Monday, August 04, 2008

Kisruh SUTET, antara Eksistensi Negara dan Kesadaran Masyarakat

note: catatan lama, 2006.

Kisruh tentang penolakan saluran udara tegangan ekstra tinggi (sutet), kembali mencuat kepermukaan ketika puluhan warga dibeberapa wilayah di Jawa Barat melakukan demonstrasi disertai dengan perusakan instalasi sutet. Mereka menuntut ganti rugi tanah dan bangunan yang dirasa tidak sesuai karena pemukimannya dilewati jaringan sutet. Belum selesai aksi mogok makan yang dilakukan oleh korban sutet dari Ciseeng Bogor, serangkaian usaha pembongkaran jaringan menara sutet-pun dilakukan oleh beberapa warga di Rancaekek, Cirebon, Sumedang, dll.

Sebagian besar warga mengatakan, sejak berdirinya jaringan menara sutet, warga kampung yang tinggal di bawah lintasan kabel tegangan ekstra tinggi itu mengaku mengalami gangguan kesehatan, seperti pusing-pusing, gatal-gatal, bahkan, ada yang mengalami kelumpuhan. Aparat keamanan kemudian bertindak represif dan sangat berlebihan serta menahan beberapa warga dengan delik bahwa perusakan terhadap instalasi jaringan sutet oleh warga adalah tindakan sabotase terhadap fasilitas negara dan merupakan tindak pidana.

Fenomena kebangkitan masyarakat menentang azaz ketidakadilan seperti di beberapa wilayah tersebut cukup menarik untuk dicermati. Mereka pada umumnya merasa dirugikan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan adanya jaringan sutet. Selama ini terkesan pembangunan menara sutet oleh PLN cenderung dipaksakan. Disamping itu, pembangunan jaringan menara jaringan sutet tersebut ternyata tidak memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Hal ini dikemukakan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup (Menneg LH) Rachmat Witoelar seusai berdialog dengan masyarakat di kantor Dewan Pemerhati Kebudayaan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) di Bandung (24/1/2006).

Di sisi lain, sudah tidak saatnya lagi para elit memaksakan kehendaknya dengan menggunakan aparat keamanan sebagai legalisasi tindakan untuk mengatasnamakan kepentingan negara. Kepentingan PLN dengan bisnis via jaringan sutetnya diatasnamakan kepentingan negara. Alih-alih, sebenarnya kepentingan negara identik dengan kepentingan rakyat, jadi jika rakyat terancam maka terancam pula negara tersebut. Dalam pola hubungan antara negara (state) dan masyarakat (society) hal ini haruslah tetap berimbang, dan tidak selayaknya negara terlalu dominan.

Mencermati kondisi di atas, hal tersebut tidak saja dipicu oleh masyarakat dalam cara mengemas gerakan yang cenderung kurang simpatik, karena seringnya berakhir dengan kekerasan dan paksaan, tetapi lebih disebabkan dua persoalan besar. Pertama, penisbian peran negara terhadap penyelesaian persoalan-persoalan publik. Kedua, penggunaan simbol-simbol kekerasan dalam payung gerakannya. Jika kita ikuti dengan cermat, argumen yang dipakai kelompok masyarakat tersebut adalah karena negara beserta aparaturnya sudah tidak mampu lagi menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada. Maka dari itu, masyarakat melakukan mekanisme penyelesaian di luar struktur negara.

Namun di sinilah persoalannya justru mulai muncul. Apakah ketika negara tidak bisa memainkan perannya dengan sempurna, lalu peran dan tanggung jawabnya dinafikan begitu saja? Kemudian orang bebas bertindak sekehendak hati, mengambil keputusan dan menetapkan hukum sendiri dengan merusak jarigan menara sutet? Di sinilah sebenarnya terjadi tarik-menarik terhadap hadirnya peran negara. Sampai seberapa besar dan dalam posisi apa peran negara dibutuhkan oleh masyarakat?

Ada dua aliran besar yang mewakili perdebatan tersebut. Aliran pertama diwakili banyak pihak, antara lain Plato, Aristoteles, Hobbes, Hegel, dan lainnya yang menyatakan bahwa kehadiran negara sangat dibutuhkan. Sementara aliran kedua diwakili oleh Karl Marx yang menyatakan negara tidak diperlukan karena hanya menguntungkan kelompok tertentu. Seperti dijelaskan Grotius dan Hobbes, seiring dengan melemahnya peran negara dan agama (pada zaman Renaissance dan Aufklarung), orang kembali ”lebih” mendasarkan kehidupannya pada ilmu yang rasional. Dampak dari perkembangan itu terjadi pada proses mengabsahkan negara. Dan pada 1583 - 1645 tampillah Hugo de Groat atau Gratius yang memberikan alasan rasional bagi kemutlakan kekuasaan negara.

Kemutlakan kekuasaan negara diperoleh bukan karena negara dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia, tetapi karena hal ini sebenarnya menguntungkan rakyatnya. Alasannya, sebelum ada negara, kehidupan rakyat -terutama pada suku-suku primitif-sangat kacau, setiap orang bebas melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya. Dalam keadaan demikian, menurut Thomas Hobbes (1588-1679) yang berlaku adalah ius naturalis (hukum alam), di mana setiap orang berusaha mempertahankan dirinya karena setiap individu merasa tidak aman. Untuk itu negara tidak hanya harus ada, tetapi juga harus diberi kekuasaan yang besar. Plato dan Aristoteles berpendapat, kekuasaan yang besar pada negara merupakan hal yang sepatutnya. Individu akan menjadi liar dan tidak dapat dikendalikan apabila negara tidak memiliki kekuasaan yang besar.

Sementara Hegel, mendukung pemberian kekuasaan yang besar pada negara. Argumennya mempertentangkan kepentingan pribadi dari individu yang egoistis melawan kepentingan umum yang lebih besar. Menurutnya, karena manusia adalah makhluk rasional dan memiliki kesadaran diri (a rational and self conscious create), maka ia sangat mengkultuskan kebebasan konsep paling sentral dalam diskursus demokrasi. Tetapi karena manusia mempunyai watak kebinatangan (seperti diungkapkan Niccolo Machiavelli), maka kemampuan manusia untuk mengekang dan menguasai hawa nafsunya sangat disangsikan. Untuk itu, kebebasan manusia harus dibatasi agar tidak menjadi kekuatan anarkis yang membahayakan kepentingan umum.

Lebih dari itu, Hegel menuntut adanya keselarasan antara aspirasi individual dengan sosial. Karenanya, tidak boleh ada kontradiksi antara kepentingan individu dengan etika dan tatanan sosial. Dalam logikanya, suatu komunitas yang terdiri dari manusia-manusia rakus (selfish persons) bagaimanapun rasional dan tingginya tingkat kesadaran diri mereka, akan tetap gagal mewujudkan kebebasan. Hanya manusia yang bermoral tinggi yang akan mampu mengaktualisasikan kekuasaan sebagai suatu realitas sosial.

Sementara aliran kedua yang menolak kehadiran negara diwakili oleh Karl Marx. Ia mempermasalahkan hal yang lebih mendasar dari negara, yaitu eksistensi negara itu sendiri. Sikap skeptisme Marx terhadap negara dilandasi oleh argumennya, bahwa terjadinya eksploitasi kelas borjuis dan kapitalis terhadap kelas proletar (antara lain) adalah karena eksistensi negara. Untuk itu, negara tidak perlu eksis karena ia hanya akan menjadi alat (instrument) bagi penindasan.

Bagi kelas borjuis, negara digunakan semata-mata hanya untuk mempertahankan status quo, hegemoni ekonomi dan politik mereka. Sementara bagi kelas proletar, karena mereka tidak menguasai alat dan mode produksi, yang merupakan sumber kekuasaan itu, tidak memiliki akses sedikit pun terhadap negara. Mereka merasa tidak memiliki negara dan teralienasi dari berbagai lembaga politik. Negara dengan demikian ibarat ”monster” yang menakutkan. Negara adalah Leviathan, sejenis makhluk ganas pemakan makhluk hidup lainnya.

Dari ide universal tersebut kemudian lahir kategori negara baik dan buruk. Menurut Hobbes, negara yang baik adalah negara yang pengaruhnya selalu berusaha mewujudkan kebaikan bersama, sedangkan negara yang buruk adalah penguasanya memiliki vested interest dan mementingkan kebaikan dan keuntungan bagi diri dan kelompoknya sendiri (elit-elit penguasa dalam hal ini PLN).

Sekarang, tindakan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat itu sudah terbukti memunculkan persoalan negara (state) cq PLN vs masyarakat (society). Pertanyaannya, akankah hal ini tetap dibiarkan berlalu?. Akankah negara membiarkan warganya memainkan dengan caranya sendiri sendiri?. Tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan merusak jaringan menara sutet tidak hanya membuktikan negara ini memang tidak bisa mengontrol tindakan anarkis warganya. Kehadiran negara di tengah-tengah masyarakat yang semestinya bisa menjadi fasilitator dalam pemecahan problem-problem sosial, justru menjadi problem itu sendiri.

Untuk itu, sebuah kegagalan dalam membangun negara, harus dibayar dengan penegakan hukum (law enforcement). Negara harus berani pasang dada untuk membiarkan seluruh warganya menjalankan segala aktivitasnya masing-masing tanpa adanya rasa takut. Sekali negara membiarkan sebagian kelompok mengancam keberadaan fasilitas negara, maka selama itu pula konflik bernuansa sosial kemasyarakatan akan terus berlangsung.

Apa pun alirannya, liberal atau fundamental, negara harus memberikan garansi bagi masyarakat untuk berkembang. Disisi lain, warga masyarakat yang melakukan demonstrasi serta perusakan jaringan menara sutet apakah karena bentuk kesadaran diri dari sebuah gerakan masyarakat baru (new society movement) dan murni membela kepentingannya, ataukan karena dimobilisasi oleh pihak-pihak tertentu.

Permasalahan lain adalah, apakah masyarakat diajak berkomunikasi oleh PLN ketika akan membangun saluran tegangan ekstra tinggi tersebut. Dengan kata lain, adakah studi kelayakan yang dilakukan oleh PLN terkait dengan kebijakan per-sutet-annya?. PLN merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dengan demikian azaz pelayanan terhadap masyarakat haruslah dikedepankan dengan tidak mengorbankan satu pihak demi kepentingan pihak lainnya.

Hal yang patut diwaspadai oleh masyarakat adalah hidup di dekat sambungan tegangan ekstra tinggi mungkin meningkatkan resiko leukimia pada anak-anak. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Oxford University dalam The British Medical Journal di sekitar 7 ribu kilometer jaringan tegangan tinggi listrik sepanjang Inggris sampai Wales dengan 21.800 jumlah tiang listrik menemukan bahwa anak-anak yang tinggal kurang dari 200 meter dari jalur sutet, saat dilahirkan memiliki resiko menderita leukimia sebesar 70 persen daripada yang tinggal dari jarak 600 meter atau lebih. Tetapi sangat disayangkan, tim peneliti dari Oxford University ternyata tidak dapat menjelaskan alasan biologis yang dapat ditunjukkan. Sehingga bisa jadi kesimpulan tersebut hanya suatu kebetulan. Kemungkinan lainnya, lingkungan sekitar jalur tegangan tinggi yang buruk. Sehingga mereka katakan bahwa hasil penelitian tersebut bukan untuk diperdebatkan akan aman atau tidaknya tinggal di dekat jalur tegangan ekstra tinggi listrik.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Undip Semarang, sutet memang berpengaruh terhadap warga masyarakat yang berada di bawahnya. Dalam penelitian yang dilakukan pada warga yang berada di bawah jaringan sutet di Pekalongan, Pemalang dan Tegal tahun 2004 menyatakan, medan elektromagnetik sutet 500 Kilovolt Ampere berpengaruh meningkatkan risiko electrical sensitivity (gejala hipersensitivitas berupa keluhan sakit kepala, pening dan keletihan menahun) pada penduduk di bawahnya 5,8 kali lebih besar dibandingkan warga di luar kawasan jaringan sutet.

Berdasarkan hasil penelitian World Health Organization (WHO) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), radiasi elektromagnetik terhadap berbagai sistem tubuh dapat mengganggu pembentukan sel-sel darah terutama saat terjadi leukeumia (kanker darah) maupun kanker kelenjar getah bening yang ganas.

Di Indonesia, negara sebagai pemilik otoritas ternyata tidak melindungi dan mengayomi dengan tidak memberitahu rakyatnya tentang permasalahan ini. Apakah hidup disekitar sutet akan terkena radiasi medan elektromagnetik atau tidak, akhirnya rakyat tidak tahu dan hal ini lama-kelamaan membuat masyarakat kesal disamping terdapat permasalahan lain dengan PLN seperti minimnya ganti rugi.

Persoalan sutet merupakan persoalan yang komplek dan seharusnya terjalin komunikasi dan koordinasi yang baik antara PLN, Pemerintah Daerah dan aparat keamanan. Ketiga pihak ini harus meningkatkan koordinasi agar kebijakan persutetan di tanah air dimasa yang akan datang tidak mengalami permasalahan lagi. Disamping itu, PLN seharusnya memiliki program corporate social responsibility terhadap warga yang bermukim di bawah jaringan menara sutet dengan memberikan pendampingan yang diantaranya berupa pemungkinan (enabling), penguatan (empowering), perlindungan (protecting), dan pendukungan (supporting) terhadap masyarakat dalam berbagai bidang.***

No comments:

Post a Comment

DPRD KABUPATEN PELALAWAN
SIAK SRI INDRAPURA