Pengantar
Paska amandemen UUD 1945 atau pada masa setelah reformasi 1998, performance partai politik (parpol) yang tercermin dalam produktivitas lembaga legislatif cukup tinggi. Terdapat variasi penilaian terhadap kondisi tersebut jika dibandingkan dengan kondisi kinerja lembaga legislatif atau parpol sebelum amandemen UUD 1945 ataupun pada era Orde Baru.
Dikatakan sangat berbeda karena produktivitas lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sekarang, misalnya dalam fungsi inisiatif mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang pada masa Orde Baru sangat minim atau bahkan tidak ada sama sekali, saat ini sudah menunjukkan produktivitasnya.
Produktivitas DPR yang cukup tinggi tersebut secara hukum terbantu dengan bergesernya kewenangan pembentukan undang-undang yang pada awalnya berada pada presiden. Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR, dalam amandemen bunyi pasal tersebut diubah menjadi kewenangan DPR.
Secara de jure, pergeseran kekuasaan legislasi kepada DPR terdapat di Pasal 20 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 20 ayat (3), Pasal 20 ayat (4), Pasal 20 ayat (5) perubahan UUD 1945. Sejak diamandemennya Pasal 20 UUD 1945 pada tahun 1999, DPR mencoba meyakinkan publik bahwa dirinya mampu menjadi pemegang kekuasaan legislasi. Kalau selama ini pemerintah yang lebih aktif menyetorkan RUU kepada DPR, maka keadaannya sekarang berbalik, DPR-lah yang aktif mengirimkan surat kepada presiden, meminta penunjukan menteri yang akan mewakili presiden dalam pembahasan RUU dengan DPR.
Ditinjau dari sisi prosedural dan substansial, kondisi tersebut merupakan perkembangan yang signifikan dalam proses demokratisasi di Indonesia. Karena bagaimanapun juga, penempatan peran dan fungsi legislasi yang lebih pada DPR adalah sebuah penempatan yang tepat mengingat DPR sebagai representasi rakyat dan berkompeten mengagregasi, mengartikulasi dan mengungkapkan kehendak rakyat dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Walaupun terdapat penilaian negatif yang meragukan kualitas DPR dalam menyusun atau membuat undang-undang, DPR adalah lembaga yang legitimate karena memiliki mandat yang didapatnya dari rakyat melalui pemilihan umum (pemilu).
Di samping itu, kalaupun dalam proses legislasi nasional (prolegnas) terdapat unsur dari pemerintah sebagai partner DPR, hal ini lebih pada penekanan diperlukannya fungsi pengawasan atau keseimbangan (checks and balances) antara cabang-cabang kekuasaan. Presiden selain merupakan kepala pemerintahan, pimpinan dari jajaran aparat birokrasi (yang dalam pemerintahan negara modern memiliki kemampuan teknis dan fasilitas informasi yang sangat baik dibandingkan lembaga-lembaga lain dalam negara), juga memiliki fungsi untuk mengajukan inisiatif RUU, misalnya.
Terkait dengan produk-produk legislasi, kualitas legislasi lembaga legislatif ini secara sederhana harus berkualitas minimal dalam dua hal. Pertama, kualitas legislasi lembaga legislatif harus mampu merumuskan suara yang berkembang di tingkat publik, dan kedua, kualitas legislasi lembaga legislatif harus mampu merumuskan kebutuhan publik tersebut dalam rumusan yang tidak bertentangan satu sama lain ataupun dengan peraturan yang lebih tinggi. Salah satu area of concern di bidang ini ataupun kualitas parlemen secara umum adalah masalah sistem kepartaian dan sistem pemilu. Karena, parpol melalui sarana pemilu adalah pemasok utama para legislator atau wakil rakyat.
Sistem Pemilihan
Sistem pemilihan adalah seperangkat metode yang mengatur warga negara memilih para wakilnya. Dalam suatu lembaga perwakilan rakyat, seperti DPR atau DPRD, sistem pemilihan ini bisa berupa seperangkat metode untuk mentransfer suara pemilih kedalam suatu kursi dilembaga legislatif atau parlemen. Namun, ketika pemilihan itu terjadi pada seorang calon anggota legislatif, sistem pemilihan itu bisa berwujud seperangkat metode untuk menentukan seorang pemenang berdasarkan jumlah suara yang diperolehnya. Dalam bahasa yang sederhana, sistem pemilihan ini pada dasarnya berkaitan dengan cara pemberian suara, penghitungan suara, dan pembagian kursi (Subekti, 1998).
Dalam suatu sistem pemerintahan demokrasi perwakilan, sistem pemilihan penting karena beberapa alasan. Pertama, sistem pemilihan mempunyai konsekuensi-konsekuensi pada tingkat proporsionalitas hasil pemilihan. Sistem pemilu proporsional misalnya, diyakini dapat menjamin tingkat proporsionalitas hasil pemilihan dibanding dengan sistem pemilu yang lain.
Kedua, sistem pemilihan mempunyai pengaruh pada jenis kabinet yang akan dibentuk, apakah akan menghasilkan suatu bentuk kabinet satu partai atau koalisi antar partai. Sistem pemilihan proporsional misalnya, cenderung menghasilkan kabinet koalisi antar partai dibanding sistem pemilihan lainnya.
Ketiga, sistem pemilihan mempunyai pengaruh kepada bentuk sistem kepartaian, khususnya berkaitan dengan jumlah parpol di dalam sistem kepartaian. Sistem pemilu proporsional diyakini cenderung menghasilkan sistem banyak partai dibandingkan sistem kepartaian lainnya.
Keempat, sistem pemilihan mempunyai pengaruh kepada akuntabilitas pemerintahan, khususnya akuntabilitas para wakil terhadap pemilihnya. Ada sistem pemilu yang secara internal dapat memaksa para wakil terpilih bertanggung jawab kepada para pemilihnya, sehingga tingkat akuntabilitas politiknya tinggi.
Kelima, sistem pemilu mempunyai dampak pada tingkat kohesi partai politik. Misalnya sistem pemilihan proporsional cenderung menciptakan fragmentasi partai-partai politik dibandingkan sistem pemilihan yang lain.
Keenam, sistem pemilihan berpengaruh pada bentuk dan tingkat partisipasi politik warga. Ada kecenderungan, negara-negara yang menerapkan sistem pendaftaran pemilihan secara aktif (pemilih mendaftarkan diri ke panitia pemilihan) menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi politik dalam pemilu.
Ketujuh, sistem pemilihan adalah elemen demokrasi yang lebih mudah untuk di manipulasikan dibandingkan dengan elemen demokrasi lainnya. Oleh karena itu, jika seseorang bermaksud mengubah tampilan atau wajah demokrasi disuatu negara, hal itu dapat dilakukan dengan mudah melalui perubahan sistem pemilihannya.
Kedelapan, sistem pemilihan dapat dimanipulasi melalui berbagai peraturan yang tidak demokratis dalam tingkat pelaksanaannya. Akibatnya, pemilu yang oleh banyak kalangan dinilai sebagai tolok ukur demokrasi, dalam banyak hal tidak bisa menjadi parameter yang akurat, khususnya di beberapa negara yang sedang berkembang.
Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami bagaimana sebenarnya kerangka kerja masing-masing sistem pemilihan dan perlu diperhatikan juga apa implikasi masing-masing sistem pemilihan tersebut bagi kehidupan politik di suatu negara.
Sistem Pemilu dan Kinerja Parlemen
Jika dikaji secara cermat, pada dasarnya kualitas parlemen lebih banyak ditentukan oleh mekanisme-mekanisme pendukung berupa sistem kepartaian dan sistem pemilihan. Pada sistem pemilihan proposional dengan daftar tertutup misalnya, kualitas calon seharusnya ditentukan pada daftar urutan calon anggota DPR. Urutan yang paling kecil menunjukkan berbobot atau tidaknya caleg yang diajukan, karena semakin kecil nomor urut, semakin besar kemungkinan menjadi anggota DPR dan sebaliknya, karena pemilih memilih tanda gambar bukan memilih orang.
Partailah yang harus dianggap salah kalau banyak anggota DPR yang tidak mengerti akan tugas dan kewajibannya serta hak-haknya sebagai anggota DPR, karena partai yang menentukan dicantumkannya seorang calon disana. Begitu juga sistem distrik ataupun sistem proporsional dengan daftar terbuka, tetaplah partai yang menjadi penentu. Partai menentukan seseorang menjadi kandidat atau tidak, hanya saja memang setelah nama kandidat itu muncul barulah pemilih yang menentukannya secara langsung.
Dengan kata lain, bobot suatu sistem pemilu dan kepartaian memang lebih banyak terletak pada nilai demokratis di dalamnya, dalam artian hanya terkait dengan bagaimana pemilu dapat memberikan hak kepada setiap pemilih untuk memberikan suaranya sesuai dengan keyakinan pilihannya, dan bagaimana setiap kontestan pemilihan akan memperoleh dukungan secara adil, yaitu peluang yang sama bagi setiap kandidat untuk meraih kemenangan. Apakah sistem pemilihan menentukan secara langsung kualitas parlemen atau tidak, bisa kita lihat pula dari gagasan pokok keberadaan kedua sistem pemilihan?
Dari uraian di atas, nampaklah bahwa pilihan atas penerapan sistem pemilihan lebih banyak didasarkan pada tercakupnya indikator akuntabilitas (accountability), keterwakilan (representativeness), keadilan (fairness), persamaan hak tiap pemilih (equality), lokalitas, reliable, serta numerical (Imawan, 2005). Begitu juga dengan pemilihan sistem kepartaian, yaitu bagaimana menciptakan sistem kepartaian yang adil (nondiskriminatif), menunjang persaingan sehat dari pola interaksi antar parpol dalam satu sistem politik, serta menunjang format dan mekanisme kerja sistem pemerintahan.
Dilihat dari berbagai indikator yang ada, sistem pemilu yang diterapkan Indonesia saat ini lebih banyak memang sudah memenuhi sisi nilai demokratis suatu sistem pemilihan disamping suitable dengan kondisi Indonesia.
Salah satu indikator dari keberadaan sistem pemilihan lembaga perwakilan saat ini, di mana pengisian keanggotaannya secara keseluruhan dipilih langsung oleh rakyat, sudah cukup mencerminkan representasi kedaulatan rakyat dan rasionalisasi dari prinsip demokrasi.
Modifikasi yang diadakan dalam sistem pemilihan terkini sudah banyak menghilangkan kemungkinan kecenderungan sikap otoriter pelaksanaan sistem pemilu oleh penguasa. Di sisi yang lain, selain dari prosesnya yang demokratis, nilai representasi dan legitimasi sistem pemilihan yang ada harus pula dicerminkan dalam kewenangan yang sepadan. Di sisi yang satu inilah pembenahan perlu dilakukan oleh stakeholders terkait.
Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) misalnya, sebagai kamar baru dari lembaga perwakilan saat ini, belum mencerminkan kesepadanan kewenangan sebagaimana ia dipilih melalui proses yang sama dengan anggota lembaga perwakilan yang lain. Disorientasi yang terjadi sebenarnya pada kewenangan lembaga ini oleh pembentuknya. Dikatakan disorientasi, karena memang kalau kita telusuri dengan teliti, pemikiran tentang keberadaan DPD, sebagai representasi nilai lokalitas/geografis dalam lembaga perwakilan yang dipilih langsung adalah evaluasi atas keberadaan utusan golongan/daerah pada zaman Orde Baru yang pengisiannya melalui penunjukkan.
Di lihat dari keberadaannya, DPD bukan didasarkan pada logika normatif tentang peletakkan otonomi di tingkat daerah, melainkan semata-mata hanya memenuhi kebutuhan demokratisasi prosedural yang menganggap bahwa persoalan pemilihan anggota DPD melalui pemilu sudah sangat mencukupi untuk mengakomodasi kebutuhan konsolidasi demokrasi pasca reformasi, serta keberadaan DPD merupakan sebuah modus kompromi dari utusan daerah di MPR yang kontroversial (Hestu, 2005).
Sehingga kewenangan DPD saat ini tidak seimbang, hanya terkait pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan peretimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu. Hal ini bertentangan dengan kenyataan bahwa anggota DPD adalah mereka yang dipilih langsung oleh rakyat di daerah, yang dapat berarti memiliki legitimasi keterwakilan yang sama kuat.
Catatan Akhir
Jika dilihat dari indikator kualitas kinerja lembaga perwakilan secara umum, sebagian produknya dalam beberapa aspek lebih banyak disandarkan pada prosedur-prosedur pendukung dari pilihan sistem pemilihan yang digunakan. Secara sederhana kualitas dari produk-produk tersebut sebanding dengan, pertama, kemampuan lembaga perwakilan dalam mengemban fungsi wakil rakyat yang terdiri dari pemahaman terhadap permasalahan, perancangan, dan pemutusan solusi masalah, serta manuver politik untuk memperjuangkan solusi masalah yang dipandang memenuhi kepentingan rakyat banyak.
Kedua, lingkungan strategis anggota yang terdiri dari tatanan nilai dan kepentingan rakyat banyak, negara yang diwakili oleh penguasa dan pemerintah, organisasi peserta pemilu atau golongan asal anggota, dan pribadi anggota itu sendiri.
Ketepatan peran anggota parlemen ditentukan oleh keberhasilannya bersikap dan bertindak berdasarkan kombinasi ketiga kemampuan itu dengan imbangan keberpihakannya kepada rakyat banyak dan negara. Langkah strategis yang dapat dilakukan untuk mengatasi lemahnya kualitas kinerja lembaga perwakilan diantaranya adalah, secara internal perlu adanya penguatan kapasitas kelembagaan dan individu anggota lembaga perwakilan.
Hasil identifikasi terhadap lembaga perwakilan selama ini memberikan gambaran kelemahan-kelemahan mendasar yang dimiliki oleh parpol baik secara kelembagaan maupun individual. Asumsinya, kelemahan kelembagaan parpol dan individu politisi akan berpengaruh terhadap lambannya kinerja DPR sebagai lembaga perwakilan. Lebih lanjut, jika lembaga DPR yang anggotanya berasal dari parpol dengan kelembagaan yang relatif kuat dan individu politisi relatif berpengalaman saja masih memiliki kelemahan-kelemahan dalam menjalankan fungsinya, apalagi dengan DPD yang individual.
Menurut penulis, upaya penguatan parpol secara kelembagaan maupun individu ini perlu dilakukan dengan melakukan pembenahan terhadap tiga sisi parpol seperti yang diungkapkan oleh Nazir (2007), yakni dalam: (a). ”Partai dalam Partai” yang kemudian melahirkan pembenahan organisasi dan manajemen kepartaian; (b). ”Partai dalam Pemilu” yang melahirkan pembenahan dalam manajemen pemilu dan perilaku pemilih; kemudian (c). ”Partai dalam Parlemen” yang memunculkan gagasan perlunya pembenahan dalam manajemen fungsi partai dan lembaga perwakilan.
Mekanisme tersebut dapat dilakukan melalui program pendidikan dan pelatihan tugas dan fungsi legislatif secara sistematis dan terkendali (yang teknisnya perlu dilakukan kerjasama dengan Perguruan Tinggi atau Lembaga Swadaya Masyarakat yang relevan). Parpol sebagai pengusul seorang anggota legislatif sudah sepatutnya mempunyai kriteria yang jelas, terukur serta transparan dalam penentuan calon anggota legislatif.***
Referensi
Hestu, B. CH. 2005. “Mencari Makna Representasi DPD dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah”, Seminar Nasional Peningkatan Eksistensi DPD-RI dalam rangka Otonomi Daerah. Yogyakarta, 16 Juni 2005.
Imawan, Riswandha. 2005. “Sistem Pemilihan Umum dan Partai Politik”, Hand Out Mata Kuliah, Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM.
Nazsir, Nasrullah. 2007. Pemilu: Metode Pembentukan Pemerintahan Perwakilan. Handout Mata Kuliah: Kepartaian, Perwakilan dan Pemilu di Indonesia. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Subekti, Valina Singka. 1998. “Electoral Law Reform as A Prerequisite to CreateDemocratization in Indonesia”. Makalah yang disampaikan pada International Conference tentang Towards Structural Reforms for Democratization in Indonesia: Problems and Prospects. Jakarta.
Paska amandemen UUD 1945 atau pada masa setelah reformasi 1998, performance partai politik (parpol) yang tercermin dalam produktivitas lembaga legislatif cukup tinggi. Terdapat variasi penilaian terhadap kondisi tersebut jika dibandingkan dengan kondisi kinerja lembaga legislatif atau parpol sebelum amandemen UUD 1945 ataupun pada era Orde Baru.
Dikatakan sangat berbeda karena produktivitas lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sekarang, misalnya dalam fungsi inisiatif mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang pada masa Orde Baru sangat minim atau bahkan tidak ada sama sekali, saat ini sudah menunjukkan produktivitasnya.
Produktivitas DPR yang cukup tinggi tersebut secara hukum terbantu dengan bergesernya kewenangan pembentukan undang-undang yang pada awalnya berada pada presiden. Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR, dalam amandemen bunyi pasal tersebut diubah menjadi kewenangan DPR.
Secara de jure, pergeseran kekuasaan legislasi kepada DPR terdapat di Pasal 20 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 20 ayat (3), Pasal 20 ayat (4), Pasal 20 ayat (5) perubahan UUD 1945. Sejak diamandemennya Pasal 20 UUD 1945 pada tahun 1999, DPR mencoba meyakinkan publik bahwa dirinya mampu menjadi pemegang kekuasaan legislasi. Kalau selama ini pemerintah yang lebih aktif menyetorkan RUU kepada DPR, maka keadaannya sekarang berbalik, DPR-lah yang aktif mengirimkan surat kepada presiden, meminta penunjukan menteri yang akan mewakili presiden dalam pembahasan RUU dengan DPR.
Ditinjau dari sisi prosedural dan substansial, kondisi tersebut merupakan perkembangan yang signifikan dalam proses demokratisasi di Indonesia. Karena bagaimanapun juga, penempatan peran dan fungsi legislasi yang lebih pada DPR adalah sebuah penempatan yang tepat mengingat DPR sebagai representasi rakyat dan berkompeten mengagregasi, mengartikulasi dan mengungkapkan kehendak rakyat dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Walaupun terdapat penilaian negatif yang meragukan kualitas DPR dalam menyusun atau membuat undang-undang, DPR adalah lembaga yang legitimate karena memiliki mandat yang didapatnya dari rakyat melalui pemilihan umum (pemilu).
Di samping itu, kalaupun dalam proses legislasi nasional (prolegnas) terdapat unsur dari pemerintah sebagai partner DPR, hal ini lebih pada penekanan diperlukannya fungsi pengawasan atau keseimbangan (checks and balances) antara cabang-cabang kekuasaan. Presiden selain merupakan kepala pemerintahan, pimpinan dari jajaran aparat birokrasi (yang dalam pemerintahan negara modern memiliki kemampuan teknis dan fasilitas informasi yang sangat baik dibandingkan lembaga-lembaga lain dalam negara), juga memiliki fungsi untuk mengajukan inisiatif RUU, misalnya.
Terkait dengan produk-produk legislasi, kualitas legislasi lembaga legislatif ini secara sederhana harus berkualitas minimal dalam dua hal. Pertama, kualitas legislasi lembaga legislatif harus mampu merumuskan suara yang berkembang di tingkat publik, dan kedua, kualitas legislasi lembaga legislatif harus mampu merumuskan kebutuhan publik tersebut dalam rumusan yang tidak bertentangan satu sama lain ataupun dengan peraturan yang lebih tinggi. Salah satu area of concern di bidang ini ataupun kualitas parlemen secara umum adalah masalah sistem kepartaian dan sistem pemilu. Karena, parpol melalui sarana pemilu adalah pemasok utama para legislator atau wakil rakyat.
Sistem Pemilihan
Sistem pemilihan adalah seperangkat metode yang mengatur warga negara memilih para wakilnya. Dalam suatu lembaga perwakilan rakyat, seperti DPR atau DPRD, sistem pemilihan ini bisa berupa seperangkat metode untuk mentransfer suara pemilih kedalam suatu kursi dilembaga legislatif atau parlemen. Namun, ketika pemilihan itu terjadi pada seorang calon anggota legislatif, sistem pemilihan itu bisa berwujud seperangkat metode untuk menentukan seorang pemenang berdasarkan jumlah suara yang diperolehnya. Dalam bahasa yang sederhana, sistem pemilihan ini pada dasarnya berkaitan dengan cara pemberian suara, penghitungan suara, dan pembagian kursi (Subekti, 1998).
Dalam suatu sistem pemerintahan demokrasi perwakilan, sistem pemilihan penting karena beberapa alasan. Pertama, sistem pemilihan mempunyai konsekuensi-konsekuensi pada tingkat proporsionalitas hasil pemilihan. Sistem pemilu proporsional misalnya, diyakini dapat menjamin tingkat proporsionalitas hasil pemilihan dibanding dengan sistem pemilu yang lain.
Kedua, sistem pemilihan mempunyai pengaruh pada jenis kabinet yang akan dibentuk, apakah akan menghasilkan suatu bentuk kabinet satu partai atau koalisi antar partai. Sistem pemilihan proporsional misalnya, cenderung menghasilkan kabinet koalisi antar partai dibanding sistem pemilihan lainnya.
Ketiga, sistem pemilihan mempunyai pengaruh kepada bentuk sistem kepartaian, khususnya berkaitan dengan jumlah parpol di dalam sistem kepartaian. Sistem pemilu proporsional diyakini cenderung menghasilkan sistem banyak partai dibandingkan sistem kepartaian lainnya.
Keempat, sistem pemilihan mempunyai pengaruh kepada akuntabilitas pemerintahan, khususnya akuntabilitas para wakil terhadap pemilihnya. Ada sistem pemilu yang secara internal dapat memaksa para wakil terpilih bertanggung jawab kepada para pemilihnya, sehingga tingkat akuntabilitas politiknya tinggi.
Kelima, sistem pemilu mempunyai dampak pada tingkat kohesi partai politik. Misalnya sistem pemilihan proporsional cenderung menciptakan fragmentasi partai-partai politik dibandingkan sistem pemilihan yang lain.
Keenam, sistem pemilihan berpengaruh pada bentuk dan tingkat partisipasi politik warga. Ada kecenderungan, negara-negara yang menerapkan sistem pendaftaran pemilihan secara aktif (pemilih mendaftarkan diri ke panitia pemilihan) menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi politik dalam pemilu.
Ketujuh, sistem pemilihan adalah elemen demokrasi yang lebih mudah untuk di manipulasikan dibandingkan dengan elemen demokrasi lainnya. Oleh karena itu, jika seseorang bermaksud mengubah tampilan atau wajah demokrasi disuatu negara, hal itu dapat dilakukan dengan mudah melalui perubahan sistem pemilihannya.
Kedelapan, sistem pemilihan dapat dimanipulasi melalui berbagai peraturan yang tidak demokratis dalam tingkat pelaksanaannya. Akibatnya, pemilu yang oleh banyak kalangan dinilai sebagai tolok ukur demokrasi, dalam banyak hal tidak bisa menjadi parameter yang akurat, khususnya di beberapa negara yang sedang berkembang.
Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami bagaimana sebenarnya kerangka kerja masing-masing sistem pemilihan dan perlu diperhatikan juga apa implikasi masing-masing sistem pemilihan tersebut bagi kehidupan politik di suatu negara.
Sistem Pemilu dan Kinerja Parlemen
Jika dikaji secara cermat, pada dasarnya kualitas parlemen lebih banyak ditentukan oleh mekanisme-mekanisme pendukung berupa sistem kepartaian dan sistem pemilihan. Pada sistem pemilihan proposional dengan daftar tertutup misalnya, kualitas calon seharusnya ditentukan pada daftar urutan calon anggota DPR. Urutan yang paling kecil menunjukkan berbobot atau tidaknya caleg yang diajukan, karena semakin kecil nomor urut, semakin besar kemungkinan menjadi anggota DPR dan sebaliknya, karena pemilih memilih tanda gambar bukan memilih orang.
Partailah yang harus dianggap salah kalau banyak anggota DPR yang tidak mengerti akan tugas dan kewajibannya serta hak-haknya sebagai anggota DPR, karena partai yang menentukan dicantumkannya seorang calon disana. Begitu juga sistem distrik ataupun sistem proporsional dengan daftar terbuka, tetaplah partai yang menjadi penentu. Partai menentukan seseorang menjadi kandidat atau tidak, hanya saja memang setelah nama kandidat itu muncul barulah pemilih yang menentukannya secara langsung.
Dengan kata lain, bobot suatu sistem pemilu dan kepartaian memang lebih banyak terletak pada nilai demokratis di dalamnya, dalam artian hanya terkait dengan bagaimana pemilu dapat memberikan hak kepada setiap pemilih untuk memberikan suaranya sesuai dengan keyakinan pilihannya, dan bagaimana setiap kontestan pemilihan akan memperoleh dukungan secara adil, yaitu peluang yang sama bagi setiap kandidat untuk meraih kemenangan. Apakah sistem pemilihan menentukan secara langsung kualitas parlemen atau tidak, bisa kita lihat pula dari gagasan pokok keberadaan kedua sistem pemilihan?
Dari uraian di atas, nampaklah bahwa pilihan atas penerapan sistem pemilihan lebih banyak didasarkan pada tercakupnya indikator akuntabilitas (accountability), keterwakilan (representativeness), keadilan (fairness), persamaan hak tiap pemilih (equality), lokalitas, reliable, serta numerical (Imawan, 2005). Begitu juga dengan pemilihan sistem kepartaian, yaitu bagaimana menciptakan sistem kepartaian yang adil (nondiskriminatif), menunjang persaingan sehat dari pola interaksi antar parpol dalam satu sistem politik, serta menunjang format dan mekanisme kerja sistem pemerintahan.
Dilihat dari berbagai indikator yang ada, sistem pemilu yang diterapkan Indonesia saat ini lebih banyak memang sudah memenuhi sisi nilai demokratis suatu sistem pemilihan disamping suitable dengan kondisi Indonesia.
Salah satu indikator dari keberadaan sistem pemilihan lembaga perwakilan saat ini, di mana pengisian keanggotaannya secara keseluruhan dipilih langsung oleh rakyat, sudah cukup mencerminkan representasi kedaulatan rakyat dan rasionalisasi dari prinsip demokrasi.
Modifikasi yang diadakan dalam sistem pemilihan terkini sudah banyak menghilangkan kemungkinan kecenderungan sikap otoriter pelaksanaan sistem pemilu oleh penguasa. Di sisi yang lain, selain dari prosesnya yang demokratis, nilai representasi dan legitimasi sistem pemilihan yang ada harus pula dicerminkan dalam kewenangan yang sepadan. Di sisi yang satu inilah pembenahan perlu dilakukan oleh stakeholders terkait.
Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) misalnya, sebagai kamar baru dari lembaga perwakilan saat ini, belum mencerminkan kesepadanan kewenangan sebagaimana ia dipilih melalui proses yang sama dengan anggota lembaga perwakilan yang lain. Disorientasi yang terjadi sebenarnya pada kewenangan lembaga ini oleh pembentuknya. Dikatakan disorientasi, karena memang kalau kita telusuri dengan teliti, pemikiran tentang keberadaan DPD, sebagai representasi nilai lokalitas/geografis dalam lembaga perwakilan yang dipilih langsung adalah evaluasi atas keberadaan utusan golongan/daerah pada zaman Orde Baru yang pengisiannya melalui penunjukkan.
Di lihat dari keberadaannya, DPD bukan didasarkan pada logika normatif tentang peletakkan otonomi di tingkat daerah, melainkan semata-mata hanya memenuhi kebutuhan demokratisasi prosedural yang menganggap bahwa persoalan pemilihan anggota DPD melalui pemilu sudah sangat mencukupi untuk mengakomodasi kebutuhan konsolidasi demokrasi pasca reformasi, serta keberadaan DPD merupakan sebuah modus kompromi dari utusan daerah di MPR yang kontroversial (Hestu, 2005).
Sehingga kewenangan DPD saat ini tidak seimbang, hanya terkait pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan peretimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu. Hal ini bertentangan dengan kenyataan bahwa anggota DPD adalah mereka yang dipilih langsung oleh rakyat di daerah, yang dapat berarti memiliki legitimasi keterwakilan yang sama kuat.
Catatan Akhir
Jika dilihat dari indikator kualitas kinerja lembaga perwakilan secara umum, sebagian produknya dalam beberapa aspek lebih banyak disandarkan pada prosedur-prosedur pendukung dari pilihan sistem pemilihan yang digunakan. Secara sederhana kualitas dari produk-produk tersebut sebanding dengan, pertama, kemampuan lembaga perwakilan dalam mengemban fungsi wakil rakyat yang terdiri dari pemahaman terhadap permasalahan, perancangan, dan pemutusan solusi masalah, serta manuver politik untuk memperjuangkan solusi masalah yang dipandang memenuhi kepentingan rakyat banyak.
Kedua, lingkungan strategis anggota yang terdiri dari tatanan nilai dan kepentingan rakyat banyak, negara yang diwakili oleh penguasa dan pemerintah, organisasi peserta pemilu atau golongan asal anggota, dan pribadi anggota itu sendiri.
Ketepatan peran anggota parlemen ditentukan oleh keberhasilannya bersikap dan bertindak berdasarkan kombinasi ketiga kemampuan itu dengan imbangan keberpihakannya kepada rakyat banyak dan negara. Langkah strategis yang dapat dilakukan untuk mengatasi lemahnya kualitas kinerja lembaga perwakilan diantaranya adalah, secara internal perlu adanya penguatan kapasitas kelembagaan dan individu anggota lembaga perwakilan.
Hasil identifikasi terhadap lembaga perwakilan selama ini memberikan gambaran kelemahan-kelemahan mendasar yang dimiliki oleh parpol baik secara kelembagaan maupun individual. Asumsinya, kelemahan kelembagaan parpol dan individu politisi akan berpengaruh terhadap lambannya kinerja DPR sebagai lembaga perwakilan. Lebih lanjut, jika lembaga DPR yang anggotanya berasal dari parpol dengan kelembagaan yang relatif kuat dan individu politisi relatif berpengalaman saja masih memiliki kelemahan-kelemahan dalam menjalankan fungsinya, apalagi dengan DPD yang individual.
Menurut penulis, upaya penguatan parpol secara kelembagaan maupun individu ini perlu dilakukan dengan melakukan pembenahan terhadap tiga sisi parpol seperti yang diungkapkan oleh Nazir (2007), yakni dalam: (a). ”Partai dalam Partai” yang kemudian melahirkan pembenahan organisasi dan manajemen kepartaian; (b). ”Partai dalam Pemilu” yang melahirkan pembenahan dalam manajemen pemilu dan perilaku pemilih; kemudian (c). ”Partai dalam Parlemen” yang memunculkan gagasan perlunya pembenahan dalam manajemen fungsi partai dan lembaga perwakilan.
Mekanisme tersebut dapat dilakukan melalui program pendidikan dan pelatihan tugas dan fungsi legislatif secara sistematis dan terkendali (yang teknisnya perlu dilakukan kerjasama dengan Perguruan Tinggi atau Lembaga Swadaya Masyarakat yang relevan). Parpol sebagai pengusul seorang anggota legislatif sudah sepatutnya mempunyai kriteria yang jelas, terukur serta transparan dalam penentuan calon anggota legislatif.***
Referensi
Hestu, B. CH. 2005. “Mencari Makna Representasi DPD dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah”, Seminar Nasional Peningkatan Eksistensi DPD-RI dalam rangka Otonomi Daerah. Yogyakarta, 16 Juni 2005.
Imawan, Riswandha. 2005. “Sistem Pemilihan Umum dan Partai Politik”, Hand Out Mata Kuliah, Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM.
Nazsir, Nasrullah. 2007. Pemilu: Metode Pembentukan Pemerintahan Perwakilan. Handout Mata Kuliah: Kepartaian, Perwakilan dan Pemilu di Indonesia. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Subekti, Valina Singka. 1998. “Electoral Law Reform as A Prerequisite to CreateDemocratization in Indonesia”. Makalah yang disampaikan pada International Conference tentang Towards Structural Reforms for Democratization in Indonesia: Problems and Prospects. Jakarta.
No comments:
Post a Comment