Wednesday, December 12, 2007

Menempatkan Manusia sebagai Fokus Pembangunan

Pengantar
Secara umum dalam literatur-literatur tentang pembangunan, manusia atau rakyat (selanjutnya disebut manusia) yang mendiami sebuah wilayah/daerah/negara merupakan modal atau aset pembangunan apabila diberdayakan secara optimal dan pembangunan tersebut memiliki fokus pada manusia. Kendati demikian, manusia dapat menjadi beban pembangunan jika pembangunan itu sendiri tidak memiliki fokus pada manusia dan pemberdayaannya tidak disertai dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang memadai pada wilayah/daerah/negara yang bersangkutan. Pembangunan yang tidak berorientasi pada manusia tersebut secara nyata dapat dan telah menciptakan kemiskinan serta kesengsaraan bagi manusia. Hal tersebut merupakan fenomena jamak dalam negara-negara yang sedang berkembang, layaknya di Indonesia saat ini.

Padahal, pembangunan pada hakekatnya adalah upaya untuk memperbaiki atau meningkatkan kesejahteraan sosial manusia. Hal ini ditegaskan secara internasional melalui Deklarasi Hak Atas Pembangunan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).[1] Latar belakang sejarah dari deklarasi tersebut adalah adanya penderitaan sebagian penduduk dunia akibat kemiskinan, marjinalisasi dan pengrusakan lingkungan. Kondisi tersebut disebabkan karena struktur kapitalisme dunia menyimpan potensi bagi marjinalisasi kelompok masyarakat lemah (masyarakat miskin) yang tidak memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi dan politik, baik melalui kekerasan negara maupun melalui konsekuensi logis dari struktur kapitalisme itu sendiri.

Dalam deklarasi tersebut, terdapat sejumlah prinsip dasar (pasal) yang mengharuskan proses pembangunan suatu negara memperhatikan pemenuhan hak asasi manusia (HAM). Negara bukan hanya membuat kebijakan yang memberikan keistimewaan bagi sebagian masyarakat yang memiliki akses besar terhadap sumber daya ekonomi dan politik. Dalam Pasal 2 deklarasi tersebut ditekankan bahwa manusia adalah stakeholder utama dalam pembangunan sekaligus merupakan peserta aktif dan penerima manfaat dari pembangunan. Pasal tersebut juga mengharuskan keterlibatan aktif negara dalam mengambil sejumlah kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia secara berkelanjutan, yaitu melalui prinsip keterlibatannya secara aktif, bebas dan berkeadilan.

Merujuk pada Rochman, et.al.[2] tentang parameter HAM dalam pembangunan, terlihat adanya keharusan peran aktif negara dalam menjamin dan memenuhi hak tersebut. Keterlibatan negara ini dibenarkan mengingat tujuan dari kebijakan negara itu sendiri adalah untuk merubah sebuah kondisi menjadi lebih baik. Melalui kebijakannya, negara dapat melakukan realokasi sumber daya di masyarakat dan melakukan pembiayaan untuk mencapai tujuan-tujuannya. Parameter HAM dalam hal ini diperlukan untuk menjamin terpenuhinya hak minimum di tengah kompleksitas kepentingan dalam proses kebijakan.

Di samping itu, ditengah struktur kapitalisme global yang timpang, ada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa negara tidak bisa menyerahkan kebijakan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat kepada mekanisme pasar atau kalangan swasta. Asumsinya bahwa peran swasta dalam penyediaan pelayanan publik dasar tidak akan pernah lepas dari kepentingan untuk mendapatkan keuntungan (profit oriented). Konsekuensi logis dari hal ini adalah kenaikan biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik dasar tersebut. Dengan demikian, fungsi negara tidak dapat direduksi hanya menjadi penjaga keamanan, penegakan hukum pelaksanaan pekerjaan dan pranata-pranata umum saja.

Terkait dengan hal tersebut di atas, jika kita mengikuti skema fungsi dan kapasitas negara dari Fukuyama,[3] dapat dijelaskan bahwa kesuksesan sebuah negara tidak hanya diukur dari keberadaannya pada kuadran pertama, seperti yang diperlihatkan oleh Amerika serikat. Di mana negara hanya mengurus segelintir fungsi saja namun dengan kapasitas yang sangat kuat. Namun, keberhasilan negara juga dapat berarti berada di kuadran kedua. Di mana negara menjalankan fungsi yang lebih banyak sekaligus dengan kapasitas yang kuat. Dua fungsi yang harus ditambahkan dalam hal ini adalah pelayanan publik dasar, seperti pendidikan dan kesehatan, serta upaya-upaya langsung dalam mengentaskan orang dari kemiskinan. Kalangan swasta tetap dapat berperan dalam kebijakan atau penyediaan pelayanan publik dasar tersebut, demikian pula halnya dengan keberadaan civil society. Memperkuat posisi negara dalam kebijakan publik, terutama dalam proses kebijakan pembangunannya dapat menjadi alternatif bagi market failure yang implikasi luasnya adalah terjadinya proses pembangunan yang tidak berfokus pada manusia.

Konsep Pembangunan dengan Fokus Manusia
Konsep pembangunan dengan fokus manusia harus dipahami sebagai suatu proses pembangunan yang memperhatikan kepentingan manusia sebagai manifestasi dari rakyat, terutama rakyat miskin. Pada dasarnya, pemahaman terhadap pembangunan menghasilkan ide kemajuan, dan hal tersebut berkonotasi ke depan atau ke tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, pembangunan harus dipahami sebagai suatu proses yang berdimensi jamak yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap masyarakat dan kelembagaan nasional, seperti halnya percepatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan, dan pemberantasan kemiskinan absolut.[4]

Lebih lanjut, pembangunan juga didefinisikan sebagai pertumbuhan plus perubahan yang merupakan kombinasi berbagai proses ekonomi, sosial dan politik, untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Selain pengertian tersebut, Surna memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai kegiatan-kegiatan yang direncanakan dalam mengolah sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang digunakan untuk kelangsungan hidup manusia.[5]

Pada hakekatnya, terdapat tiga domain dalam sebuah proses pembangunan, yaitu domain ekonomi, domain sosial, dan domain ekologi. Himpunan bagian yang saling beririsan di antara ketiga domain tersebut menghasilkan paradigma pembangunan yang kemudian dikenal sebagai paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yaitu:
  1. Pembangunan sosial (social development);
  2. Pembangunan berwawasan lingkungan (environmental development);
  3. Pembangunan yang berpusatkan pada rakyat (people centered development).
Terkait hal di atas, bila kita mencermati dengan seksama, maka kelemahan utama pembangunan (berkelanjutan) di Indonesia ialah tidak adanya tolok ukur pada ketiga domain tersebut terutama guna mengukur irisan domain sosial dan ekologi, yaitu people centered development. Pengalaman menunjukkan bahwa hanya konsep yang terukurlah yang diimplementasikan dalam pembangunan dan yang tidak terukur kerap kali diabaikan. Karena itu, pembangunan berkelanjutan dengan fokus pada manusia sejak era Orde Baru hingga sekarang terkesan hanya retorik belaka. Retorika tersebut muncul dalam jargon ”Pembangunan Manusia Seutuhnya” yang kerap kali didengungkan oleh rezim Orde Baru.
Dengan demikian, agar konsep pembangunan berkelanjutan dengan fokus manusia dapat terlaksana haruslah di desain tolok ukurnya. Karena dengan adanya tolok ukur tersebut perkembangan pembangunan berkelanjutan dengan fokus manusia dapat dipantau dan dievaluasi secara periodik setiap tahunnya.

Tolok ukur tersebut harus mencerminkan berbagai isu penting dan aspirasi pemerintah serta aspirasi masyarakat Indonesia, sehingga pembangunan berkelanjutan dapat merespon berbagai isu-isu penting. Isu penting yang sekarang sangat menonjol ialah ancaman terhadap disintegrasi bangsa, tuntutan untuk pembangunan yang berorientasi pada rakyat miskin, kesetaraan gender, kurangnya lapangan pekerjaan dan korupsi. Karena itu, tolok ukur yang harus digunakan dalam implementasi pembangunan berkelanjutan menurut Abdoellah[7] di In­donesia adalah:

a) Pembangunan berkelanjutan yang pro-Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b) Pembangunan berkelanjutan yang pro-lingkungan hidup;
c) Pembangunan berkelanjutan yang pro-rakyat miskin;
d) Pembangunan berkelanjutan yang pro-kesetaraan gender;
e) Pembangunan berkelanjutan yang pro-lapangan pekerjaan;
f) Pembangunan berkelanjutan yang anti-korupsi, kolusi dan nepotisme.

Relevansi keenam pilar tersebut dengan pembangunan berkelanjutan yang berfokus pada manusia sangatlah jelas. Bagi masyarakat pembangunan berkelanjutan juga berarti utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika pembangunan menyebabkan pecahnya Republik Indonesia, meskipun terjadi kemajuan ekonomi yang sangat berarti, pembangunan itu tidaklah bekelanjutan. Di sisi lain, pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa pembangunan yang tidak pro-lingkungan hidup dapat mengancam keberlanjutan pembangunan. Banjir, tanah longsor, kekeringan dan penyakit telah memakan banyak korban dan kerugian ekonomi rakyat yang sangat besar.

Pro-rakyat miskin juga sangat relevan dengan pembangunan berkelanjutan, karena kemiskinan dan kesenjangan yang makin besar antara yang kaya dan miskin tidaklah etis dan memicu kecemburuan sosial, sehingga stabilitas sosial pun terganggu. Ledakan sosial antar-etnik dan antar-agama mudah terpicu. Kemiskinan menyebabkan banyak anak putus sekolah karena harus bekerja, sehingga kualitas sumber daya manusia rendah dan tidak mempunyai daya saing global. Kemiskinan juga menyebabkan kerusakan lingkungan hidup. Misalnya, kerusakan bantaran sungai di kota karena digunakan untuk pemukiman merupakan salah satu faktor terjadinya banjir. Kemiskinan sering pula dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk merambah hutan, sehingga terjadi kerusakan hutan yang parah. Pembuangan limbah rumah tangga ke sungai juga merupakan sumber pencemaran air sungai.

Pro-gender merupakan salah satu determinan pembangunan berkelanjutan, karena perempuan memegang peranan yang sangat penting dalam masyarakat, baik di negara yang sedang berkembang, maupun di negara maju. Fungsi sosial-ekonomi perempuan sangat penting. Dalam masa damai seperti sekarang ini, peranan perempuan sangat penting. Seorang perempuan umumnya lebih dekat dengan balita daripada seorang laki-laki, sehingga pendidikan dini anak sangat ditentukan oleh perempuan dan dengan demikian perempuan juga menentukan kualitas generasi yang akan datang.

Pro-lapangan pekerjaan merupakan faktor penentu dalam penanggulangan kemiskinan. Saat ini, angka pengangguran di Indonesia sangat tinggi yang disebabkan oleh langkanya lapangan pekerjaan sehingga banyak penduduk dari desa bermigrasi ke kota dan memperparah masalah pedagang kaki lima. Sedangkan, implementasi pembangunan berkelanjutan yang pro-lapangan pekerjaan memerlukan pertumbuhan ekonomi, dengan syarat pertumbuhan ekonomi dicapai dengan tidak mengabaikan syarat ramah lingkungan hidup. Di samping itu, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) telah menyebabkan kehilangan harta negara yang tidak sedikit. KKN juga menghambat kelancaran birokrasi pemerintah dan menambah terjadinya ekonomi biaya tinggi.

Menurut Abdoellah,[8] ke enam tolok ukur tersebut juga menggambarkan isu penting global, yaitu merupakan penjabaran dari butir ke tiga deklarasi Konferensi Puncak Sedunia Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Septem­ber 2002 yang menyatakan integrasi lingkungan hidup, sosial dan ekonomi sebagai pilar pembangunan berkelanjutan (United Nations, 2002). Pilar pro-rakyat miskin dan pro-penciptaan lapangan pekerjaan merupakan usaha untuk mengimplementasikan butir ke tujuh deklarasi konferensi puncak tersebut, yaitu mengurangi kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin, dan pilar pro-perempuan sesuai dengan butir ke lima puluh dua deklarasi tersebut.

Dengan adanya tolok ukur yang dapat dihitung secara kuantitatif, maka perkembangan pembangunan dapat dipantau secara periodik apakah berfokus pada pembangunan manusia atau tidak. Hasil pantauan tolok ukur perkembangan pembangunan yang berfokus pada manusia merupakan tolok ukur eksekutif baik di pusat atau di daerah. Dengan demikian enam pilar pembangunan berkelanjutan mempunyai peran ganda, yaitu sebagai panduan arah pembangunan berkelanjutan dan untuk memacu terlaksananya pembangunan berkelanjutan dengan fokus pada pembangunan manusia. Dengan menyimak besarnya masing-masing unsur yang digunakan untuk menghitung indeks bersangkutan, dapatlah diketahui unsur mana yang masih rendah, sehingga dapat dilakukan usaha untuk mengoreksi unsur tersebut. Dengan demikian pada masing-masing tahap pembangunan, usaha dapat dikerahkan untuk memperkuat unsur yang lemah.

Terkait dengan permasalahan di atas, selama ini pembangunan yang dilakukan oleh suatu negara, khususnya Indonesia selalu diidentikkan dengan perkembangan pembangunan secara fisik (pembangunan infrastruktur). Akibatnya manusia sebagai pelaku dan sasaran pembangunan kurang mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah Indonesia. Padahal, hakekatnya pembangunan yang dilakukan seharusnya berorientasi pada pembangunan manusia.

Bila kita cermati kebelakang, gagasan tentang bagaimana mengukur kualitas kehidupan manusia pertama kali digagas oleh seorang ekonom Pakistan yaitu, Dr. Mahbub ul-Haq. Dengan didukung oleh para ahli ekonomi dan pemenang Nobel bidang ekonomi 1998, Amartya Sen, Dr. Mahbub ul-Haq[9] merumuskan suatu indikator yang dapat mengukur pembangunan manusia. Pada tahun 1990, pertama kali UNDP mempublikasikan Human Development Report (HDR) yang berfokus pada pembangunan manusia. Fokus utama HDR lebih pada aspek-aspek nonfisik pembangunan. HDR disusun dan dipublikasikan terutama ditujukan untuk membantu tiap pemerintahan suatu negara yang rakyatnya hidup dalam kemiskinan dan kesulitan untuk mengembangkan model pembangunan yang secara holistik memperbaiki kualitas kehidupan manusia. Tidak hanya sekedar mempertinggi pendapatan per kapita yang terkadang malah berdampak pada masalah ketimpangan.

HDR merupakan salah satu instrumen penting bagi UNDP untuk mencapai tujuan utama sesuai mandat yang diberikan Majelis Umum PBB, yaitu pemberantasan kemiskinan. Dalam setiap tahunnya, HDR memberikan resep yang berbeda sehingga semakin banyak mekanisme yang bisa dipakai. Pada tahun 2004, secara global HDR mengangkat topik yang sangat relevan dengan Indonesia yaitu Cultural Liberty in a Diverse World. Hal ini merupakan topik yang sangat relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang sarat dengan kemajemukan atau multikulturalisme. HDR 2004 lebih menekankan pentingnya kemerdekaan budaya dalam pembangunan manusia. Seringkali terjadi bahwa peminggiran budaya juga berarti peminggiran politik, ekonomi, dan sosial. Kemerdekaan budaya menyangkut kebebasan orang memilih identitasnya tanpa harus tersingkir dari pilihan-pilihan penting lainnya dalam hidup seperti akses pada pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja.

Dalam HDR UNDP 2004, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada peringkat 111 – hanya satu tingkat di atas Vietnam (112). Dalam laporan tersebut, Indonesia termasuk dalam kategori “menengah” dalam pembangunan manusianya. Indonesia berada jauh di bawah Singapura (25), Malaysia (59), Thailand (76) dan Filipina (83). Sedangkan untuk HDR UNDP tahun 2006, IPM Indonesia berada pada peringkat 108 dari 177 negara. Walau terlihat naik, sebenarnya peringkat Indonesia semakin menurun dari tahun ke tahun bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Hal ini sebagai akibat dari rendahnya perhatian pemerintah pada aspek pembangunan manusia. Jika dibandingkan dengan sesama negara ASEAN, maka Indonesia tercatat sebagai negara dengan alokasi anggaran untuk kesehatan dan pendidikan yang paling rendah.

Keberadaan IPM sebagai tolok ukur pembangunan mansia sangat penting bagi Indonesia karena pembangunan pada hakekatnya merupakan pembangunan manusia, pembangunan manusia Indonesia masih sangat tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara lain, dan pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan –yang nota bene berpengaruh terhadap kualitas SDM– masih sangat rendah.

People Centered Development
Pada dasarnya, ide dan gagasan tentang pembangunan yang berpusatkan pada manusia (people centered development), diawali dengan pemahaman tentang ekologi manusia, yang menjadi pusat perhatian pembangunan. Dengan demikian, pembangunan haruslah menempatkan rakyat sebagai pusat perhatian dan proses pembangunan harus menguntungkan semua pihak. Dalam konteks ini, masalah kemiskinan, kelompok rentan dan meningkatnya pengangguran perlu mendapat perhatian utama karena bisa menjadi penyebab instabilitas yang akan membawa pengaruh negatif, seperti longgarnya ikatan-ikatan sosial dan melemahnya nilai-nilai serta hubungan antar manusia.

Karena itu, komitmen dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan cara-cara yang adil dan tanpa mengecualikan rakyat miskin, meningkatkan keterpaduan sosial dengan politik yang didasari hak azasi, nondiskriminasi dan memberikan perlindungan kepada mereka yang kurang beruntung; merupakan hakekat dari paradigma pembangunan berpusatkan pada manusia.

Strategi pembangunan berpusat pada manusia memiliki tujuan akhir untuk memperbaiki kualitas hidup seluruh rakyat dengan aspirasi-aspirasi serta harapan individu dan kolektif dalam konsep tradisi budaya dan kebiasaan-kebiasaan mereka yang sedang berlaku. Tujuan objektif dalam strategi pembangunan berpusat pada manusia pada intinya adalah untuk memberantas kemiskinan absolut, realisasi keadilan distributif (distributif of justice), dan peningkatan partisipasi masyarakat secara nyata. Prioritas awal bagi people centered development harus diperuntukkan bagi daerah yang tidak menguntungkan dan kelompok-kelompok sosial yang rawan terpengaruh, termasuk wanita, anak-anak, generasi muda yang tidak mampu, lanjut usia, dan kelompok-kelompok marginal lainnya.

Seiring dengan berkembangnya pembangunan yang berorietasi pada pertumbuhan ekonomi, maka berkembang pendekatan yang berpusat pada manusia atau rakyat. Model pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia sebenarnya merupakan antitesis dari model pembangunan yang berorientasi pada produksi. Untuk model pembangunan yang berorientasi pada produksi tersebut, termasuk di dalamnya model-model pembangunan ekonomi yang memposisikan pemenuhan kebutuhan sistem produksi lebih utama daripada kebutuhan rakyat.
Secara sederhana, Korten menyatakan bahwa pembangunan yang berpusat pada produksi lebih memusatkan perhatian pada:[10] Industri dan bukan pertanian, padahal mayoritas penduduk dunia memperoleh mata pencaharian mereka dari pertanian; Daerah perkotaan dan bukan daerah pedesaan; Pemilikan aset produktif yang terpusat, dan bukan aset produktif yang luas; Investasi-investasi pembangunan lebih menguntungkan kelompok yang sedikit dan bukannya yang banyak; Penggunaan modal yang optimal dan bukan penggunaan sumber daya manusia yang optimal, sehingga sumber daya modal dimanfaatkan sedangkan sumber daya manusia tidak dimanfaatkan secara optimal; Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan untuk mencapai peningkatan kekayaan fisik jangka pendek tanpa pengelolaan untuk menopang dan memperbesar hasil-hasil sumber daya, dengan menimbulkan kehancuran lingkungan dan penguasaan basis sumber daya alami secara cepat; Efisiensi satuan-satuan produksi skala besar yang saling tergantung dan didasarkan pada perbedaan keuntungan international, dengan meninggalkan keanekaragaman dan daya adaptasi dari satuan-satuan skala kecil yang diorganisasi guna mencapai swadaya lokal, sehingga menghasilkan perekonomian yang tidak efisien dalam hal enerji, kurangnya daya adaptasi dan mudah mengalami gangguan yang serius karena kerusakan atau manipulasi politik dalam suatu bagian sistem tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, model pembangunan yang berpusat pada manusia merupakan suatu alternatif baru untuk meningkatkan hasil produksi pembangunan guna memenuhi kebutuhan penduduk yang sangat banyak dan terus bertambah. Akan tetapi, peningkatan tersebut harus dicapai dengan cara-cara yang sesuai dengan asas-asas dasar partisipasi dan keadilan dan hasil-hasil itu harus dapat dilestarikan untuk kelangsungan hidup manusia di dunia ini.

Model pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia lebih menekankan kepada pemberdayaan, yaitu menekankan kenyataan pengalaman masyarakat dalam sejarah penjajahan dan posisinya dalam tata ekonomi internasional. Karena itu pendekatan ini berpendapat bahwa masyarakat harus menggugat struktur dan situasi keterbelakangan secara simultan dalam berbagai tahapan.

Secara lebih tajam, Korten[11] menyatakan bahwa konsep pembangunan berpusat pada manusia memandang inisiatif dan kreatifitas dari rakyat sebagai sumber daya pembangunan yang utama dan memandang kesejahteraan material dan spiritual mereka sebagai tujuan yang ingin dicapai oleh proses pembangunan. Selanjutnya Korten mengemukakan tiga tema penting yang dianggap menentukan bagi konsep perencanaan pembangunan yang berpusat pada manusia, yaitu:[12]

  1. Penekanan akan dukungan dan pembangunan usaha-usaha swadaya kaum miskin guna menangani kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri;
  2. Kesadaran bahwa walaupun sektor modern merupakan sumber utama bagi pertumbuhan ekonomi yang konvensional, tetapi sektor tradisional menjadi sumber utama bagi kehidupan sebagai besar rumah tangga miskin;
  3. Kebutuhan akan kemampuan kelembagaan yang baru dalam usaha membangun kemampuan para penerima bantuan yang miskin demi pengelolaan yang produktif dan swadaya berdasarkan sumber-sumber daya lokal.

Manusia dan lingkungan merupakan variabel endogen yang utama, yaitu sebagai titik tolak bagi perencanaan pembangunan, sehingga perspektif dasar dan metode analisis dalam pendekatan pembangunan ini adalah Ekologi Manusia, yaitu kajian mengenai interaksi antara sistem manusia dan ekosistemnya. Pendekatan ini juga mempersoalkan dua asumsi yang terkandung dalam model-model pembangunan ekonomi; pertama, bahwa pembangunan dengan sendirinya membantu setiap orang, dan kedua, bahwa masyarakat ingin diintegrasikan dalam arus utama suatu pembangunan model barat, dimana mereka tidak punya pilihan untuk merumuskan jenis masyarakat yang bagaimanakah yang sebenarnya mereka inginkan.

Dengan menggunakan waktu sebagai ukuran dasar perubahan, dalam pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia dibedakan antara strategi jangka panjang dengan strategi jangka pendek. Strategi jangka panjang diperlukan untuk mengeliminasi bahkan menghancurkan struktur ketimpangan sosial, kelas dan bangsa. Prasarat dasar bagi proses ini juga termasuk pembebasan nasional dari dominasi kolonialisme dan neokolonialisme, pergeseran dari strategi pertanian yang berorientasi ekspor, dan kontrol yang lebih besar terhadap aktivitas-aktivitas perusahaan-perusahaan multinasional (multinational corporations). Sedangkan strategi jangka pendek didefinisikan sebagai kebutuhan untuk menemukan cara-cara menghadapi berbagai krisis yang sedang berlangsung, dengan membantu masyarakat dalam produksi pangan melalui peningkatan diversifikasi pertanian, sebagaimana juga kesempatan kerja di sektor formal dan informal.

Dengan demikian, pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia berupaya membangkitkan kesadaran masyarakat untuk menggugat subordinasi mereka melalui organisasi-organisasi lokal secara bottom-up. Oganisasi yang dianggap paling efektif adalah organisasi yang bermula dengan kebutuhan praktis masyarakat yang konkrit, yang berkaitan dengan persoalan kesehatan, ketenagakerjaan dan penyediaan pelayanan dasar, tetapi yang dapat memanfaatkan isu-isu tersebut sebagai sarana untuk mencapai kebutuhan strategis masyarakat dalam suatu konteks sosial politik tertentu.

Dalam pembangunan yang berpusat pada manusia mengidentifikasikan kebutuhan praktis dan strategis melalui pemberdayaan atau penguatan diri masyarakat. Oleh karena itu, penting melakukan kategorisasi kebutuhan praktis dan strategis masyarakat untuk menghindari waktu sebagai determinan perubahan, karena perubahan jangka pendek belum menjamin transformasi jangka panjang, dan pemenuhan kebutuhan praktis masyarakat tidak secara otomatis berarti terpenuhinya kebutuhan strategis masyarakat.

Kebutuhan praktis yang dimaksud disini adalah berbagai kebutuhan dasar manusia. Sementara itu, kebutuhan strategis mencakup kemampuan dasar untuk mengakses fasilitas pelayanan sosial dan pemenuhan hak-hak individu, kelompok dan masyarakat dalam mencapai kualitas hidup dan kesejahteraan sosial. Usaha untuk memenuhi kebutuhan strategis tersebut adalah arena pekerjaan sosial yang selama ini diyakini sebagai suatu profesi yang memiliki kemampuan dalam pemberdayaan masyarakat. Keadaan baru yang dibayangkan melalui pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia mensyaratkan pula untuk terjadinya transformasi struktur-struktur yang mensubordinasi dalam ekologi manusia, yang selama ini sedemikian rupa telah menindas masyarakat.

Perubahan hukum, aturan kemasyarakatan, sistem hak milik dan kontrol atas masyarakat, aturan perburuhan, institusi sosial dan legal yang melindungi kontrol sosial masyarakat merupakan hal yang sangat penting jika manusia ingin memperoleh keadilan dalam suatu tatanan sosial politik tertentu. Dalam cara mencapai kebutuhan-kebutuhan itulah, pendekatan pembangunan yang berpusat pada rakyat melalui strategi pemberdayaan secara mendasar sangat berbeda dengan pendekatan-pendekatan pembangunan yang lain. Pendekatan ini berupaya untuk mencapai kebutuhan strategis manusia ecara tidak langsung melalui kebutuhan praktisnya dengan menghindari konfrontasi secara langsung dengan membangun kebutuhan praktis manusia sebagai basis untuk membangun landasan yang kuat sebagai sarana untuk mencapai kebutuhan strategis.

Pemberdayaan manusia tidak hanya mengembangkan potensi ekonomi rakyat, tetapi juga harkat dan martabat, rasa percaya diri dan harga dirinya, serta terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat. Pemberdayaan sebagai konsep sosial budaya yang implementatif dalam pembangunan yang berpusat pada manusia tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomis, tetapi juga nilai tambah sosial dan nilai tambah budaya. Kajian strategis pemberdayaan manusia, baik ekonomi, sosial, budaya dan politik menjadi penting sebagai input untuk reformulasi pembangunan yang berpusat pada rakyat, yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk membangun secara partisipatif.

Dalam pembangunan partisipatif, pemberdayaan merupakan salah satu strategi yang dianggap tepat jika faktor-faktor determinan dikondisikan sedemikian rupa agar esensi pemberdayaan tidak menjadi terdistorsi. Prinsip pembangunan yang partisipatif menegaskan bahwa manusia harus menjadi pelaku utama dalam pembangunan. Hal ini membutuhkan kajian strategis tentang restrukturisasi sistem sosial pada tingkat mikro, mezzo dan makro sehingga masyarakat lokal dapat mengembangkan potensinya tanpa adanya hambatan eksternal pada struktur mezzo dan makro. Struktur mezzo yang dimaksud dapat berupa struktur pemerintah regional setingkat Kabupaten/Kota dan Propinsi; sedangkan struktur makro dapat berupa struktur pemerintah pusat atau nasional. Pola kebijakan yang selama ini dilaksanakan di Indonesia lebih dominan datang dari atas ke bawah (top down) daripada dari bawah ke atas (bottom up).

Kondisi tersebut mencerminkan perlu adanya pergeseran peran pemerintah, dari peran sebagai penyelenggara pelayanan sosial menjadi fasilitator, mediator, pemungkin, koordinator, pendidik, mobilisator, sistem pendukung dan peran-peran lain yang lebih mengarah pada pelayanan tidak langsung. Adapun peran organisasi lokal, organisasi sosial, LSM dan kelompok masyarakat lainnya seharusnya lebih dipacu sebagai agen pelaksana perubahan dan pelaksana pelayanan sosial kepada kelompok rentan atau masyarakat pada umumnya. Dalam posisi sedemikian, maka permasalahan sosial ditangani oleh masyarakat atas fasilitasi dari pemerintah.

Realitas Pembangunan di Indonesia
Sejak Indonesia merdeka hingga saat ini, kemiskinan masyarakatnya tetap menjadi isu utama dalam proses pembangunan. Bergantinya rezim pemerintahan di Indonesia sampai sejauh ini belum memberikan dampak yang signifikan dalam upaya mengatasi kemiskinan manusia. Pengalaman Indonesia pada masa Orde Baru memang memperlihatkan penurunan angka kemiskinan. Namun kritik dapat diberikan dalam hal ini karena indikator makro ekonomi yang dipergunakan tidak memberikan gambaran realitas kemiskinan manusia yang sebenarnya.

Kemiskinan merupakan tanda bahwa pembangunan yang dilakukan gagal mencapai tujuan asasinya. Penduduk yang termasuk dalam kategori miskin dapat dipastikan mengalami kesulitan untuk memperoleh akses terhadap pangan, pendidikan, kesehatan, maupun papan. Kemiskinan juga terkait erat dengan pengangguran, pertumbuhan ekonomi, dan keadilan. Ketidakadilan menciptakan kemiskinan, dan kemiskinan semakin memperparah ketidakadilan. Oleh sebab itu perlu kebijakan-kebijakan yang bersifat pemihakan terhadap penduduk yang berada pada kelompok miskin, disamping kebijakan-kebijakan yang dapat menciptakan kondisi bagi efektivitas upaya-upaya pengurangan kemiskinan.

Saat ini, bagi kelompok penduduk miskin, akses terhadap kebutuhan dasar masih sangat sulit. Jumlah pangan yang dikonsumsi sering berada di bawah rekomendasi minimum yang diperlukan untuk kehidupan yang sehat dan produktif. Pendidikan, kesehatan, dan tempat tinggal yang layak merupakan kebutuhan dasar bagi kelompok ini. Kebutuhan dasar ini bagi keluarga miskin dan tidak mampu seharusnya ditanggung oleh negara. Hanya pembangunan yang mampu mengentaskan golongan miskin menuju ke kehidupan yang layak dan berkualitas yang dapat dikatakan sebagai implementasi pembangunan yang berhasil.

Di sisi lain, perlu disadari bahwa selama ini banyak pihak lebih melihat persoalan kemiskinan manusia hanya pada tataran gejala-gejala yang tampak terlihat dari luar atau di tataran permukaan saja, yang mencakup multidimensi, baik dimensi politik, sosial, ekonomi, aset dan lain-lain. Orientasi berbagai program penanggulangan kemiskinan yang hanya menitikberatkan pada salah satu dimensi dari gejala-gejala kemiskinan ini, pada dasarnya mencerminkan pendekatan program yang bersifat parsial, sektoral, charity dan tidak menyentuh akar penyebab kemiskinan itu sendiri. Akibatnya program-program dimaksud tidak mampu menumbuhkan kemandirian masyarakat yang pada akhirnya tidak akan mampu mewujudkan aspek keberlanjutan (sustainability) dari program-program penanggulangan kemiskinan tersebut.

Berbagai implementasi pembangunan dalam program kemiskinan terdahulu di Indonesia dalam kenyataannya sering menghadapi kondisi yang kurang menguntungkan, misalnya salah sasaran, terciptanya benih-benih fragmentasi sosial, dan melemahkan nilai-nilai kapital sosial yang ada di masyarakat (gotong royong, musyawarah, keswadayaan dll). Lemahnya nilai-nilai kapital sosial pada gilirannya juga mendorong pergeseran perubahan perilaku masyarakat yang semakin jauh dari semangat kemandirian, kebersamaan dan kepedulian untuk mengatasi persoalan bangsa secara bersama-sama.

Kondisi kapital sosial serta perilaku masyarakat yang melemah serta memudar tersebut salah satunya disebabkan oleh keputusan, kebijakan dan tindakan dari pengelola program kemiskinan dan pemimpin-pemimpin masyarakat yang selama ini cenderung tidak adil, tidak transparan dan tidak tanggung gugat (tidak pro-poor dan tidak good governance oriented). Sehingga menimbulkan kecurigaan, stereotype dan skeptisme di masyarakat. Keputusan, kebijakan dan tindakan yang tidak adil tersebut biasanya terjadi pada situasi tatanan masyarakat yang belum madani, dengan salah satu indikasinya dapat dilihat dari kondisi kelembagaan masyarakat yang belum berdaya, yang tidak berorientasi pada keadilan, tidak dikelola dengan jujur dan tidak ikhlas berjuang bagi kepentingan masyarakat.

Kelembagaan masyarakat yang belum berdaya pada dasarnya disebabkan oleh karakterisitik lembaga masyarakat tersebut yang cenderung tidak mengakar dan tidak representatif. Di samping itu, ditengarai pula bahwa berbagai lembaga masyarakat yang ada saat ini, dalam beberapa hal, lebih berorientasi pada kepentingan pihak luar masyarakat atau bahkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu, sehingga mereka kurang memiliki komitmen dan kepedulian pada masyarakat di wilayahnya, terutama masyarakat miskin. Dalam kondisi ini akan semakin mendalam krisis kepercayaan masyarakat terhadap berbagai lembaga masyarakat yang ada di wilayahnya.

Kondisi kelembagaan masyarakat yang tidak mengakar, tidak representatif dan tidak dapat dipercaya tersebut pada umumnya tumbuh subur dalam situasi perilaku/sikap masyarakat yang belum berdaya. Ketidakberdayaan masyarakat dalam menyikapi dan menghadapi situasi yang ada di lingkungannya, yang pada akhirnya mendorong sikap masa bodoh, tidak peduli, tidak percaya diri, mengandalkan bantuan pihak luar untuk mengatasi masalahnya, tidak mandiri, serta memudarnya orientasi moral dan nilai-nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakat.

Akar penyebab dari persoalan kemiskinan yang sebenarnya adalah karena kondisi masyarakat yang belum berdaya dengan indikasi kuat yang dicerminkan oleh perilaku/sikap/cara pandang masyarakat yang tidak dilandasi pada nilai-nilai universal kemanusiaan (jujur, dapat dipercaya, ikhlas, dll) dan tidak bertumpu pada prinsip-prinsip universal kemasyarakatan (transparansi, akuntabilitas, partisipasi, demokrasi, dll).

Penanganan terhadap pemahaman mengenai akar penyebab dari persoalan kemiskinan seperti di atas telah menyadarkan berbagai pihak bahwa pendekatan dan cara yang dipilih dalam penanggulangan kemiskinan selama ini di Indonesia perlu diperbaiki, yaitu ke arah perubahan perilaku/sikap dan cara pandang masyarakat yang senantiasa berlandaskan pada nilai-nilai universal kemanusiaan (moral), prinsip-prinsip kemasyarakatan dan pilar-pilar pembangunan berkelanjutan. Perubahan perilaku/sikap dan cara pandang masyarakat ini merupakan pondasi yang kokoh bagi terbangunnya lembaga masyarakat yang mandiri, melalui pemberdayaan para pelaku-pelakunya, agar mampu bertindak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia luhur yang mampu menerapkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakatnya sehari-hari.

Kemandirian lembaga masyarakat ini dibutuhkan dalam rangka membangun lembaga masyarakat yang benar-benar mampu menjadi wadah perjuangan kaum miskin, yang mandiri dan berkelanjutan dalam menyuarakan aspirasi serta kebutuhan mereka dan mampu mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik di tingkat lokal agar lebih berorientasi ke masyarakat miskin (pro poor) dan mewujudkan tata kepemerintahan yang baik (good governance), baik ditinjau dari aspek ekonomi, lingkungan maupun sosial.

Karena, tujuan dari proses pembangunan adalah pemenuhan hak-hak dasar manusia (basic human rights) dengan memperluas pilihan-pilihannya. Maksud dari memperluas pilihan tersebut adalah dengan memperbesar akses manusia terhadap pengetahuan, pelayanan kesehatan, penghidupan yang layak, keamanan terhadap kejahatan dan kekerasan fisik, waktu luang yang menyenangkan, kebebasan politik dan kultural, serta partisipasi dalam aktivitas masyarakat.

Oleh karenanya, model pembangunan yang hanya menekankan pada pertumbuhan ekonomi adalah tidak tepat. Model pertumbuhan ekonomi hanya mengejar indikator pendapatan, sementara pembangunan manusia bertujuan lebih luas hingga mencakup aspek sosial, kultural dan politik. Dalam mencapai tujuan pembangunan, dengan mengutip pendapat Sen,[13] maka disyaratkan adanya beberapa prinsip yang harus dipenuhi dalam pembangunan manusia. Pertama, equity, yaitu keadilan dalam akses terhadap kesempatan. Kedua, sustainability, yaitu keberlanjutan kesejahteraan bagi generasi berikutnya. Ketiga, productivity, yaitu memberikan lingkungan makro yang kondusif bagi masyarakat untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki. Keempat, empowerment, yaitu memperluas partisipasi masyarakat dalam segala aktivitas yang menyangkut perubahan kehidupannya.

Lebih lanjut menurut Sen,[14] pembangunan bukanlah proses yang dingin dan menakutkan dengan mengorbankan darah, keringat serta air mata, at all cost. Menurutnya, pembangunan adalah sesuatu yang “bersahabat”. Pembangunan, seharusnya merupakan proses yang memfasilitasi manusia mengembangkan hidup sesuai dengan pilihannya (development as a process of expanding the real freedoms that people enjoy). Asumsi dari pemikiran Sen adalah bila manusia mampu mengoptimalkan potensinya, maka akan bisa maksimal pula kontribusinya untuk kesejahteraan bersama. Dengan demikian, kemakmuran sebuah bangsa dicapai berbasiskan kekuatan rakyat yang berdaya dan menghidupinya. Menurut Sen, penyebab dari langgengnya kemiskinan, ketidakberdayaan, maupun keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas.

Diakibatkan keterbatasan akses, manusia mempunyai keterbatasan (bahkan tidak ada) pilihan untuk mengembangkan hidupnya. Akibatnya, manusia hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat dilakukan (bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan). Dengan demikian, potensi manusia mengembangkan hidup menjadi terhambat dan kontribusinya pada kesejahteraan bersama menjadi lebih kecil. Aksesibilitas yang dimaksud Sen adalah terfasilitasinya kebebasan politik, kesempatan ekonomi, kesempatan sosial (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain), transparansi, serta adanya jaring pengaman sosial.

Di Indonesia, tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Amartya Sen. penyebab kemiskinan adalah akibat ketiadaan akses yang dapat menunjang pemenuhan kehidupan manusiawi. Pada dimensi ekonomi, akibat distribusi akses sumber daya ekonomi yang tidak merata menyebabkan rakyat miskin tidak dapat mengembangkan usaha produktifnya. Pada dimensi politik, akibat rakyat miskin sangat sulit mengakses dan terlibat berbagai kebijakan publik, maka kebijakan tersebut tidak menguntungkan mereka.

Tesis yang dikemukakan Sen agar tercapainya kesejahteraan adalah melalui kebebasan sebagai cara dan tujuan (development as freedom). Freedom menurut Sen merupakan kebebasan dari rasa tak berdaya, rasa ketergantungan, rasa cemas, rasa keharusan untuk mempertanyakan apakah tindakan-tindakan mereka diizinkan atau tidak diizinkan oleh yang lebih tinggi ataupun adat kebiasaan (misalnya: patriarki). Untuk memecahkan hal tersebut, diperlukan aspek emansipatoris, yaitu aspek pembebasan masyarakat dari struktur-struktur yang menghambat, sehingga memungkinkan masyarakat memperkembangkan kemampuan atas dasar kekuatan sendiri (self reliance). Dengan demikian, terfasilitasilah kemanusiaan yang penuh dan sanggup mengungkapkan diri (humanitas expleta et eloquens).

Pembangunan, dengan demikian berarti merangsang suatu masyarakat sehingga gerak majunya menjadi otonom, berakar dari dinamik sendiri dan dapat bergerak atas kekuatan sendiri. Tidak ada model pembangunan yang berlaku universal. Dalam jangka panjang, suatu pembangunan tidak akan berhasil dan bertahan, jika pembangunan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang dianut masyarakat. Selama Orde Baru, secara sadar maupun tak sadar, telah terjadi ”kesalahan” besar yang dibuat bersama-sama. Dari tahun ke tahun, lembaran buku GBHN dan Pelita yang dicanangkan pemerintah makin tebal. Masyarakat profesi, para pakar maupun berbagai organisasi masyarakat, berlomba-lomba merumuskan berbagai persoalan, lalu diserahkan pada pemerintah.

Dengan demikian, masyarakat telah ”menyerahkan” kemandirian yang dimiliki, sehingga pemerintah semakin memiliki kekuatan, legitimasi, dan kedaulatan untuk melakukan berbagai hal (bahkan menjadi leviathan). Tragisnya, masyarakat merasa lega karena tak mengerjakan apa-apa, sebab semuanya telah diserahkan pada pemerintah. Meski sebenarnya, telah ”melumpuhkan” diri sendiri.

Pembangunan di Indonesia selama ini yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, dan belum memberikan prioritas yang cukup pada pembangunan manusia sangat berpotensi menciptakan kemiskinan struktural yang semakin tajam. Dengan demikian, kemiskinan merupakan perampasan kemampuan (capability deprivation) terhadap sumber daya-sumber daya dasar, seperti pendidikan, kesehatan dan lapangan pekerjaan. Kemiskinan struktural merupakan suatu kondisi dijauhkannya masyarakat dari sumber daya yang dapat dipergunakan untuk memperbaiki kehidupannya. Kemiskinan adalah kondisi yang membuat masyarakat jauh dari sumber daya tersebut. Sementara akar dari muncul atau tidaknya kemiskinan akan sangat terkait dengan kebijakan negara.

Daftar Pustaka
Abdoellah, Oekan S.. 2007. Implementasi Pembangunan Berkelanjutan Guna Menjaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa Dalam Rangka Stabilitas Nasional. Kertas Karya Perorangan (Taskap) Program Pendidikan Singkat Angkatan XV Lemhannas RI Tahun 2007. Jakarta: Lemhannas RI., hal. 83-87. Diakses di http://elearning.lemhannas.go.id/digilib/gdl.php?mod=browse&op=read&id=lemhannas--profoekans-17 [1/12/2007].
Fukuyama, Francis. 2004. State Building: Governance and World Order in the Twenty-First Century. London: Profile Books., hal. 103.
Haq, M. 1963. The Strategy of Economic Planning: A Case Study of Pakistan. Karachi: Oxford University Press.
Haq, M. 1976. The Poverty Curtain: Choices for the Third World. New York: Columbia University Press.
Hikmat, Harry. 1995. Paradigma Pembangunan dan Implikasi dalam Perencanaan Sosial. (tidak dipublikasikan). Jakarta : Universitas Indonesia.
Korten, D. C.. 1993. Menuju Abad ke-21: Tindakan Sukarela dan Agenda Global Forum Pembangunan Berpusat-Rakyat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Pustaka Sinar Harapan., hal. 183-185.
Rochman, Meuthia G. et.al. 1997. HAM Sebagai Parameter Pembangunan. Jakarta: ELSAM., hal. 32.
Sanchez O. A. 2000. “The Legacy of Human Development: A Tribute to Mahbub ul Haq”, Journal of Human Development, Vol. 1 No. 1, Pp. 9-16. The text of the speech given by Dr. Sanchez at the First Global Forum on Human Development 29-31 July, 1999, at the United Nations Headquarters, New York.
Sen, Amartya Kumar. 1997. Economic Inequality, Extended Edition. Oxford: Clarendon Press, (annexe with James Foster)., hal. 126.
Sen, Amartya Kumar. 1999. Development As Freedom. New York: Knopf.
Surna T. D. 1993. Pengembangan Informasi Geografis dalam Menunjang Pembangunan Berkelanjutan. Serasi Nomor 27. Jakarta., hal. 84.
Todaro, Michael P. 1994. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi keempat. Jilid 1. Jakarta: Erlangga., hal. 207.

[1] Disahkan oleh Sidang Umum PBB tanggal 4 Desember 1986.
[2] Meuthia G. Rochman, et.al. 1997. HAM Sebagai Parameter Pembangunan. Jakarta: ELSAM., hal. 32.
[3] Francis Fukuyama. 2004. State Building: Governance and World Order in the Twenty-First Century. London: Profile Books., hal. 103.
[4] Michael P. Todaro. 1994. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi keempat. Jilid 1. Jakarta: Erlangga., hal. 207.
[5] Surna T. D. 1993. Pengembangan Informasi Geografis dalam Menunjang Pembangunan Berkelanjutan. Serasi Nomor 27. Jakarta., hal. 84.
[6] Harry Hikmat. 1995. Paradigma Pembangunan dan Implikasi dalam Perencanaan Sosial. (tidak dipublikasikan). Jakarta : Universitas Indonesia.
[7] Oekan S. Abdoellah. 2007. Implementasi Pembangunan Berkelanjutan Guna Menjaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa Dalam Rangka Stabilitas Nasional. Kertas Karya Perorangan (Taskap) Program Pendidikan Singkat Angkatan XV Lemhannas RI Tahun 2007. Jakarta: Lemhannas RI., hal. 83-87. Diakses di http://elearning.lemhannas.go.id/digilib/gdl.php?mod=browse&op=read&id=lemhannas--profoekans-17 [1/12/2007].
[8] Ibid, Abdoellah., hal. 86
[9] Lihat Sanchez O. A. 2000. “The Legacy of Human Development: A Tribute to Mahbub ul Haq”, Journal of Human Development, Vol. 1 No. 1, Pp. 9-16. The text of the speech given by Dr. Sanchez at the First Global Forum on Human Development 29-31 July, 1999, at the United Nations Headquarters, New York. Sebagai referensi tambahan, lihat juga di Haq, M. 1963. The Strategy of Economic Planning: A Case Study of Pakistan. Karachi: Oxford University Press. Dan Haq, M. 1976. The Poverty Curtain: Choices for the Third World. New York: Columbia University Press.
[10] D. C. Korten. 1993. Menuju Abad ke-21: Tindakan Sukarela dan Agenda Global Forum Pembangunan Berpusat-Rakyat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Pustaka Sinar Harapan., hal. 183-185.
[11] Ibid, D. C. Korten., hal. 84.
[12] Ibid, D. C. Korten., hal. 85.
[13] Amartya Kumar Sen. 1997. Economic Inequality, Extended Edition. Oxford: Clarendon Press, (annexe with James Foster)., hal. 126. lihat juga Sen, A. K. 1999. Development As Freedom. New York: Knopf.
[14] Ibid

No comments:

Post a Comment

DPRD KABUPATEN PELALAWAN
SIAK SRI INDRAPURA