Tuesday, April 22, 2008

MDGs, Jawa Barat dan Kemiskinan

Secara global, pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bulan September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB yang sebagian besar diwakili oleh kepala pemerintahan sepakat untuk mengadopsi Deklarasi Milenium. Deklarasi tersebut berdasarkan pada pendekatan yang inklusif dan berpijak pada perhatian bagi pemenuhan hak-hak dasar manusia (basic human needs). Dalam konteks tersebut, negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals (MDGs). Dalam MDGs tersebut, terdapat 8 (delapan) tujuan (goal) yang hendak dicapai sampai tahun 2015 oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia, dengan tujuan pertama adalah mengatasi dan/atau memberantas kemiskinan dan kelaparan (United Nations, 2000).

Komitmen semua negara di dunia untuk memberantas kemiskinan ditegaskan dan dikokohkan kembali dalam ”Deklarasi Johannesburg mengenai Pembangunan Berkelanjutan” yang disepakati oleh para kepala negara atau kepala pemerintahan dari 165 negara yang hadir pada KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan, September 2002. Hasil deklarasi tersebut kemudian dituangkan dalam dokumen ”Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan”, yang juga telah ditanda-tangani oleh pemerintah Indonesia untuk menjadi acuan dalam melaksanakan pembangunan di Indonesia.

Dengan demikian, pemerintah Indonesia telah membuat komitmen nasional untuk memberantas kemiskinan dalam rangka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dimana pemerintah dan semua perangkatnya dalam semua level, baik pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota bersama-sama dengan berbagai unsur masyarakat memikul tanggungjawab utama untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan sekaligus memberantas kemiskinan yang terjadi di Indonesia paling lambat tahun 2015.

Untuk menunjang hal tersebut, sesuai dengan butir II Paragraf 7 Dokumen Johannesburg 2002 tentang “Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan” (Plan of Implementaion of the World Summit on Sustainable Development), Pemerintah Indonesia sepakat untuk menempuh langkah-langkah dalam memberantas kemiskinan paling lambat tahun 2015, yaitu:
  1. Mengurangi separuh proporsi penduduk dunia yang berpenghasilan kurang dari 1 dollar AS per hari dan proporsi penduduk yang menderita kelaparan, dan pada tahun yang sama, mengurangi separuh proporsi jumlah penduduk yang tidak memiliki akses pada air minum yang sehat;
  2. Membentuk dana solidaritas dunia untuk penghapusan kemiskinan dan memajukan pembangunan sosial dan manusia di Indonesia;
  3. Mengembangkan program nasional bagi pembangunan berkelanjutan dan pengembangan masyarakat daerah lokal dalam lingkup strategi nasional pengurangan kemiskinan, meningkatkan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat miskin serta organisasi kelompok masyarakat tersebut;
  4. Memajukan akses yang sama dan partisipasi penuh kaum perempuan, berdasarkan prinsip kesetaraan dengan pria, dalam pengambilan keputusan pada semua tingkatan, mengarus-utamakan perspektif gender dalam semua kebijakan dan strategi pembangunan, serta penghapusan semua bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan;
  5. Mengembangkan kebijakan, cara-cara dan sarana untuk meningkatkan akses masyarakat adat/penduduk asli dan komunitas mereka terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi, dengan memperhatikan hakekat ketergantungan mereka selama ini pada ekosistem alami dimana,mereka hidup dan bekerja;
  6. Menyediakan pelayanan kesehatan dasar untuk semua kelompok masyarakat dan mengurangi ancaman terhadap kesehatan yang berasal dari lingkungan;
  7. Menjamin bahwa anak-anak di manapun juga, baik laki-laki maupun perempuan, dapat menyelesaikan pendidikan dasar serta memperoleh akses dan kesempatan yang sama pada semua tingkatan pendidikan;
  8. Menyediakan akses pada sumber daya pertanian bagi masyarakat miskin. khususnya perempuan dan komunitas masyarakat adat/penduduk asli;
  9. Membangun prasarana dasar pedesaan, diversifikasi ekonomi dan perbaikan transportasi, serta akses pada pasar, kemudahan informasi pasar dan kredit bagi masyarakat miskin pedesaan, untuk mendukung pembangunan pedesaan dan pertanian secara berkelanjutan;
  10. Melaksanakan alih pengetahuan dan teknik dasar pertanian berkelanjutan, termasuk pengelolaan sumber daya alam secara lestari, untuk petani dan nelayan skala kecil dan menengah, serta masyarakat miskin di pedesaan, termasuk melalui pendekatan partisipatif yang melibatkan para pemangku kepentingan terkait;
  11. Meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan pangan, dengan memajukan pola kemitraan produksi pangan berbasis masyararakat;
  12. Memerangi kekeringan dan peng-“gurun”-nan lahan, serta mengurangi dampak bencana kekeringan dan bencana banjir, melalui langkah-langkah seperti penggunaan informasi dan prakiraan iklim dan cuaca, sistem peringatan dini, pengelolaan sumber daya tanah dan alam secara lestari, penerapan praktik pertanian dan koservasi ekosistem yang ditujukan untuk membalikkan dan mengurangi kecenderungan degradasi tanah dan sumber daya air;
  13. Meningkatkan akses pada sanitasi untuk memperbaiki kesehatan manusia dan mengurangi angka kematian bayi dan “balita”.

Kendati Indonesia ikut serta dalam kesepakatan global melaksanakan MDGs untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dicanangkan PBB sejak 2000, namun dalam Human Development Report 2007 yang dikeluarkan oleh UNDP, menunjukkan bahwa kualitas manusia Indonesia makin memburuk dalam 10 tahun terakhir. Dalam laporan tersebut, HDI atau IPM Indonesia yang diukur dari pendapatan riil per kapita, tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf dan kualitas pendidikan dasarnya, ternyata peringkat Indonesia masih berada di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya. Peringkat Indonesia dari tahun ketahun selalu menurun dari 110 menjadi peringkat 112 dari 175 negara yang dinilai UNDP (2003), walaupun pada tahun 2006 terdapat peningkatan ranking ke 110 (UNDP, 2007).


Bagi Indonesia, melaksanakan 13 langkah pengentasan kemiskinan sebagaimana tercantum dalam butir II Paragraf 7 dari Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan tersebut di atas merupakan pilihan strategi nasional yang tidak dapat ditawar lagi. Namun langkah-langkah tersebut juga wajib disertai dengan strategi dan langkah lain yang menunjang dalam pembangunan desa guna mengatasi kemiskinan di daerah. Selama ini, kebijakan pembangunan di Indonesia terutama pembangunan desa selalu bersifat top down dan tidak terintegrasi, dimana pemerintah pusat (setiap departemen) merencanakan suatu program pembangunan bagi desa tanpa mengetahui dengan detail bahwa program pembangunan yang dibutuhkan oleh setiap desa berbeda-beda.

Di sisi lain, strategi pembangunan dalam mengatasi kemiskinan tidak akan berhasil apabila tidak diintegrasikan dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan yang secara sadar merubah pola konsumsi masyarakat dan cara-cara produksi yang tidak menunjang keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Karena makin luas dari besarnya kerusakan, degradasi dan pencemaran lingkungan yang terjadi selama ini adalah akibat langsung dari penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam (terutama yang yang tak terbarukan) secara berlebihan, boros dan tidak bertanggungjawab yang sebagian terbesar dilakukan oleh dan melalui sistem industri modern (Soemarwoto, 2004).

Lebih lanjut menurut Soemarwoto, kebutuhan masyarakat dan industri modern membuat sumber daya air, energi, mineral, hutan, laut, semuanya dieksplorasi dan dieksploitasi dari alam tanpa mempedulikan ambang batas dan daya dukung lingkungannya. Eksploitasi secara besar-besaran terhadap berbagai sumber daya alam itu dilakukan dengan sistem, teknologi, peratatan dan cara-cara yang menghasilkan limbah dan pencemaran lingkungan, merusak ekosistem, merampas hak-hak masyarakat adat, dan menyengsarakan kehidupan masyarakat sekitarnya (Soemarwoto, 2004).

Dengan demikian, pemberantasan kemiskinan merupakan masalah pembangunan yang sangat kompleks dan mempunyai berbagai dimensi tantangan, baik secara lokal, nasional maupun global. Upaya mengatasi masalah kemiskinan karenanya tak bisa dilepaskan dari strategi nasional untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan di suatu negara, utamanya pembangunan desa (Jayadinata & Pramandika, 2006:2). Berdasarkan rencana pelaksanaan KTT pembangunan berkelanjutan tersebut diketahui bahwa terdapat 3 (tiga) persyaratan pokok bagi tercapainya pembangunan berkelanjutan bagi semua bangsa di dunia, yaitu pengentasan rakyat dari kemiskinan, perubahan pola konsumsi dan produksi masyarakat yang tidak menunjang keberlanjutan, serta perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam secara lestari (UNDP, 2002).

Selain itu, program pengentasan kemiskinan juga tidak mungkin berjalan tanpa adanya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) sebagai dasar bagi terlaksananya pembangunan berkelanjutan di manapun, termasuk di Indonesia. Tata kelola pemerintahan yang baik diantaranya ditandai oleh berjalannya sistem pemerintahan yang demokratis, transparan (transparency) dan bertanggung jawab kepada publik (accountability); kebijakan ekonomi, sosial dan lingkungan yang dirancang dan dilaksanakan secara terpadu dan partisipatif; lembaga-lembaga demokratis yang tanggap (responsive) terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat; peraturan hukum dan perundang-undangan yang ditaati dan dilaksanakan secara konsisten dan adil; upaya pemberantasan korupsi yang dilaksanakan secara tegas tanpa pandang bulu; pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia serta hak-hak dan kepentingan masyarakat adat dan kelompok masyarakat rentan (UNDP, 2002).

Dalam konteks kemiskinan di Indonesia, masalah kemiskinan merupakan masalah mendasar yang harus segera ditangani oleh pemerintah. Penanggulangan kemiskinan yang holistik dan integratif sangat memerlukan peran yang maksimal dari semua pelaku, terutama peran pemerintah (baik pusat maupun daerah) dalam merangsang partisipasi masyarakat melalui perluasan peran dan ruang dialog yang reciprocal dengan menggalang kemitraan sinergis antara pemerintah (state), masyarakat (society) dan swasta (private sector). Masalah kemiskinan yang terus menerus terjadi di Indonesia, selain disebabkan oleh pudarnya rasa kepedulian, keberpihakan serta kebersamaan di kalangan masyarakat, juga disebabkan oleh peran pemerintah yang tidak maksimal dalam upaya mengatasi kemiskinan.

Bila merujuk pada data statistik, sebenarnya jumlah penduduk miskin di Indonesia telah berkurang secara drastis dalam dua dekade menjelang 1996, yaitu dari 54,2 juta pada 1976 menjadi 22,5 juta pada 1996 (BPS, 1996). Akan tetapi, dengan adanya krisis ekonomi sejak pertengahan 1997, angka kemiskinan di Indonesia meningkat kembali. Krisis ekonomi tersebut telah menyebabkan peningkatan angka kemiskinan dari 15% sebelum krisis (pertengahan 1997) menjadi 33% pada akhir 1998. Krisis ekonomi telah menyebabkan sekitar 38 juta penduduk Indonesia jatuh miskin (Suryahadi, et al, 2003:iii). Sembilan tahun setelah krisis ekonomi berlalu, dampak krisis ekonomi mulai berkurang dan jumlah penduduk miskin menurun tetapi tetap tinggi menjadi 17,4% (BPS, 2007).

Secara umum, walaupun jumlah penduduk miskin di Indonesia secara peringkat (rank) turun jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara atau Asia pada umumnya, tetapi masih tetap di bawah negara lain, artinya progres pemerintah dalam pengentasan kemiskinan selama ini terkesan sangat lamban. Mendapatkan gizi yang baik dan pendidikan yang memadai adalah persoalan besar bagi keluarga miskin di Indonesia. Selain itu, kemiskinan mempunyai pengaruh yang lebih luas dan signifikan terhadap masyarakat dan perkembangan perekonomian Indonesia secara keseluruhan (UNDP, 2006).

Terkait dengan hal tersebut, sebelum MDGs dideklarasikan, berbagai usaha untuk menanggulangi kemiskinan telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, baik melalui pendekatan langsung maupun tidak langsung. Diantara upaya-upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut, awalnya terdapat empat program utama yang telah dilaksanakan, yaitu: (a) Instruksi Presiden mengenai Desa Tertinggal (IDT); (b) Program Pembangunan Keluarga Sejahtera melalui Tabungan Keluarga Sejahtera/Kredit Usaha Keluarga Sejahtera (Takesra/Kukesra); (c) Proyek Peningkatan Pendapatan Petani-Nelayan Kecil (P4K); dan (d) Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) (Bappenas, 2006).

Sebagai bagian dari rancangan program untuk mengidentifikasi sasaran penerima program, sejumlah upaya telah dilakukan untuk memetakan kemiskinan di Indonesia. Khususnya, dua upaya penting pertama dalam pemetaan kemiskinan untuk wilayah kecil adalah Program IDT dan Takesra/Kukesra. Program IDT dilaksanakan dari tahun 1994 hingga 1997. Pendekatan yang digunakan untuk menetapkan sasaran adalah dengan mengkategorikan semua desa di Indonesia ke dalam kategori desa miskin atau desa terbelakang dan desa tidak miskin, sehingga sebenarnya sasaran dari program IDT lebih mengarah pada daerah miskin, bukan pada penduduk yang mengalami kemiskinan.

Sementara itu, Program Pembangunan Keluarga Sejahtera yang dikelola Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencoba untuk mengarahkan sasarannya langsung ke keluarga miskin. BKKBN mengkategorikan semua rumah tangga di Indonesia dalam lima kategori kesejahteraan, yaitu: (a) Keluarga Pra Sejahtera (KPS); (b) Keluarga Sejahtera I (KS I); (c) Keluarga Sejahtera II (KS II); (d) Keluarga Sejahtera III (KS III); dan (e) Keluarga Sejahtera III+ (KS III+). Keluarga miskin biasanya dianggap sama dengan KPS, tetapi kadang-kadang disamakan dengan KPS dan KS I. Klasifikasi menurut BKKBN dibuat berdasarkan beberapa indikator, termasuk pola konsumsi makanan sehari-hari, jenis layanan kesehatan yang dapat diakses oleh anggota keluarga, kepemilikan dan penggunaan pakaian, bahan dan ukuran lantai rumah, dan kemudahan bagi anggota keluarga untuk melaksanakan ibadah menurut agamanya masing-masing (BKKBN, 2000).

Dari berbagai program kemiskinan di atas, faktor-faktor yang bersifat struktural selama ini kurang diperhatikan oleh pemerintah. Hal tersebut ditandai dengan kurangnya pemerataan pembangunan dan kurangnya distribusi pendapatan akibat paradigma pembangunan yang kapitalistik dan sangat berorientasi pada pertumbuhan ekonomi (economic growth oriented) serta perencanaan yang sangat kaku dan terpusat (centrally rigid planning) selama kurang lebih 35 tahun rangkaian pelaksanaan Repelita 1966-2001.

Upaya-upaya perubahan struktural seperti mengubah distribusi pendapatan secara fungsional, redistribusi harta (assets) ataupun penerapan sistem pajak yang progresif tidak memberikan hasil yang signifikan terhadap pengentasan kemiskinan karena kurang efektifnya pemerintah dalam mengendalikan sistem ekonomi kapitalis yang demikian dominan. Pemerintah hanya mampu menyentuh golongan lemah dengan pendekatan proyek-proyek kemanusiaan (humanitarian program) baik yang bersifat program rehabilitasi (rehabilitation; crash program) yang biasanya ditindaklanjuti dengan upaya-upaya pemberdayaan (empowerment) ekonomi rakyat.

Hal di atas dapat dilihat dari Program Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan (Gerdu Taskin) dan Jaringan Pengaman Sosial (JPS). Program ini terbagi dalam dua pendekatan yaitu pertama rehabilitasi atau penanggulangan kemiskinan akibat krisis ekonomi, musibah, dan bencana alam yang ditempuh melalui bantuan pangan, bantuan kesehatan, bantuan pendidikan, serta proyek padat karya. Kedua pemberdayaan penduduk, keluarga dan masyarakat miskin melalui pemberdayaan keluarga miskin (perbaikan gizi dan kesehatan, pendidikan, dan lain-lain), pemberdayaan usaha mikro (kewirausahaan, modal, teknologi, manajemen, pemasaran, dan lain-lain), serta pemberdayaan wilayah tertinggal (pemukiman, tempat usaha, dan lain-lain).
Dalam prakteknya, pendekatan rehabilitasi dan pemberdayaan di atas banyak menghadapi kendala, baik kendala pendanaan, teknis maupun non-teknis. Dari segi pendanaan, hampir mustahil pemerintah memiliki dana yang cukup untuk menanggulangi permasalah yang bersifat massal tersebut. Dari segi teknis ternyata kemampuan manajerial aparatur pemerintah masih jauh dari memadai kendatipun dibantu oleh berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kendala non-teknis menyangkut mentalitas aparat termasuk LSM tertentu yang memanfaatkan program di atas sebagai lahan korupsi. Oleh sebab itu, hingga saat ini sulit dicari angka-angka ukuran keberhasilan dari program-program Gerdu Taskin dan JPS tersebut.

Di sisi lain, berbagai program penanggulangan kemiskinan di Indonesia tersebut dalam perjalanannya menghadapi tantangan berupa krisis ekonomi tahun 1997 yang mendera perekonomian Indonesia dan terjadi berkepanjangan sehingga memberikan dampak yang sangat besar pada jumlah orang miskin, apalagi ditambah dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini. Pada tahun 2005, terjadi dua kali kenaikan BBM yang pada akhirnya telah memperbesar jumlah masyarakat atau orang miskin melalui kenaikan dalam inflasi dan kontraksi output (Kuncoro, 2005:17).

Pada awalnya, kemiskinan selalu dikaitkan dengan faktor ekonomis, yang dinyatakan dalam ukuran tingkat pendapatan (income) atau tingkat konsumsi individu atau komunitas. Lembaga donor internasional seperti Bank Dunia atau Bank Pembangunan Asia (ADB), pada periode sebelumnya menggunakan tingkat pendapatan 1 dolar AS per hari sebagai batas kemiskinan (proverty line). Sementara itu di negara-negara berkembang, kemiskinan diukur dengan tingkat pemenuhan kebutuhan dasar, yang dinyatakan dalam ukuran kebutuhan hidup minimum atau kebutuhan kalori.

Perbedaan pandangan tersebut di atas jelas berimplikasi pada pendekatan yang digunakan untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Seperti banyak diterapkan di negara-negara berkembang umumnya, upaya pengentasan kemiskinan dilakukan dengan pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi. Para pengambil keputusan menurut Mubyarto (2003:57) memandang pertumbuhan output nasional dan regional yang dinyatakan dalam pendapatan perkapita atau GNP dapat mendorong kegiatan ekonomi lainnya (multiplier effect), yang pada gilirannya menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan peluang berusaha. Sebenarnya, bila skenario tersebut berjalan sesuai asumsi di atas, kemiskinan secara tidak langsung akan dapat dientaskan.

Namun menurut Mubyarto (2003:57), peningkatan produk domestik bruto (GNP) tidak dengan sendirinya membawa peningkatan standar hidup masyarakat secara keseluruhan maupun individu. Ada dua alasan mengapa hal tersebut tidak berlaku. Pertama, umumnya pertumbuhan penduduk di negara-negara berkembang lebih besar dari pada pertumbuhan ekonomi sehingga secara komparatif tidak memberikan peningkatan taraf hidup secara signifikan. Kedua, adanya ketidakadilan dan struktur ekonomi yang tidak berpihak kepada kaum miskin membuat output pertumbuhan tersebut tidak terdistribusi secara merata.

Teori trickle down effect yang mendasari kebijakan di atas tidak berlaku sepenuhnya. Kemakmuran tersebut umumnya hanya akan ”menetes” kepada lapisan masyarakat tertentu yang secara komparatif memiliki pengetahuan, ketrampilan, daya saing, dan absorptive capacity yang lebih baik. Sementara masyarakat yang benar-benar miskin dan mengalami apa yang disebut kemiskinan absolut jarang mengenyam hasil pembangunan tersebut. Bahkan,sering pembangunan justru membuat mereka mengalami marginalisasi yang lebih parah, baik fisik maupun sosial.

Gagal dengan pendekatan trickle down effect tersebut, upaya pengentasan kemiskinan selanjutnya oleh pemerintah diarahkan dengan pola bantuan langsung, tetapi program ini memunculkan implikasi baru. Pada satu sisi bantuan tersebut memang dapat efektif mencapai sasaran, tapi pada sisi lain input eksternal tanpa adanya perkuatan sosial (social strengthening) sering menimbulkan ketergantungan dan mematikan kreasi dan inovasi masyarakat. Sehingga, program dengan pola bantuan langsung tersebut gagal dalam mengatasi dan mereduksi jumlah penduduk miskin di Indonesia.

Seperti halnya tingkat kemiskinan nasional, dalam lingkup propinsi Jawa Barat, tingkat kemiskinan penduduk mengalami peningkatan. Selain peningkatan tersebut, tingkat kemiskinan di Jawa Barat ternyata lebih tinggi dari tingkat kemiskinan nasional yang mempunyai nilai Indeks Kemiskinan Masyarakat (IKM) 25,2 (Bapeda Jabar, 2007). Dengan nilai IKM seperti itu, berdasarkan klasifikasi yang diberikan oleh UNDP, derajat kemiskinan penduduk Jawa Barat berada pada klasifikasi menengah tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan penduduk Jawa Barat relatif masih tinggi dan tentunya diperlukan peran pemerintah daerah yang lebih maksimal untuk mengentaskannya. Salah satu jalannya adalah dengan kebijakan pembangunan desa dalam upaya mengatasi kemiskinan di desa karena sebagian besar penduduk miskin di Jawa Barat berada di desa (60%).

Berdasarkan data Bapeda Jabar (2007), sebenarnya di Jawa Barat terdapat berbagai Program (Penanggulangan) Kemiskinan, baik program nasional maupun program khusus pemerintah Provinsi Jawa Barat. Program nasional diantaranya adalah:

  1. Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP);
  2. Program Jaring Pengaman Sosial (JPS);
  3. Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS);
  4. Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK);
  5. Dana Operasional dan Pemeliharaan Puskesmas (DOP Puskesmas);
  6. Program Beasiswa dan Dana Bantuan Operasional Pendidikan Dasar dan Menengah (BS dan DBO Dikdasmen);
  7. Dana Operasional dan Pemeliharaan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (DOP-SD/MI);
  8. Jaring Pengaman Sosial Bidang Sosial (JPS-BS);
  9. Prakarsa Khusus untuk Penganggur Perempuan atau Special Initiative for Women’s Unemployment (PKPP/SIWU);
  10. Padat Karya Perkotaan (PKP);
  11. Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE).

Sedangkan program khusus Provinsi Jawa Barat dalam penanggulangan kemiskinan mengembangkan:

  1. Dakalabarea;
  2. Gerakan Rereongan Sarupi;
  3. Gerakan Jumat Bersih;
  4. Gerakan Sarasa;
  5. Program Raksa Desa;
  6. Program Pendanaan Kompetensi IPM (PPK-IPM)


Akan tetapi, efektivitas dari berbagai program-program penaggulangan kemiskinan, baik program nasional maupun program provinsi Jawa Barat tersebut di atas menunjuk pada hasil yang kurang maksimal. Hal tersebut disebabkan oleh kewenangan dan fasilitasi provinsi yang terbatas serta tidak langsung dapat mengakses masyarakat karena sifat program yang hanya bantuan dan bukan program murni yang berkelanjutan. Sementara itu, program nasional bersifat top down planing tanpa mengetahui kebutuhan spesifik dan kekhasan yang diperlukan oleh masyarakat di daerah, terutama masyarakat miskin di pedesaan.

Terkait dengan pemerintahan desa, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Secara historis, pengaturan mengenai desa di Indonesia telah ada sejak zaman kolonial. Pada zaman penjajahan Belanda, terdapat peraturan perundang-undangan mengenai desa yaitu Inlandshe Gemeente Ordonantie yang berlaku untuk Jawa dan Madura serta Inlandshe Gemeente Ordonantie voor Buitengewesten yang berlaku untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Madura. Pengaturan ini bertahan cukup lama dan baru diganti dengan terbitnya UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja. Terdapat kesamaan antara pengaturan Inlandshe Gemeente Ordonantie dan Inlandshe Gemeente Ordonantie voor Buitengewesten dengan UU No. 19 Tahun 1965 dalam hal memandang desa sebagai sebuah kesatuan masyarakat hukum (volkgemeenschappen), memiliki hak ada istiadat dan asal usul. Dengan demikian, berdasarkan peraturan perundang-undangan ini nama, jenis, dan bentuk desa sifatnya tidak seragam.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, peraturan perundang-undangan mengenai desa mengalami perubahan yang ditandai dengan terbitnya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Berbeda dengan pengaturan berdasarkan IGO dan UU No. 16 Tahun 1965, menurut UU 5 Tahun 1979, pengaturan yang tidak menyeragamkan pemerintahan desa merupakan hambatan untuk melaksanakan pembinaan dan pengendalian yang intensif guna peningkatan taraf hidup masyarakat. Oleh karena itulah, secara tegas dinyatakan di dalam UU ini bahwa kebijakan mengenai desa diarahkan pada penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa dengan corak nasional. Berdasarkan UU ini, desa adalah suatu wilayah yang ditempati sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hak menyelenggarakan rumah tangganya dalam pengertian UU ini bukanlah merupakan hak otonomi, sehingga dapat dikatakan bahwa dengan UU No 5 tahun 1979, administrasi desa dipisahkan dari hak adat istiadat dan hak asal usul. Desa diharuskan mengikuti pola yang baku dan seragam sedangkan hak otonominya yaitu hak untuk mengatur diri sendiri, ditiadakan. Desa sekedar satuan administratif dalam tatanan pemerintah.

Dari pengertian di atas, jelas bahwa secara struktural dengan ditempatkannya desa sebagai organisasi pemerintahan langsung di bawah camat menunjukkan bahwa hubungan antar desa dengan supradesa bersifat hirarkis sampai ke tingkat pusat. Hal ini dikarenakan posisi Camat sebagai kepala wilayah yang menjalankan asas dekonsentrasi atau merupakan unsur Pemerintah Pusat yang ada di daerah. Karena pola hubungan yang bersifat hirarkis, maka seluruh peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang desa dibuat oleh pemerintah pusat dan diberlakukan sama secara nasional.

Setelah terjadi reformasi pada tahun 1998, pengaturan mengenai desa mengalami perubahan seiring dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini secara nyata mengakui otonomi desa. Otonomi yang dimiliki oleh desa menurut UU ini adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya, bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari Pemerintah. Sehingga yang disebut Desa atau nama lainnya, yang selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.

Dengan demikian, otonomi yang dimiliki desa adalah otonomi asli, yaitu otonomi yang berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat. Sehingga dalam kenyataannya pasti akan timbul berbagai keanekaragaman, baik dari segi nama, susunan pemerintahan, maupun bentuk-bentukan geografisnya. Tegasnya, terdapat keadaan-keadaan khusus yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dari sinilah sebenarnya prinsip-prinsip kebhinekaan itu ada dan berkembang secara nyata dalam masyarakat. Sehingga secara riil hak-hak, asal-usul, dan istiadat dihormati sebagai modal pembangunan desa.

Pengaturan mengenai desa di Indonesia kembali mengalami perubahan seiring dengan terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan mengenai desa di dalam UU ini kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Dalam hal kewenangan, secara prinsipil tidak ada perubahan yang mendasar dalam pengaturan mengenai kewenangan desa. Dalam UU ini, desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Hal tersebut kemudian dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 7 PP No. 72 Tahun 2005 bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:

  1. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa;
  2. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;
  3. Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota;
  4. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.


Perubahan mendasar tampak dalam aspek sistem pemerintahan baik pemerintahan desa maupun dengan hubungannya dengan supradesa. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada Bupati atau Walikota, memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat. Untuk meningkatkan pelayanan, di dalam UU ini ditegaskan bahwa sekretaris desa diisi oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Lebih lanjut dalam UU ini, Camat diberikan peranan yang tegas dalam kaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan desa. Menurut ketentuan dalam Pasal 126 ayat (3) huruf a, camat memiliki kewenangan untuk membina penyelenggaraan pemerintahan desa. Pengertian membina pada ketentuan ini adalah dalam bentuk fasilitasi pembuatan peraturan desa (perdes) dan terwujudnya administrasi tata pemerintahan desa yang baik.

Akan tetapi, Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan Kelurahan, Desa memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas.

Terkait dengan pembangunan desa (rural development), secara tradisional Mosher (1969:91) menyebutkan bahwa pembangunan desa mempunyai tujuan untuk pertumbuhan sektor pertanian, dan integrasi nasional yaitu membawa seluruh penduduk suatu negara ke dalam pola utama kehidupan yang sesuai, serta menciptakan keadilan ekonomi berupa bagaimana pendapatan itu didistribusikan kepada seluruh penduduk. Menurut Fellman & Getis (2003:357), pembangunan desa diarahkan kepada bagaimana mengubah sumber daya alam dan sumber daya manusia suatu wilayah atau negara sehingga berguna dalam produksi barang dan melaksanakan pertumbuhan ekonomi, modernisasi dan perbaikan dalam tingkat produksi barang (materi) dan konsumsi.

Dengan demikian, pembangunan desa diarahkan untuk menghilangkan atau mengurangi berbagai hambatan dalam kehidupan sosial ekonomi, seperti kurang pengetahuan dan keterampilan, kurang kesempatan kerja, dan sebagainya. Akibat berbagai hambatan tersebut, penduduk wilayah pedesaan umumnya miskin (Jayadinata & Pramandika, 2006:1). Sasaran dari program pembangunan pedesaan adalah meningkatnya kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi masyarakat desa sehingga mereka mendapat kesejahteraan, yang berarti mereka memperoleh tingkat kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan material dan spiritual.


Menurut Kartasasmita (1996:394), dalam pembangunan pedesaan harus melakukan empat upaya besar yang saling berkaitan, yaitu:

  1. Memberdayakan ekonomi masyarakat desa yang memerlukan masukan modal, bimbingan teknologi, dan pemasaran untuk memandirikan masyarakat desa (pembangunan ekonomi);
  2. Meningkatkan kualitas sumber daya penduduk pedesaan dengan peningkatan pendidikan, kesehatan, dan gizi sehingga memperkuat produktivitas dan daya saing (pembangunan pendidikan);
  3. Membangun prasarana pendukung pedesaan yang cukup, seperti jalan, jaringan telekomunikasi dan penerangan, yang masih merupakan tanggungjawab pemerintah (pembangunan infrastruktur);
  4. Mengatur kelembagaan pedesaan, yaitu berbagai lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat desa. Pemerintah desa harus mampu menampung aspirasi dan menggali potensi masyarakat (pengembangan kapasitas pemerintahan).

Berdasar uraian di atas, pembangunan desa secara konkret harus memperhatikan berbagai faktor, diantaranya adalah terkait dengan pembangunan ekonomi, pembangunan atau pelayanan pendidikan, pengembangan kapasitas pemerintahan dan penyediaan berbagai infrastruktur desa. Semua faktor tersebut diperlukan guna mengimplementasikan dan mengintegrasikan pembangunan desa ke dalam suatu rencana yang terstruktur dalam desain tata ruang desa.

Terkait dengan peran pemerintah daerah dalam mengatasi kemiskinan di Jawa Barat, selama ini peran pemerintah provinsi dalam perencanaan pembangunan desa di batasi dalam hal kewenangan, fasilitas dan tidak langsung ke masyarakat. Hal tersebut menyebabkan dukungan pemerintah Provinsi ke Kabupaten/Kota tidak maksimal karena sifatnya hanya memberikan bantuan dan bukan program kepada desa. Dimana dalam ketentuan perundang-undangan, bantuan yang diberikan oleh pemerintah provinsi tidak boleh dalam jumlah yang besar karena asumsinya Pemerintah Kabupaten/Kota sudah memiliki program sendiri terkait dengan penanggulangan kemiskinan di desa.

Pemerintah provinsi, karena sifatnya hanya memberikan bantuan dan bukan program kepada desa, maka ketercapaian hasilnya juga rendah karena tidak berkesinambungan baik dalam implementasi dan evaluasi. Dengan kata lain, tidak ada jaminan keberlanjutan bantuan dari provinsi kepada desa. Padahal, berdasarkan ketentuan perundang-undangan, pemerintah provinsi bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat, yang dalam hal ini pemerintah provinsi bertanggung jawab terhadap tingginya angka kemiskinan di daerahnya.

Di sisi lain, baik dalam musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang), musyawarah perencanaan pembangunan daerah (musrenbangda), dan musyawarah perencanaan pembangunan kecamatan (musrenbangcam), dimana ajang tersebut sebagai ajang perencanaan pembangunan daerah, selama ini dirasakan tidak optimal dan hanya bersifat formalitas semata karena terjadi tarik menarik kepentingan antara elite di daerah. Dengan demikian, ajang musrenbang/ musrenbangda/musrenbangcam pun tidak maksimal untuk menyerap aspirasi masyarakat dalam pembangunan karena masing-masing level (elite birokrasi) bertahan dengan pendirian atau keputusan-keputusan yang telah dibuat sebelumnya dalam hal penentuan program-program pembangunan daerah. Di samping itu, hasil musrenbang dalam kenyataannya tidak pernah diaplikasikan dan diimplementasikan dilapangan secara utuh.

Otonomi daerah yang berada di Kabupaten/Kota juga menyebabkan peran pemerintah provinsi menjadi tidak maksimal dalam upaya pengentasan kemiskinan di Jawa Barat. Dalam hierarki perundang-undangan, peran pemerintah provinsi hanya sebatas memberikan saran dan konsultasi kepada pemerintah Kabupaten/Kota. Hal tersebut menyebabkan ketiadaan akses yang lebih bagi pemerintah provinsi untuk dapat mengimplementasikan program-program pengentasan atau penanggulangan kemiskinan di desa.

Minimnya peran pemerintah provinsi terkait dengan pembangunan desa, kondisi tersebut kemudian diperparah dengan banyaknya kebijakan pemerintah pusat dalam pembangunan desa yang selalu bersifat top-down, dimana pemerintah pusat selalu memaksakan program-programnya dalam pembangunan desa bagi daerah. Kebijakan pemerintah dalam pembangunan desa juga bersifat parsial atau sektoral sehingga keterkaitan dan keterpaduan antar program tidak terjadi. Dengan kata lain, antar departemen terkait tidak ada sinergitas fungsi dan program terkait dengan kemiskinan di desa. Selain itu, kebijakan pemerintah dalam pembangunan desa selama ini tidak akomodatif terhadap kekhasan daerah dan cenderung diseragamkan, kebijakan tidak fokus pada pengentasan atau penanggulangan kemiskinan dimana kegiatan apa yang akan dilakukan tidak berdasarkan pada grand design pembangunan desa (misalnya 5 tahunan).

Kebijakan pemerintah terkait pembangunan desa selama ini dinilai tidak berdasarkan pada potensi desa yang ada, tidak berdasarkan pada desain tata ruang (yang telah dibuat), hasil musrenbang tidak implementatif, tidak ada perencanaan yang komprehensif terhadap pembangunan desa, mekanisme perencanaan dan pembiayaan desa tidak optimal, peran stakeholders terutama pemerintah desa tidak optimal. Hal tersebut telah menyebabkan pembangunan desa hanya menggantungkan (depend on) pada bantuan atau program dari pemerintah pusat, provinsi kabupaten dan kota. Selain itu, kebijakan pemerintah terkait pembangunan desa selama ini juga dinilai tidak memperhatikan kondisi faktual infrastruktur yang ada di desa, ketersediaan prasarana ekonomi dan aktivitas ekonomi, pelayanan pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja sehingga diversifikasi usaha di desa sangat terbatas. Lebih lanjut, desa menjadi tidak mandiri dan hanya menggantungkan usaha atau pencaharian nafkah kepada sektor pertanian semata. Akibat program-program pemerintah yang tidak berdasarkan pada potensi dan kekhasan daerah tersebut telah menyebabkan banyak potensi yang berada di desa menjadi tidak berkembang.

Secara umum, berdasarkan peraturan perundang-undangan, sebenarnya desa dapat membangun daerahnya berdasarkan prakarsa sendiri secara bottom up. Dimana desa terdiri dari kepala desa dan perangkatnya serta badan perwakilan desa (BPD) sebagai legislatif Desa. Di sisi lain, sumber pembiayaan bagi pembangunan desa yang dapat diambil berdasar perundang-undangan yaitu dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, dari penghasilan desa yang syah (BUMDes), serta kerjasama dengan pihak ketiga.

Dengan mekanisme seperti ini, maka perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di desa seharusnya bersifat bottom up. Akan tetapi selama ini, baik perencanaan maupun implementasi pembangunan desa selalu bersifat top down, dimana desa hanya menerima program-program pembangunan desa dari pemerintah. Berdasarkan mekanisme perundangan yang ada, seharusnya desa memiliki grand design pembangunan sendiri (inisiatif desa). Jika desa memiliki grand design dalam pembangunan desanya, maka desa dimungkinkan hanya akan mengajukan pembiayaan ke pemerintah pusat, provinsi, kabupaten atau kota. Sedangkan inisiatif untuk melakukan dan melaksanakan pembangunan (program-program) datang dari inisiatif desa sendiri.

Lebih lanjut, dalam pengajuan pembiayaan yang dilakukan oleh desa kepada pemerintah, terdapat klasifikasi program pembangunan desa, misalnya untuk pembangunan infrastruktur fisik, pembangunan ekonomi dan kemasyarakatan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Dengan demikian, desa dimungkinkan untuk mengajukan pembiayaan ke pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, misalnya untuk membangun sekolah, pasar desa, listrik, air, dan sebagainya. Di sisi lain, desa dimungkinkan juga untuk dapat melakukan riset potensi desa dan bekerjasama dengan pihak ketiga, misalnya terkait dengan kondisi tanah atau lahan yang tandus dan tidak bisa dikembangkan. Hingga, semua pengajuan program pembangunan desa muncul dari inisiatif desa berdasarkan pada kondisi eksisting tata ruang desa. Berdasarkan perundangan, hal tersebut dapat dilakukan oleh desa, namun sejauh ini berbagai program pembangunan desa selalu ditentukan oleh pemerintah (top down) dan desa hanya melaksanakannya saja. Maka permasalahan yang kemudian timbul adalah, apakah perangkat desanya tidak mengerti ataukah pemerintah yang tidak pernah mengerti akan esensi pembangunan desa, sehingga memaksakan programnnya sendiri.

Dengan demikian, pemerintah (baik pusat, provinsi, kabupaten/kota) seharusnya hanya mendorong dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di desa untuk mampu merencanakan pembangunan desanya. Sehingga pemerintah pusat hanya melakukan pembiayaan berbagai program pembangunan yang diajukan oleh desa. Selama ini permasalahan tersebut selalu terjadi karena desa sendiri tidak memiliki konsep dalam merancang pembangunan desa dan pemerintah juga tidak memahami akan eksistensi pembangunan desa berdasarkan keunikan dan kekhasan desa dengan memaksakan berbagai programnya.

Di sisi lain, perhatian penanggulangan kemiskinan di Provinsi Jawa Barat tetap harus mensinergikan antara struktur perekonomian dan model intervensi pengentasan kemiskinan. Secara nasional seperti yang telah diuraikan di atas, berbagai model intervensi pengentasan kemiskinan telah dilakukan oleh banyak pihak, baik melalui kegiatan fisik dengan pola bantuan langsung maupun dengan skema peningkatan kapasitas masyarakat seperti kegiatan pendampingan, konsultasi, asistensi dan sebagainya. Namun yang terjadi, hingga saat ini belum ada indikasi adanya perbaikan kondisi ke arah yang lebih baik, terutama dalam mengatasi kemiskinan yang berada di desa.

Berdasarkan uraian di atas, upaya pengentasan penduduk miskin di Jawa Barat pada saat ini menjadi jauh lebih sukar dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Karena selain jumlahnya sudah semakin besar, bahkan di atas rata-rata nasional, kondisi kemiskinan di Jawa Barat itu sendiri cukup sulit untuk dihapuskan akibat berbagai persoalan sosial budaya dan lokasi tempat tinggal yang sangat menyebar.

Secara umum kondisi tersebut dapat dikatakan telah mencapai tahap kejenuhan. Untuk mengatasi persoalan kemiskinan, upaya yang perlu dilakukan tidak lagi semata-mata mengandalkan pada kebijakan ekonomi makro, tetapi juga harus diimbangi dengan kebijakan mikro berupa terobosan-terobosan yang secara langsung memberikan pengaruh pada peningkatan produktivitas golongan miskin tersebut, utamanya dengan peningkatan pembangunan desa yang terintegrasi.

Bersambung..............

BU

No comments:

Post a Comment

DPRD KABUPATEN PELALAWAN
SIAK SRI INDRAPURA