Alasan utamanya, adalah disinyalir ada KKN dengan sang Mentri BUMN (Laksamana Sukardi) yang notabene adalah adiknya.

Masalah tersebut menarik perhatian masyarakat karena adanya masalah lain yang mengikutinya, yaitu (a) masyarakat kita tidak tegas membedakan antara jabatan politis dengan jabatan profesional atau administrasi, (b) pengalaman buruk di jaman Orde Baru banyak yang menggunakan fasilitas jabatan administrasi sebagai jembatan politik bagi penguasa baik itu dalam pengerukan dana politik maupun pengumpulan masa pendukung, (c) ketidakjelasan hukum di Indonesia tentang batasan hak individu dengan hubungan keluarga pada seorang pejabat sehingga Samudra mencoba mengajukannya ke Komnas HAM untuk mempermasalahkan ketidakdilan politik dalam memperlakukan dirinya.

Dalam kasus Samudra Sukardi dulu, patut untuk disikapi lebih lanjut oleh seluruh masyarakat. Sebab didalamnya, selain mengandung masalah administrasi, politik, profesi tetapi juga hak untuk mengembangkan kariernya. Ada problema hukum, jika Samudra Sukardi tidak boleh menduduki jabatan publik gara-gara memiliki saudara yang menjadi pejabat negara. Dalam konteks seperti inilah, masalah etika itu menjadi penting untuk dikemukakan, sebab kita sekarang telah kehilangan batas antara perilaku administratif-politik-profesionalitas.

Kedua, tampilnya teori-teori pengambilan keputusan di mana masalah perilaku manusia menjadi tema sentral dibandingkan dengan pendekatan sebelumnya, seperti rasionalitas dan efisiensi. Pandangan ini, memberikan sebuah keterangan bahwa masalah rasionalitas dan efisiensi terkadang tidak dapat digunakan manakala kita menghadapi problema manajemen organisasi di jaman modern ini. Sebab, pengelolaan organisasi tidaklah hanya menggunakan ukuran efisiensi tetapi hubungan kemanusiaan antara pemimpin dengan bawahan, antara produsen dan konsumen, atau antara manajer dengan karyawan. Pola-pola hubungan inilah yang kemudian menjadi landasan empiris untuk mengembangkan etika administrasi/etika jabatan.

Steinberg dan Austern melihat bahwa perilaku etis selalu terkait dengan budaya. Dengan kata lain, dalam mengembangkan budaya organisasi yang baik dalam sebuah lingkungan kerja, seorang pejabat perlu memperhatikan budaya atau norma yang ada dilingkungan pegawainya sendiri. Pikiran seperti inilah yang kemudian mengembangkan teori managemen yang berbasiskan pada pendekatan hubungan sosial antar pihak. Pendekatan ini, memiliki implikasi yang luas dalam proses administrasi atau birokrasi. Seorang Walikota, tidak akan mampu mengoptimalkan sumberdaya manusia bawahannya, jika dia tidak memiliki kemampuan persuasif dan familiar kepada bawahannya. Hubungan kerja yang formalisme, indoktrinasi, komandoisme apalagi dengan cara kasar (premanisme) akan menyebabkan adanya ‘jarak psikologi kerja’ dilingkungan pegawainya. Akhirnya budaya kerja organisasi menjadi kurang sehat. Khususnya jika hubungan kemanusiaan itu sendiri, tidak digunakan untuk mencapai tujuan organisasi tetapi untuk kepentingan kelompok atau pribadinya sendiri. Alasan inilah yang akan menuntun pada urgensinya etika dalam pengelolaan organisasi.

Pada sisi yang lain, hubungan kemanusiaan dapat berimbas pada irrasionalitas atau inefisiensinya pola kerja pejabat. Dalam prakteknya di Indonesia, kasus ini dapat dilihat dalam masalah perjalanan presiden ke luar negeri. Di jaman pemerintahan Gus Dur, dalam tahun 2000, Presiden Gus Dur melakukan perjalanan 16 kali lawatan ke luar negeri. Setiap lawatannya, Gus Dur membawa pendamping perjalanan, baik itu pejabat, keluarga maupun koleganya. Demikian pula dengan lawatan Presiden Megawati ke China (Mei 2002). Megawati disertai sejumlah pejabat eksekutif dan juga didampingi oleh Taufik Kiemas (suami). Pertanyaan sederhananya, haruskah seorang pejabat melakukan lawatan ke luar negeri disertai oleh keluarga? Adakah hal ini unsur kesengajaan untuk memanfaatkan fasilitas negara ataukah ini satu kemestian budaya Timur yang senantiasa berbarengan dengan keluarga? Dapatkah kita melakukan pola kerja yang lebih mencerminkan sikap efisien dan efektif, baik secara person maupun keuangan ?

Ketiga, berkembangnya pandangan-pandangan pembaharuan yang disebut counterculture critique, termasuk didalamnya kelompok administrasi dari negara baru. Sebagai imbas dari budaya orang timur, kekeluargaan, kolektifisme atau kebersamaan dan gotong royong, ternyata menjadi bagian warna budaya dalam organisasi. Lebih jauh dari itu, imbas kultur Timur yang bersifat ‘sosialis’ dibandingkan Barat yang rasionalis berdampak pada masalah hubungan kemanusiaan ini menjadi penting untuk diperhatikan. Selain itu, bangsa Timur adalah bangsa yang sangat kuat memegang adat atau etika, baik itu etika etnis maupun etika keagamaan. Oleh karena itu, dalam masalah jabatan pun, kode etika menjadi perhatian masyarakat.

Keempat, tambahan dari pemikiran Steinberg dan Austern, adalah adanya potensi tungang-menunggangi kepentingan dalam jabatan. Dalam rangkap jabatan misalnya, khususnya antara kepentingan politik, pribadi dan kepentingan umum, seringkali menjadi masalah besar bagi bangsa Indonesia. Sehingga perkembangan yang lebih lanjut dari masalah ini, adanya kebutuhan untuk melakukan pemisahan jabatan antara jabatan politik dengan jabatan administrasi.

Salah satu kritikannya itu adalah adanya penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan politik kelompoknya. Upaya meminimalisir kejahatan pejabat seperti ini, maka selain masalah etika juga masalah profesionalitas menjadi bahan perdebatan masyarakat Indonesia saat ini. Sehingga masalah jabatan rangkap tersebut menimbulkan pro kontra di masyarakat. Kontroversi ini terus berlanjut sampai saat ini. Satu kelompok memandangnya sebagai sesuatu hal yang tidak etis untuk disandang, sementara kelompok yang lain menyatakannya adalah hak seseorang untuk memegang aneka jabatan sepanjang dia memiliki kemampuan profesionalitas yang bisa dipertanggungjawabkan.

Pembahasan
Di Indonesia belum dapat ditemukan klasifikasi jabatan yang baku. Kendatipun ada beberapa tulisan yang mengantarkan tentang masalah ini, namun tampaknya belum begitu memuaskan. Misalnya saja, Miftah Thoha membagi kedalam dua jenis jabatan, yaitu jabatan politik dan jabatan karier. Oleh karena itu, Dalam kesempatan ini saya mencoba untuk membagi jenis jabatan ini ke dalam tiga kelompok, yaitu jabatan politik, jabatan profesi dan jabatan publik. Ketiga jenis jabatan ini, perlu dipahami secara proporsional. Tanpa penjelasan seperti ini, maka akan terjadi overlap, baik itu ketika menduduki jabatan rangkap atau menganalisis fenomena perilaku si pejabat tersebut. Diakhir pengklasifikasian jabatan ini, saya mencoba untuk mengangkat satu jenis jabatan sosial di masyarakat yang ada saat ini.

Jabatan politik merupakan satu-satunya jabatan yang paling terbuka. Dengan karakter yang terbukanya ini, jabatan politik bisa diperebutkan oleh setiap warga negara tanpa melihat kualifikasi apapun dari orang tersebut. Satu-satunya sarat yang dapat menghantarkan dirinya mampu menduduki jabatan politik ini, adalah dukungan politik itu sendiri. Baik itu dukungan politik dari wakil rakyat, birokrat yang lebih tinggi, atau dukungan politik dari masyarakat. Syarat adanya dukungan politik ini, mutlak sangat diperlukan untuk meraih posisi atau jabatan politik.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam mencermati jabatan politik ini, yaitu jenjang karir jabatan politik. Tampkanya, dikaitkan dengan naluri kekuasaan yang dimiliki oleh manusia, jabatan politik adalah puncak jabatan prestius yang diinginkan oleh setiap orang yang meniti sebuah jabatan struktural. Seorang pekerja profesi pemerintahan, puncak karier profesinya adalah birokrat negara (jadi mentri), tetapi ujungnya berpeluang jadi Presiden atau wakil rakyat. Seorang pekerja profesi guru yang menjadi ujung birokrasi adalah menjadi mentri pendidikan, tetapi ujungnya bisa jadi wakil rakyat dan atau menjadi presiden. Demikian pula yang lainnya. Oleh karena itu, jabatan politik merupakan satu-satunya jabatan prestisius, dan terbuka, bahkan dapat disebut puncak karier struktural dalam sistem kelembagaan sosial.

Ada sejumlah indikator lain, yang dapat menyebutkan sebuah jabatan itu dapat disebut sebagai jabatan politik. Pertama, jabatan politik adalah status sosial yang didapatkan oleh seseorang didalam organisasi politik. Dalam konteks Indonesia, organisasi politik itu adalah lembaga sosial yang memiliki hak untuk menjadi peserta pemilihan umum sesuai dengan ketentuan undang-undang yang ada. Untuk sekedar menyebutkan contoh, yaitu PDI-P, Partai Golkar, PKB, PPP, PAN, PBB dan PK. Meninjam istilah Steinberg dan Austern, pejabat ini disebut sebagai pejabat hasil pemilihan.

Kedua, jabatan politik adalah lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan publik yang mengikat ke luar. Kebijakan publik ini, selain menjadi kewenangannya, tetapi juga dapat dijadikan sebagai alat ukur unuk kinerja pejabat politik. Sehingga dengan demikian, pensikapan pemilih terhadap pejabat politik di masa yang akan datang, dapat ditentukan dengan cara melihat kinerja pejabat politik tersebut. Kebijakan publik dan aplikasi dari kebijakan-kebijakan publik itulah yang dijadikan sebagai tolak ukur penilaian terhadap pejabat publik yang paling real bagi pendukungnya.

Ketiga, jabatan politik tidak berstatus pegawai negeri. Bahkan, karena jabatan politik ini memiliki periode terbatas, misalnya 5 tahun untuk Presiden, maka jabatan ini lebih bersifat kontraktual. Jabatan politik adalah kontrak antara lembaga politik dengan rakyat (pemerintah). Pola dan sistem kontraktualnya, ditentukan oleh suara politik, baik itu di dewan perwakilan rakyat ataupun dalam pemilihan umum. Maka tidak mengherankan jika seorang warga negara Indonesia dari sebuah desa, bisa menduduki jabatan sebagai Presiden selama 5 tahun kemudian dia lengser menjadi warganegara biasa lagi.

Keempat, yang penting ditekankan di sini, yaitu dilihat dari mekanisme pencapai jabatan politik. Seseorang, yang akan memperebutkan jabatan politik akan mengikuti jalur pencalonan secara terbuka, pemilihan secara terbuka oleh wakil rakyat dan kemudian diangkat/ditetap oleh pihak yang berwenang didalamnya. Mekanisme ini, merupakan keunikan dalam sistem jabatan politik. Sebab, dengan adanya mekanisme yang terbuka dan berdasarkan pemilihan politis, maka karir dalam jabatan politik tidak bersifat sistematis atau berjenjang. Seseorang dapat secara drastis mengalami fluktuasi status sosial politiknya. Kultur eselonisasi dan senioritas tidak berlaku dalam peraihan jabatan politik.

Kelima, status yang dimilikinya adalah mandat untuk mengelola pemerintahan sendiri. Sebuah jabatan politik, adalah jabatan mandataris yang diberikan oleh pihak pemilih kepada mandataris untuk menjalankan tugas dan kewenangannya sebagaimana yang diamanatkan pemilih kepadanya.

Dengan menggunakan indikator utama tersebut, maka secara jelas dapat dikemukakan bahwa jabatan politik itu adalah status sosial yang terkait erat jalur usaha, kegiatan politik dan memiliki kewenangan dalam mengeluarkan kebijakan publik. Sejumlah jabatan yang termasuk dalam kategori jabatan politik yaitu ketua partai politik, seluruh kepala pemerintahan (Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, Camat dan Kelurahan), Ketua DPR, MPR. Dengan sedikit kekecualian (tidak jelas kategori jabatannya), mentri-mentri kabinet harus diposisikan sebagai jabatan politik. Sebab, jabatan ini umumnya merupakan paket dari jabatan Presiden atau Wapresnya itu sendiri. Sehingga fluktuasi jabatan mentri itu, sangat kentaldengan pengaruh politik yang ada saat itu.

Jabatan Administrasi
Sebuah sistem yang modern, menurut Max Weber adalah organisasi yang memiliki sistem birokrasi yang rasional. Implikasi dari teorinya ini, maka modernisasi organisasi itu diwujudkan dalam pola pembentukan birokrasi-birokrasi. Untuk mendukung kepentingan ini, maka sebuah organisasi membutuhkan personil untuk kelancaran program pemerintahan. Personil yang menduduki pos-pos birokrasi inilah yang membantu pimpinan dalam menjalankan roda organisasi.

Aparat birokrat dalam sistem organisasi ini, kita sebut sebagai pejabat administrasi. Karakteristik dari pejabat ini, sudah sangat jelas. Bagi masyarakat Indonesia, aparat birokrasi itu adalah, pertama, sistem kerja struktural. Artinya, ada sistem komunikasi kerja dari eselon yang tertinggi sampai pada pejabat yang terrendah. Meminjam istilah Steinberg dan Austern, pejabat ini disebut dengan pejabat peniti karir.

Kedua, pola pengembangan kariernya dilakukan secara sistematis, berjenjang sesuai dengan standar dan indikator yang telah ditetapkan dahulu. Seperti halnya seorang karyawan Pemerintah Daerah yang merangkak naik dari golongan I sampai golongan III. Penjenjangan jabatan administrasi ini, berdampak terhadap hak dan kewajibannya dalam lingkungan pemerintahan. Bahkan, penjenjangan ini, dapat menggambarkan kinerja pegawai, peluang untuk menduduki posisi tertentu dalam struktur birokrasi.

Ketiga, bedanya dengan pejabat politik, pejabat administrasi ini adalah pegawai negeri sipil yang memiliki hak untuk diberi gaji oleh pemerintah. Indikator ketiga ini, merupakan ciri khas dari pejabat administrasi. Dan oleh karena itu, fungsi dari jabatan administrasi ini adalah membantu kelancaran program pemerintahan, dan juga memberikan pelayanan kepada masyarakat umum. Kinerja pejabat administrasi diukur dari kualitas pelayanannya kepada masyarakat.

Keempat, jabatan administrasi ini, pada dasarnya adalah jabatan yang didapatkan dengan cara adanya pengangkatan dari pemerintah atau pejabat politik. Masa kerja atau jabatannya tidak ditentukan oleh ‘angin politik’, melainkan oleh ketentuan peraturan sebagai PNS. Seorang warga negara yang diangkat menjadi pejabat administrasi, birokrat dapat memegang jabatan birokrat ini sampai usia 55 atau 60 tahun sesuai dengan insntansinya masing-masing sebagaimana yang ada di peraturan kepegawaian.

Dengan demikian, diantara jabatan yang termasuk ke dalam jabatan administratif atau birokrat ini adalah seluruh PNS di lingkungan instansi pemerintahan, termasuk dalam hal ini staf kepresidenan atau kewapresan. Staf Presiden atau Wapres itu, pada dasarnya adalah PNS yang ada di lingkungan Pemerintahan yang berstatus PNS. Oleh karena itu, termasuk birokrat. Dalam kategori ini, ketua atau kepala BUMN adalah termasuk kedalam birokrat pemerintah.

Jabatan Profesi
Kembaran dari jabatan administrasi, adalah jabatan profesi. Dengan kata lain, dalam jabatan profesi ini, sebenarnya ada juga jabatan administrasi, yang biasa disebut jabatan struktural. Sementara itu, kembarannya disebut dengan jabatan fungsional atau jabatan profesi. Peran yang paling kentara untuk jenis jabatan ini, diantaranya adalah jabatan guru, dokter, hakim, TNI dan Polri. Kelompok jenis pekerjaan ini, sangat sulit dikelompokan sebagai jabatan administratif, apalagi sebagai sebuah jabatan politik.

Status guru, dapat dijadikan contoh untuk jabatan profesi. Seorang guru, memiliki fungsi untuk melayani masyarakat secara umum. Mereka bukanlah aparat pemerintah (murni), juga bukan agen politik. Guru memiliki kewajiban untuk mencerdaskan anak bangsa dengan tidak membentuk, memplot atau mendikte anak pada kepentingan penguasa (pemerintah) ataupun kepentingan partai politik tertentu. Jika kepentingan pemerintah atau partai politik yang dilakukannya, maka masa depan dan hak asasi anak didik akan terganggu. Oleh karena itu, jabatan guru ini dilandaskan pada etika profesinya itu sendiri, bukan pada kepentingan penguasa atau kepentingan politik. Hal serupa dapat terjadi pada profesi dokter, atau hukum. Jika kedua jenis jabatan ini diintervensi oleh kepentingan-kepentingan pemerintah atau politik, maka profesionalitas kerjanya akan tercemar dan pelayanan kepada masyarakat akan menjadi buruk.

Beberapa indikator dari jabatan profesi, dapat dikemukakan disini. Pertama, jabatan profesi adalah status sosial yang memiliki kepentingan mandiri dalam melayani masyarakat. Jabatan profesi ini, bukan untuk memenuhi kepentingan kelompok luar (pemerintah atau politik) melainkan untuk memenuhi kepentingan profesi jabatannya itu sendiri. Karakter kerja jabatan profesi, adalah profesionalitas dari profesinya dalam melayani masyarakat umum.

Kedua, jabatan profesi adalah status sosial yang membutuhkan adanya keterampilan hasil pendidikan atau pelatihan secara khusus. Jalur pendidikan profesi ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan profesionalitas dari setiap calon pejabat profesi tersebut. Sehingga, kualitas layanan profesinya kepada masyarakat dapat lebih optimal.

Ketiga, dalam menjaga kualitas dan netralitas kerja profesi, organisasi profesi (biasanya) memiliki kode etik profesi. Kode etik profesi ini, dirumuskan secara bersama dan dijadikan pedoman dalam menjalankan tugasnya di lapangan. Kode etik ini pulalah yang menjadi koridor perilaku pejabat profesi ini.

Keempat, sebagaimana halnya dengan jabatan administrasi, jabatan profesi ini juga (ada yang) mendapatkan gaji dari pemerintah. Jabatan profesi ini di Indonesia ini, adalah pegawai negeri sipil yang memiliki tugas sebagai pelayan masyarakat sesuai dengan dengan profesinya sendiri. Hakim dan Jaksa adalah pegawai negeri. Tetapi, sebagai jabatan profesi, kepentingan hakim dan jaksa bukan membantu kepentingan pemerintah. Tetapi menegakkan hukum bagi penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, sebagai pegawai pemerintah dalam masalah penegakan hukum, hakim dan jaksa mendapatkan status sebagai PNS dengan segala hak dan kewajibannya. Sedangkan sebagai jabatan profesi, dia berpihak kepada hukum sebagai pegangan pola kerjanya.

Jabatan Privacy
Selain yang dikemukakan di atas, ada wilayah “jabatan yang kelabu”. Artinya, ruang jabatan atau jenis jabatan ini sangat sulit untuk diidentifikasi. Namun demikian, kita ingin menyebutnya sebagai jabatan privacy (swasta). Ada dua kelompok jenis jabatan privacy ini, pertama yaitu hasil bentukan pemerintah untuk menangani satu masalah khusus, sebagaimana yang disebutkan di atas. Atau, dengan kata lain, jabatan ini merupakan buah dari kreasi-kreasi ‘politik’ si pejabat politik itu sendiri. Status jabatan ini, tidak bersifat struktural, bukan profesi, tapi juga tidak politis. Hanya saja, bisa du’tafsirkan’ atau ditunggani kepentingan politik. Sebut sajalah contohnya itu adalah BPPN, KOMNAS HAM, Ombudsman atau lembaga-lembaga baru lainnya bentukan pemerintah.

Jenis jabatan, atau lembaga baru bentukan pemerintah seperti ini, sangat sulit diidentifikasi dan dikelompokkannya dalam salah satu jabatan yang ada saat ini. Sejumlah kesulitan yang meliputinya itu adalah (a) statusnya bentukan pemerintah, (b) fungsi dan peran spesifik, (c) khusus untuk BPPN dan sejenis lebih cenderung sementara, yakni menyelesaikan masalah perbankan di era krisis ekonomi, (d) dan bersifat strategis (atau politis).

Kedua adalah jabatan yang terbentuk atau dibentuk oleh masyarakat itu sendiri. Jenis jabatan yang kedua ini adalah status sosial yang dimiliki oleh seseorang sebagai buah karya kreatifitasnya sendiri. Pada dasarnya mereka lepas dari campur tangan pemerintah atau pihak luar. Mereka berkembang sebagai dengan sendirinya, sesuai dengan hasil usahanya. Namun demikian, profesi ini menjadi perlu untuk diperhatikan, jika dikaitkan dengan adanya sejumlah kepentingan yang ada didalam pekerjaan ini, yaitu kepentingan bisnisnya sendiri. Kelompok jabatan privacy ini sangat beragam, misalnya saja seniman, wirausahawan, lembaga sosial kemasyarakatan.

Mutasi dan Rangkat Jabatan
Hal yang patut mendapat perhatian serius dari masyarakat Indonesia adalah gejala mutasi jabatan atau rangkat jabatan. Kedua persoalan ini menjadi perhatian serius di kalangan masyarakat kita saat ini. Sebab, rangkap jabatan yang dilakukan oleh orang yang tidak profesional, tidak akan melahirkan pola kerja atau kinerja yang produktif. Selain itu, rangkap jabatan oleh orang yang memiliki kepentingan pribadi atau kelompok, dapat menyebabkan adanya kerugian yang besar bagi masyarakat dan negara. Bahkan, rangkap jabatan atau mutasi jabatan yang tidak dilandasi oleh profesionalitas atau kedewasaan dalam berfikir, hanyalah melahirkan inefisiensi kerja dalam lembaga yang ditempatinya tersebut. Oleh karena ‘the right man on the right job’ harus diperhatikan oleh semua pihak. Dalam hal ini Rasulullah Muhammad SAW pun mengatakan bahwa “jika sebuah pekerjaan diberikan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya”.

Sebelum mengkaji fenomena mutasi dan rangkap jabatan ini, ada baiknya mengkritisi pemikirannya Miftah Thoha yang mengulas tentang netralitas PNS dari pengaruh politik praktis. Dari hasil kajiannya itu, dapat dikemukakan sejumlah pertanyaan mendasar yang patut dicermati bersama. Pertama, mengapa elit politik diberi kewenangan yang lebih dalam menentukan nasib PNS, bukan sebaliknya ? Kedua, bukankah berpolitik itu adalah hak, dan menjadi PNS adalah prestasi kerja seseorang? mengapa dalam menjalankan hak, seorang PNS harus melepaskan hasil kerja dan keringatnya? Ketiga, adalah perlakuan yang diskriminatif dalam mengangkat seorang pejabat. Thoha menyebutkannya, jika pemilihan Panglima TNI dan Kapolri perlu dilakukan fit and propper test, sedangkan untuk memilih presiden lebih cenderung ditentukan oleh 'kekuatan dukungan politik. Dari sejumlah persoalan yang tidak jelas inilah, maka mewacanakan pemisahan jabatan, tidaklaah akan dapat menuntaskan persoalan rangkap jabatan. Bahkan, bisa jadi, persoalan ini mencuat hanya dilatari oleh kepentingan politik semata.

Kritikan masyarakat selama ini, ditujukan kepada sejumlah kasus di era Orde Baru yang melakukan rangkap jabatan. Kasus yang dilakukan dengan rangkap jabatan itu adalah menjadikan jabatannya sebagai mesin politik, mesin dana bagi kepentingan partai atau kelompoknya sendiri. Kasus yang mencolok adalah diangkatnya Harmoko (mentri Khusus, pembantu Presiden) untuk melakukan pembekalan kepada wakil rakyat (orang yang akan melakukan evaluasi kepada mandataris – atasannya Harmoko), banyaknya wakil rakyat di era Orde Baru yang menjadi mentri.

Dengan sejumlah kasus di atas, kita dapat mengangkat kembali pertanyaan di awal tulisan ini. Pertama, bolehkah rangkap jabatan itu dilakukan? Kedua, bagaimanakah mekanisme mutasi jabatan lintas jenis jabatan semstinya dilakukan? Dua pertanyaan ini, perlu diwacanakan sehingga kasus-kasus dalam contoh di atas, dapat disikapinya dengan proporsional dan kontekstual.

Merumuksan Standar Etika : Profesionalitas
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, dapat dilakukan penelaahan teoritis terhadap sejumlah pandangan yang ada saat ini. Sebab, menurut Steinberg dan Austern (1998 : 67) seandainya tidak ada standarisasi untuk mengukure perilaku tidak bermoral, tidak etis, kita tidak akan tahu kualitas dan status praktek yang dilakukan oleh sejumlah orang, baik itu atas nama perorangan maupun kolektif. Bahkan, mungkin jadi kita merasa etis padahal menurut orang lain tidak etis, atau mungkin sebaliknya. Oleh karena itu, perlu melihat rumusan keetikan dalam sebuah perilaku pejabat.

Secara umum, Steinberg dan Austern membagi adanya tiga kelompok pejabat yang ada di pemerintahan Amerika Serikat waktu. Pertama, adalah golongan perilaku yang tidak didasarkan pada etika, sikap ini diwakili oleh koruptor. Kedua, golongan yang menerapkan nilai netralitas atau realtivistik, disebutnya sebagai golongan fungsional. Dalam menjelaskan kelompok fungsional ini, Steinberg dan Austern menyebutkan adanya ciri oportunisnya golongan fungsional terhadap perilaku pemimpinnya. Perilaku apapun yang dilakukan oleh pemimpinnya, maka kesanalah ‘angin’ perilakunya tersebut. Ketiga, penghayat etika, yaitu perilaku yang didasarkan pada landasan etika. Thompson, ketika menjelaskan tentang etika legislatif, menyebutkan ada tiga pendekatan yang dikembangkan dalam merumuskan etika legislatif ini.

Pertama, etika minimalis. Pandangan ini menekankan tentang pentingnya membuat aturan-aturan yang menghambat adanya konflik kepentingan finansial. Daya tarik dari etika minimalis cukup jelas, yakni :
mengharamkan hanya satu bidang kecil perilaku, dan menentukan aturan-aturan yang relatif objektif, yang dapat diterima oleh legislator yang tidak menyepakati moral fundamental dan nilai-nilai politis, tidak mendiktekan peran khusus apapun atau teori politik substantif apapun yang atasnya dewan perwakilan harus bertindak.
Dengan etika minimalis ini, seorang wakil rakyat hanya dibatasi oleh satu standar umum, yakni tidak dibolehkannya mendapatkan keuntungan secara pribadi. Atau dengan kata lain, segala hal yang berkaitan dengan kepentinan umum, harus pula dibuka tentang dampaknya pada kepentingan-kepentingan pribadi.

Konsep ini dapat dijadikan pisau analisis dalam mengkritis perilaku pejabat yang menggunakan fasilitas negara. Seorang Presiden atau Wakil Presiden melakukan kunjungan partai, atau kunjungan pribadi ke kerabatnya dengan menggunakan kendaraan. Pertanyaannya, fasilitas siapakah yang digunakan tersebut? fasilitas presiden, fasilitas ketua Partai, atau miliki pribadi?

Berdasarkan telaahan ini, maka ukuran keetikan dalam etika minimalis itu adalah didasarkan pada (a) kerugian material di pihak negara, (b) kelebihan keuntungan pada pribadi dibandingkan kepentingan umum atau kepentingan negara. Dua alasan inilah yang dapat mengukur keetikan seseorang dalam bertindak.

Kedua, etika fungsional. Etika ini lebih menekaankan untuk senantiasa melakukan puritanisme fungsi legislator (juga jabatan yang lainnya) itu sendiri. Apapun tindakan seseroang, yang berkaitan dengan jabatannya, baik itu berkaitan dengan finansial atau tidak, harus dilihat dari fungsi jabatannya itu sendiri. Dengan demikian, pengembalian pada sistem politik, sistem perundang-undangan atau legitimasi formal terhadap sebuah perbuatan, menjadi sangat penting untuk dijadikan tolak ukur dalam mengevaluasi sebuah tindakan seorang pejabat.

Dalam kasus ini, seorang anggota DPR memiliki hak untuk melakukan kunjungan, atau peninjauan ke daerah. Dengan kata lain, mereka berhak untuk bertemu dengan pejabat di daerah, pengusaha di daerah atau pihak-pihak yang lainnya. Yang menjadi masalah adalah perilaku pejabat ini, harus diposisikan secara jelas sebagai wakil rakyat yang meninjau ke daerah, atau ‘memungut’ pajak non-budgeter di daerah. Sepanjang perilakunya sesuai dengan fungsinya, maka pejabat ini, masih tetap diposisikan sebagai orang etis.

Ketiga, etika rasional. Padangan ini tidak hanya mendasarkan pada logika formal atau legal. Lebih jauh dari itu, Thompson mengatakan bahwa etika rasional mendasarkan diri paa nilai-nilai keadilan, kebebasan atau kebaikan bersama. Dengan istilah lain, prosedural dan legal, tidak cukup untuk mengukur kualitas keetisan perilaku seorang pejabat. Dalam mengkaji dan mengevaluasi etika pejabat ini, patut disertakan nilai-nilai keadilan, atau malahan sebuah kritik kepatutan berdasarkann pertimbangan-pertimbangan rasional dan nurani rakyat banyak.

Menarik untuk dijadikan kajian dalam momentum di sini. Tahun 2002, masyarakat kita Bandung tengah dikena bencana banjir. Bahkan daya beli masyarakat kota Bandung pun menurun, akibat adanya krisis ekonomi yang berkepanjang. Namun uniknya, ternyata wakil rakyat di DPRD Kota Bandung ini, menjalankan ibadah haji dengan biaya dari APBD. Masalah di sini, tidaklah melihat sisi syari’ah (kewajiban atau hak sebagai seseorang muslim), atau legalitasnya (sudah disyahkan dalam APBD), tetapi perilaku itu menggambarkan sikap yang tidak ‘matut’, tidak adil, dan menyakiti hati masyarakat Bandung. Sebab, mereka itu sedang dalam kesusahan secara ekonomi. Sementara itu, APBD hanya digunakan untuk kepentingan sekelompok orang saja. Ini adalah gambaran etika pejabat yang tidak rasional, atau tidak patut. Kalau ketiga pandangan ini dilihat dalam perspektif lain, tampaknya ada dua arus pemikiran yang kuat di dalamnya. Kelompok etika minimalis dan etika fungsional, lebih cenderung sebagai sistem etika yang realistik bahkan cenderung pragmatis. Sementara etika rasionalis, dapat berkembang menjadi sebuah sistem etika yang idealis. Ketiga pendekatan ini, dalam kasus-kasus tertentu dalam saling berbenturan. Oleh karena itu, perlu dibuat sebuah kerangka pikir yang mampu mengakomodir ketiga hal tersebut tadi.

Catatan Akhir
Dengan mencermati kasus, landasan teoritis tentang etika, maka kita dapat melanjutkan kajian ke penuntasan masalah yang dikemukan dalam wacana ini. Kaitannya dengan masalah, kita dapat dikemukan jawaban bahwa sepanjang tidak aturan yang melarangnya, maka hal demikian tidak bisa ditolak. Namun demikian, terdapat sejumlah rambu-rambu rasionalitas yang dapat dikemukakan di sini. Pertama, jabatan rangkap dalam posisi struktural atau politik tidak boleh dilakukan dalam posisi yang inter-subordinasi, misalnya saja wakil rakyat yang menjadi mentri. Kedua, mutasi atau rangkap jabatan yang lintas jenis harus didukung oleh nilai-nilai profesionalitas. Ketiga, orang politik yang menjabat posisi jabatan non-politis harus menanggalkan sikap dan aspirasi politik, dan kembali untuk menjunjung tinggi nilai-nilai karakter jabatan yang dipegangnya. Keempat, kedaulatan atau hak individu untuk meraih jabatan apapun harus diakomodir dan diakui oleh setiap anggota masyarakat. Kelima, nilai-nilai profesionalitas atau kompetensi individu dalam memegang jabatan, merupakan satu standar formal dan material untuk dijadikan acuan dalam menilai kelayakan seseorang dalam menjabat sebuah posisi dalam sebuah lembaga. Atau, istilah Miftah Thoha, yaitu pelayanan kepada masyarakat yang tidak membedakan latar belakang dan afiliasi politiknya.

Dibalik itu semua, berdasarkan telaahan ini ada sejumlah kebutuhan mendesak bagi kita semua. Pertama, kita perlu memberikan kejelasan kepada semua pihak tentang aneka jenis jabatan yang ada dalam masyarakat ini. Tanpa ada sosialisasi atau penegasan mengenai klarisifikasi jabatan ini, dapat melahirkan adanya kerancuan dalam melakuka kritik, evaluasi atau dan kontrol kepada pejabat-pejabat itu sendiri. Selama ini, kita tidak mengetahui karakter dan jenis jabatan yang pasti.

Kedua, dibutuhkannya sejumlah kebijakan formal tentang hal-hal yang berkaitan dengan etika jabatan atau mekanisme mutasi dan rangkap jabatan. Hal ini, penting untuk dijadikan acuan dalam mengukur kualitas keetisan perilaku pejabat. Sebab, tanpa dibentuknya standar etika pejabat, maka analisis rasional akan menyeretnya pada kritikan yang subjektif sesuai dengan tingkat rasionalitas atau asumsi yang dimilikinya masing-masing. Oleh karena itu, masyarakat, wakil rakyat dan eksekutif perlu berembug untuk menyusun tentang standar etika jabatan di Indonesia. Dengan demikian, maka persoalan jabatan dan rangkap jabatan tidak lagi menjadi masalah politik, hukum atau masalah etika lagi bagi bangsa kita ini.

1 comment:

  1. mas budi, saya irwan alumni admnistrasi publik Unpar, sekarang saya sedang melanjutkan studi S2 di UGM, tulisan mas budi sangat baik sekali menjadi bahan inspirasi penulisan.

    Thanx

    Irwan A.Bachtiar, S.AP
    -Yogyakarta-

    ReplyDelete

DPRD KABUPATEN PELALAWAN
SIAK SRI INDRAPURA