Friday, September 28, 2007

Pembangunan Wilayah Perbatasan Indonesia dalam Perspektif Keamanan Manusia

Pendahuluan
Secara filosofis, keberadaan pemerintah adalah untuk memberikan pelayanan kepada rakyat melalui berbagai aktivitasnya. Penyelenggaraan pemerintahan menyangkut penyelenggaraan administrasi pemerintahan sehari-hari (day to day administrator) secara luas, pemberian pelayanan kepada masyrakat luas (public services) serta pembangunan berbagai infrastruktur maupuan fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan harus mampu mengatasi persoalan-persoalan riil yang dihadapi masyarakat, setidaknya memberikan fasilitasi secara maksimal sehingga masyarakat mampu mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapinya.

Manajemen atau pengelolaan pemerintahan pada saat ini sedang berada pada masa transisi. Beberapa penanda yang dapat diamati adalah adanya pergeseran paradigma pengelolaan pemerintahan dari yang berbasis pada kekuasaan ke arah manajemen publik yang berdasarkan pada akuntabilitas (accountability) dan pemenuhan kepuasan penggunan layanan (customer satisfaction). Peran pemerintah sebagai penyelenggara seluruh kegiatan (acting or executing) berubah menuju ke peran sebagai pengarah (regulating) dalam rangka pemberdayaan (empowering) masyarakat. Selain itu, pengelolaan pemerintahan yang berstruktur dan bebudaya tertutup bergeser menuju ke arah pengelolaan yang tebuka (transparency).

Pengelolaan pemerintahan sebelumnya yang bekarakteristik sentralistik bergeser ke arah lebih desentralistik, serta pengelolaan pemerintahan yang sebelumnya berciri bad governance bergeser ke arah pengelolaan pemerintahan yang berciri good governance dn clean governance.
Penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia tidak terlepas dari perubahan-perubahan yang terjadi, baik didorong oleh kekuatan internal maupun eksternal. Pada tataran global, terjadi transformasi dalam bidang politik, ekonomi, batas-batas teritorial negara, hubungan antara negara, maupun budaya global yang mengarah pada tebentuknya model tatanan dunia baru (the new world order). Pada tataran internal, terjadi pergeseran kesadaran politik masyarakat dari yang sebelumnya bersikap skeptis menuju ke arah peningkatan peran aktif dalam proses politik maupun dalam perumusan kebijakan publik, serta keterbatasan kemampuan pemerintah untuk menangani berbagai permasalahan yang muncul dan berkembang secara cepat dan dalam skala yang luas.

Indonesia sebagai suatu negara-bangsa sudah diakui kedaulatannya secara internal maupun eksternal. Secara internal, kedaulatan suatu negara dapat dinyatakan secara formal dengan keberadaan wilayah/teritori beserta dengan penduduk dan pemerintahan di dalamnya. Secara eksternal, kedaulatan suatu negara ditunjukkan dengan adanya pengakuan (recognition) dari negara-negara lain. Secara demikian, wilayah perbatasan negara mempunyai peranan dan nilai strategis dalam mendukung tegaknya kedaulatan negara, sehingga pemerintah Indonesia wajib memperhatikan secara sungguh-sungguh kesejahteraan dan keamanan nasional. Hal inilah yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945 terhadap pemerintah negara, mendorong peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat sekitar, dan memperkuat kondisi ketahanan masyarakat dalam pertahanan negara. Wilayah perbatasan perlu mendapatkan perhatian karena kondisi tersebut akan mendukung keamanan nasional dalam kerangka NKRI.

Beberapa permasalahan yang dihadapi daerah perbatasan darat negara antara lain: Pertama, belum tuntasnya kesepakatan perbatasan antar negara, kerusakan tanda-tanda fisik perbatasan dan belum tersosialisasinya secara baik batas negara kepada aparat pemerintah dan masyarakat. Kedua, kesenjangan kesejahteraan masyarakat, baik ekonomi maupun sosial. Ketiga, luas dan jauhnya wilayah perbatasan dari pusat pemerintahan Propinsi dan Kabupaten; keterbatasan aksesbilitas yang mengakibatkan sulitnya dilakukan pembinaan, pengawasan dan pengamanan; Keempat, penyebaran penduduk yang tidak merata dengan kualitas SDM yang rendah. Kondisi ini diperparah dengan eksploitasi sumberdaya alam yang tidak terkendali khususnya hutan secara legal maupun ilegal yang mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup. Lemahnya penegakan hukum serta kesenjangan ekonomi antar wilayah di negara yang berbatasan mendorong terjadinya kegiatan ilegal di daerah perbatasan darat seperti perdagangan ilegal, lintas batas ilegal, penambangan ilegal dan penebangan hutan ilegal.

Wilayah daratan Indonesia berbatasan langsung dengan negara-negara Malaysia, Papua Nugini (PNG) dan Timor Leste. Kawasan perbatasan daratan tersebut berada di Kalimantan, Papua dan Timor. Terdapat empat propinsi perbatasan dan 15 kabupaten/kota yang masing-masing wilayah memiliki karakteristik kawasan perbatasan berbeda-beda. Demikian pula negara tetangga yang berbatasan memiliki karakteristik yang berbeda dilihat dari segi kondisi geografis, demografis, sosial, politik ekonomi dan budaya. Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini (PNG), Australia, dan Timor Leste.

Kawasan-kawasan perbatasan laut pada umumnya ditandai oleh pulau-pulau terluar yang jumlahnya 92 pulau, hingga kini beberapa diantaranya masih perlu penataan dan pengelolaan yang lebih intensif karena ada kecenderungan terjadinya berbagai permasalahan dengan negara tetangga. Sebagian besar daerah perbatasan di Indonesia masih merupakan daerah tertinggal dengan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi serta pertahanan dan keamanan yang masih sangat terbatas.

Pandangan dimasa lalu bahwa kawasan perbatasan merupakan kawasan yang perlu diawasi secara ketat karena menjadi tempat persembunyian para pemberontak telah mengakibatkan kawasan perbatasan di beberapa daerah menjadi daerah yang kurang tersentuh oleh dinamika pembangunan. Daerah perbatasan pada umumnya miskin dan akibatnya banyak yang berorientasi kepada negara tetangga. Di lain pihak, negara tetangga seperti Malaysia, telah membangun pusat-pusat pertumbuhan di sepanjang koridor perbatasannya melalui berbagai kegiatan ekonomi dan perdagangan yang telah memberikan keuntungan bagi pemerintah maupun masyarakatnya.

Berdasarkan data Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (2005), terdapat 3 (tiga) kabupaten perbatasan di Kalimantan Barat (Kalbar), 3 (tiga) kabupaten perbatasan di Kalimantan Timur (Kaltim), 3 (tiga) kabupaten perbatasan di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan 4 (empat) kabupaten di perbatasan Papua merupakan daerah yang dikategorikan tertinggal dibandingkan daerah lain di Indonesia. Untuk memperbaiki kondisi tersebut, perlu dilakukan upaya dan langkah konkrit untuk memajukan daerah perbatasan darat terutama dari aspek kesejahteraan dan keamanan.

Beberapa tantangan yang dihadapi di wilayah perbatasan antara lain jumlah penduduk yang kurang dan penyebaran yang tidak merata serta keterbatasan infrastruktur. Tingkat pendidikan dan kesehatan serta kualitas sumber daya manusia (SDM) masih relatif rendah dan industri pengolahan belum berkembang, sehingga kegiatan perekonomian masih tergantung pada produk mentah. Demikian pula dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang kurang terkendali serta lemahnya sistem informasi dan komunikasi.

Ditinjau dari perspektif keamanan, kondisi daerah perbatasan wilayah Indonesia saat ini berada pada tahap mengkhawatirkan. Hal tersebut ditandai dengan timbulnya berbagai masalah perbatasan seperti kasus Blok Ambalat, kasus Pulau Bidadari dan permasalahan pelintas batas negara. Daerah perbatasan darat merupakan daerah yang terpencil secara geografis dan sosial ekonomi sehingga masyarakat menjadi seolah-olah terpinggirkan. Kondisi ini menjadikan wilayah perbatasan darat memiliki potensi kerawanan aspek internal maupun eksternal. Dari aspek internal masyarakat perbatasan darat yang terpencil, miskin dan terpinggirkan akan memiliki kesadaran nasional (nasionalisme) yang rendah serta tidak dapat diandalkan sebagai pilar keamanan, yang akhirnya dapat membahayakan eksistensi negara. Dari aspek eksternal, wilayah perbatasan darat merupakan wilayah terbuka bagi pihak luar untuk masuk ke wilayah NKRI maupun bagi warga negara Indonesia untuk keluar, sehingga apabila wilayah perbatasan darat tidak diamankan secara baik, dapat membahayakan kedaulatan NKRI.

Keamanan wilayah perbatasan darat mulai menjadi perhatian pemerintah yang wilayah negaranya berbatasan langsung dengan negara lain. Kesadaran akan adanya persepsi wilayah perbatasan darat antarnegara telah mendorong perumus kebijakan untuk mengembangkan kajian penataan wilayah perbatasan dilengkapi dengan rumusan sistem keamanannya. Hal ini menjadi isu strategis karena penataan wilayah perbatasan terkait dengan proses pembangunan bangsa (nation building) terhadap munculnya potensi konflik internal dalam negara maupun dengan negara tetangga (neighbourhood countries). Penanganan perbatasan negara, pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya perwujudan ruang wilayah nusantara sebagai satu kesatuan geografi, politik, ekonomi, sosial budaya serta pertahanan dan keamanan (Sabarno, 2001) .

Paradigma wilayah perbatasan sebagai beranda depan negara belum diwujudkan secara optimal, sehingga berdampak kurang menguntungkan bagi Indonesia. Keadaan ini mengesankan bahwa komitmen pemerintah pusat maupun daerah dalam membangun wilayah perbatasan masih rendah. Disisi lain wilayah perbatasan memiliki potensi strategis ditinjau dari aspek kesejahteraan maupun keamanan.

Pengembangan wilayah perbatasan dalam rangka mewujudkan wilayah perbatasan darat sebagai beranda depan negara yang berorientasi pada aspek kesejahteraan (prosperity) dan keamanan (security) telah dilakukan oleh berbagai dinas dan instansi, namun sifatnya masih parsial dan belum komprehensif sebagai suatu kebijakan. Saat ini pengembangan wilayah perbatasan darat perlu dipercepat karena masalah perbatasan darat dari waktu ke waktu semakin komplek.

Selama ini, pendekatan kesejahteraan melalui paradigma pertumbuhan ekonomi sangat mewarnai konsep pengelolaan kawasan perbatasan, khususnya perbatasan antarnegara. Padahal, pada praktik di lapangan, kawasan perbatasan juga menghadapi permasalahan keamanan, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Kasus-kasus lintas batas ilegal, pencurian kayu ilegal, pertambangan ilegal, kejahatan transnasional (transnational crimes) dan migrasi lintas batas menjadi contoh kasus-kasus keamanan yang terjadi hampir di seluruh kawasan perbatasan.

Berangkat dari kondisi inilah, maka integrasi antara pendekatan kesejahteraan dan keamanan menjadi penting. Hasil-hasil studi kawasan perbatasan yang pernah dilakukan oleh Bappenas, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah serta Departemen Dalam Negeri umumnya menitikberatkan pada upaya ekonomi melalui pembangunan kawasan agar cepat tumbuh untuk mendorong kegiatan ekonomi di kawasan perbatasan. Berbeda dengan studi-studi tersebut, studi yang dilakukan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal juga memperhatikan dimensi keamanan dalam pengelolaan kawasan perbatasan.

Dengan demikian, salah satu wilayah yang memiliki peran dan kedudukan strategis dalam rangka mempertahankan eksistensi bangsa dan negara adalah wilayah perbatasan. Hal tersebut disebabkan wilayah perbatasan merupakan ruang untuk mengintip atau melihat bagaimana kondisi internal suatu negara atau bangsa. Dari wilayah perbatasan dapat dilihat secara langsung bagaimana kondisi fisik wilayah maupun kondisi kehidupan masyarakat yang ada di dalam wilayah suatu negara. Wilayah perbatasan merupakan pintu masuk dan keluar arus sumber daya (barang dan jasa, serta manusia) antar negara. Sebagai pintu masuk dan keluar sumberdaya antar negara maka wilayah perbatasan bisa memperoleh dampak positif maupun negatif dari arus keluar masuk sumber daya ekonomi tersebut. Sebagai dampak dari kedudukannya sebagai pintu masuk dan keluar arus sumber daya ekonomi antara negara, maka wilayah perbatasan rawan terhadap infiltrasi asing, perdagangan illegal atau penyelundupan (illegal trading), pencurian kayu (illegal logging), perdagangan manusia (traficking), tempat persembunyian kelompok separatis, dan sebagainya. Wilayah perbatasan merupakan benteng utama dan terakhir dari eksistensi bangsa dari aspek wilayah sesuai konsep wawasan nusantara. Hal ini karena pendudukan terhadap wilayah negara dimulai dari wilayah perbatasan.

Di samping itu, terjadi pula perubahan-perubahan sosial politik di tingkat masyarakat dan pemerintahan daerah sebagai akibat dikeluarkanya suatu kebijakan publik tertentu, terjadinya dinamika sosial ekonomi masyarakat di wilayah-wilayah perbatasan, terjadinya bencana alam dalam skala yang besar, dan berbagai pekembangan lainnya. Penyelenggara pemerintahan tidak dapat menutup diri dari perkembangan yang terjadi, dan sebaliknya harus menyikapi bebagai perubahan tersebut secara cepat dan bijaksana dalam rangka merumuskan kebijakan yang tepat. Dalam rangka itu dirasakan perlu dilakukan kajian secara mendalam dan kritis berbagai masalah strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya yang tekait dengan pembangunan wilayah perbatasan Indonesia dalam perspektif baru keamanan nasional.

Keamanan Nasional
Keamanan nasional merupakan kombinasi yang kompleks dari tujuan-tujuan militer, persepsi ancaman terhadap keamanan, berbagai pengertian yang berkaitan dengan ancaman, yang kesemuanya ini menghasilkan seperangkat nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan institusi-institusi, dimana kepentingan nasional dan kepentingan keamanan nasional dapat bertemu (Pearson, 1994:276). National Security atau keamanan nasional menurut buku International Relations: A Political Dictionary, (Ziring, 1995:205) bermakna the allocation of resources for the production, deploymnet, and employment of what we may call the coercive facilities which a nation uses in pursuing its interes.

Dalam mengkaji keamanan nasional maka terdapat banyak perspektif tentang cakupan objek keamanan nasional yang secara garis besar dapat di lihat dari dua paradigma, yaitu realis dan pluralis. Paradigma realis meyakini bahwa negara (state) merupakan aktor penting dalam pergaulan internasional. Paradigma realis terhadap keamanan nasional telah menjadi sebuah panduan teoritis bagi aksi reaksi negara-negara sejak perjanjian Westphalia tahun 1648 tentang negara bangsa dibentuk. Tokoh realis klasik seperti Hobbes, Machiavelli, Rousseau hingga E.H. Carr dan Hans Morgenthau percaya bahwa implikasi dari kedaulatan negara adalah negara saling memperjuangkan kepentingan nasionalnya dan hubungan antar negara merupakan bentuk struggle for power. Selain realis klasik terdapat juga paradigma neo-realis sebagai sebuah pemikiran realis kontemporer (Baylis & Smith, 2005:302), dimana asumsi-asumsi yang mereka kemukakan antara lain:

  1. Sistem internasional bersifat anarki, yaitu tidak adaya otoritas terpusat yang mampu mengendalikan perilaku negara-negara di dunia, dan bahwa dunia adalah ajang pertarungan.
  2. Negara mempertahankan kedaulatannya dengan jalan mengembangkan kapabilitas militer untuk pertahanan dirinya dan memperbesar power-nya.
  3. Hubungan antar negara berada pada posisi siap siaga dikarenakan rendahnya tingkat kepercayaan mereka terhadap negara lain. Saling kecurigaan yang manandai hubungan ini menyebabkan negara-negara hanya memiliki satu pilihan strategis, yakni memperkuat diri dengan senjata (kekuatan militer).
  4. Negara menjadi satu-satunya institusi yang bertanggung jawab atas keamanan nasional. Kecenderungan ini disebabkan oleh sejarah pembentukan negara-bangsa, penempatan kewilayahan (territory) sebagai pijakan kedaulatan, dan militer sebagai kekuatan utama.

Permasalahan penting yang kemudian muncul dari paradigma realis tentang keamanan nasional lebih banyak bukan disebabkan oleh orientasi mereka pada ancaman militer yang berasal dari luar, melainkan lebih pada kedudukan sentral negara dalam seluruh pewacanaan masalah keamanan nasional dan penggunaan kekuatan bersenjata sebagai instrumen paling penting untuk menjawab masalah keamanan nasional. Berbagai perang besar yang terjadi diantara negara-negara seperti Perang Dunia I (1914-1918), Perang Dunia II (1939-1945), invasi militer dari satu negara terhadap negara lain, dan berlangsungnya Perang Dingin (1945-1990) sebagai puncak eskalasi perlombaan senjata nuklir. Berbagai kejadian ini merupakan sebuah pembuktian yang nyata bagaimana negara-negara di dunia percaya bahwa peningkatan kekuatan pertahanan militer menjadi satu-satunya cara paling efektif untuk melindungi keamanan nasional. Namun perhatian terhadap keamanan nasional berdasar paradigma realis ternyata mengalami pergeseran terutama ditandai dengan berakhirnya Perang Dingin, dimana pada masa setelah Perang Dingin negara-negara di dunia tidak banyak lagi menggunakan kapabilitas militernya sebagai kekuatan utama penjaga keamanan nasionalnya. Ancaman yang datang lebih banyak bukan berasal dari aktor negara lewat agresi militernya. Maka kemudian keamanan nasional yang dianut kaum realis ini sering disebut sebagai “konsep keamanan nasional tradisional”. Alternatif bagi konsep keamanan tradisional pasca Perang Dingin salah satunya banyak dikemukanan oleh kaum pluralis.

Paradigma pluralis (termasuk di dalamnya liberalis dan konstruktivis) muncul sebagai reaksi terhadap dominasi paradigma realis. Pluralis meyakini bahwa negara bukan sebagai satu-satunya aktor dalam hubungan negara, bahwa aktor non-negara juga berperan sentral dalam pergaulan internasional yang secara otomatis membawa implikasi pada konsep keamanan nasional. Bagi paradigma ini, negara seharusnya tidak menjadi pusat analisis dari keamanan nasional, hal ini dikarenakan mereka bukan hanya sebagai aktor penjaga keamanan nasional tetapi juga menjadi bagian dari penyebab ketidakamanan nasional dan ketidakamanan dalam sistem internasional.

Berdasar pada pandangan itulah maka perhatian tentang keamanan nasional harus difokuskan pada individu ketimbang pada negara saja. Menurut Booth dan Wyn Jones, keamanan nasional paling tepat dikaji melalui konsep emansipasi manusia (human emancipations), yaitu kebebasan manusia sebagai individu, kelompok dari ancaman sosial, fisik, ekonomi, politik dan halangan-halangan lain terhadap hak-hak mereka (Baylis & Smith, 2005:313). Konsep keamanan kontemporer juga terkait dengan arus globalisasi yang tidak lagi memandang batas-batas negara sebagai halangan bagi masuknya berbagai ancaman terhadap keamanan nasional. Implikasi dari globalisasi adalah perhatian yang cukup besar pada isu-isu ketidakpersamaan global (global inequality), kemiskinan, permasalahan lingkungan, hak asasi manusia, hak-hak kaum minoritas, demokrasi, serta keamanan individu dan sosial. Menurut Ian Clark apa yang dibawa oleh globalisasi dalam memandang keamanan adalah perhatian terhadap pembangunan sistemik yang menyebar tanpa memerlukan peran negara, sehingga konsep keamanan perlu direkonseptualisasikan pada lingkup individu dan sosial sebagai alternatif dari negara, sementara negara tetap diperlukan guna menjaga identitas sosial dan hak-hak asasi manusia yang hidup didalamnya (Clark, 1999:125).

Pendapat lain mengenai keamanan kontemporer menurut Buzan (1991: 19-20) dapat dibagi menjadi lima dimensi, yaitu:
a. Militer. Munculnya kapabilitas militer dari suatu negara baik konvensional maupun non-konvensional, dalam strategi meyerang atau bertahan, persepsi ancaman militer dari negara terhadap negara lain.
b. Politik. Perhatian terhadap permasalahan stabilitas insitusi-institusi negara, proses politik, sistem pemerintahan, dan ideologi sebagai legitimasi aktivitas mereka.
c. Ekonomi. Masalah akses terhadap sumber daya-sumber daya, finansial, dan pasar guna mempertahankan kemakmuran dan kekuatan negara.
d. Sosial. Perhatian terhadap keberlanjutan dan penerimaan masyarakat sosial terhadap perubahan-perubahan sosial, termasuk pola-pola bahasa, budaya, kebiasaan, dan identitas nasional, dimana perubahan ini akan berdampak pada perilaku negara tersebut terutama dalam dunia internasional.
e. Lingkungan. Memperhatikan masalah pemeliharaan lingkungan hidup sebagai sebuah sistem dimana manusia sangat tergantung kepadanya.
Seiring dengan konsep baru tentang keamanan maka bergeser pula pandangan tentang ancaman terhadap keamanan, terutama keamanan nasional. Ancaman utama terhadap keamanan bukan lagi apa yang dipercaya oleh kaum realis datang dari kekuatan militer dari negara-negara, tetapi ancaman yang sifatnya non-militer maupun militer yang berasal dari aktor non negara. Seperti yang dinyatakan oleh Buzan (1991: 5) Threats and vulneralibilities can arise in many different area, military and non-military, but to count as security issue, they have to meet strictly defined criteria that distinguish them from the normal run of the merely political. They have to be staged as existential threats to a referent object by securitizing actor who thereby generate endorsement of emergency measures beyond rules that whould otherwise bind.
Buzan (1991: 116-133) kemudian membuat lima kategori ancaman berdasarkan sektornya terhadap keamanan nasional, yaitu:
a. Ancaman militer. Secara tradisional ancaman militer merupakan prioritas tertinggi yang menjadi perhatian dari keamanan nasional, hal ini dikarenakan ancaman militer dengan menggunakan kekuatan bersenjata yang dapat memusnahkan apa yang telah di capai oleh manusia. Ancaman militer juga tidak hanya bersifat langsung, tetapi juga dapat tidak langsung ditujukan kepada negara itu, tetapi lebih kepada kepentingan-kepentingan eksternal yang ditujukan kepada negara itu.
b. Ancaman politik. Ancaman ini ditujukan kepada stabilitas kinerja institusi negara. Tujuan mereka cukup luas, dari mulai menekan pemerintah lewat kebijakan-kebijakan tertentu, penggulingan pemerintahan, menggerakan kekacauan. Target dari ancaman politik ini adalah nilai-nilai negara, terutama identitas nasional, idiologi, dan beberpa institusi yang berurusan dengan ini. Ancaman politik juga dapat bersifat struktural, yang secara spesifik muncul ketika terjadi bentrokan antara dua kelompok besar dalam negara dengan pemikiran yang berbeda.
c. Ancaman sosietal. Ancaman sosial terhadap keamanan nasional biasanya datang dari dalam negeri. Keamanan sosial ialah mengenai ancaman terhadap keberlanjutan dari perubahan nilai, budaya, kebiasaan, identitas etnik. Masih menurut Buzan, ancaman sosietal dapat dibagi menjadi beberapa bentuk, yang secara mendasar yaitu: ancaman fisik (kematian, kesakitan), ancaman ekonomi (pengrusakan hak milik, terbatasnya akses lapangan kerja), ancaman terhadap hak-hak (pembatasan hak-hak kebebasan sipil), dan ancaman terhadap posisi atau status (penurunan pangkat, penghinaan di depan publik).
d. Ancaman ekonomi. Masalah utama dari ide tentang keamanan ekonomi adalah berlangsungnya kondisi normal dari aktor-aktor pelaku pasar tanpa gangguan persaingan tidak sehat dan ketidakpastian. Ancaman ekonomi juga mengkaji masalah pengangguran, kemiskinan, keterbatasan terhadap sumber daya, dan daya beli rakyat.
e. Ancaman ekologi. Merupakan ancaman dari bencana alam seperti banjir, longsor, hujan badai, gempa bumi. Namun yang menjadi isu sentral keamanan ekologi adalah masalah aktivitas manusia yang merusak lingkungan seperti pemanasan global, efek rumah kaca, banjir, eksplorasi sumber daya alam secara besar-besaran dan terus menerus.
Kerangka anilisis ini memperlihatkan pergantian yang cukup berarti dari pemikiran tradisionalis tentang konsep keamanan yang sempit, terutama ketika keamanan membawa isu-isu non-militer sebagai fokus kajiannya. Banyaknya dimensi keamanan nasional membawa konseptualisasi tentang keamanan komprehensif (comprehensive security). Pandangan yang berpijak dari anggapan bahwa keamanan nasional sebagai sesuatu yang bersifat komprehensif percaya bahwa keamanan nasional terdiri dari bukan hanya ancaman yang berdimensi militer, tetapi juga yang berdimensi non-militer. Selain itu, lingkup keamanan juga bukan hanya terbatas pada substansi kewilayahan (territorial security) tetapi juga menjadi isu spesifik, seperti:
a. Keselamatan masyarakat (public safety).
b. Perlindungan masyarakat (community protection).
c. Ketertiban umum, penegakan hukum dan ketertiban masyarakat (law enforcement and good order).
d. Pertahanan nasional (national defence).
Dengan demikian maka fungsi national security cakupannya amat luas dan beragam. Pengertian national security yang sangat luas ini kadang-kadang sering diartikan sempit dan menjadi rancu ketika keamanan dan ketertiban masyarakat diberi label keamanan saja. Pengertian keamanan seharusnya tidak berdiri sendiri, karena mempunyai pengertian yang berbeda dan spesifik bila mempunyai atribut tertentu. Atribut itulah yang membedakan konteks dan bobot dari makna keamanan itu sendiri. Beberapa contoh kongkrit misalnya keamanan global (global security), keamanan regional (regional security), keamanan dalam negeri (internal security), keamanan dan ketertiban masyarakat (public security ang good order), dan keamanan manusia (human security).
Pemahaman keamanan nasional yang komprehensif pada umumnya disertai dengan tututan untuk mengedepankan keamanan manusia (human security). isu-isu militer dan non militer tidak hanya mengacam keutuhan negara tetapi juga mengacam individu-individu yang berdiam di sebuah negara. Ancaman keamanan yang tertuju langsung terhadap individu diartikan melalui konsep human security, dengan alasan bahwa objek dari keamanan seharusnya bukan hanya negara dan kelompok-kelompok di bawah naungan negara, tetapi juga orang-orang secara individu dimana mereka sebagai aktor yang membentuk istitusi kenegaraan itu (Hough, 2004:9).
Pada tahun 1990, PBB telah membangun dan mengembangkan konsep tentang keamanan manusia, yang menurut UNDP[1],yaitu The concept of security must change—from an exclusive stress on natioal security to a much greater stress on people’s security, from security through armaments to security through human development, from territorial to food, employment and environmental security.
Sedangkan United Nations Development Program (UNDP) dalam Human Develpment Report (HDR) membuat tujuh dimensi keamanan, yaitu: [2]
a. Keamanan Ekonomi (economic security): dimana diperlukan pendapatan dasar dari pekerjaan produktif.
b. Keamanan Pangan (food security): setiap orang pada setiap kesempatan memiliki akses (baik kesehatan dan ekonomi) terhadap panganan dasar.
c. Keamanan Kesehatan (health security): setiap orang harus dijamin kesehatannya dan akses untuk menuju sehat.
d. Keamanan Lingkungan: kesehatan dan ketertiban serta keamanan lingkungan secara fisik.
e. Keamanan Individu: pengurangan ancaman individu dari tindakan kejahatan
f. Keamanan Komunitas: keamanan melalui keanggotaan dalam suatu kelompok.
g. Keamanan Politis: dijaminnya kehidupan dalam masyarakat yang menghargai hak asasi manusia.
Dalam mengartikan kalimat dari human security sangat penting sekali untuk mengetahui bahwa terdapat tiga pendekatan aliran pemikiran terhadap konsep human security (Jackson & Sorensen, 1999:209). Pendekatan pertama dapat disebut sebagai pendekatan yang berdasarkan hak-hak yang menjadi fokus utama dari human security. Pendekatan yang berdasarkan hak-hak pada human security melihat untuk menguatkan kerangka normatif yang sah pada level internasional dan regional juga menguatkan hukum atas hak asasi manusia dan sistem peradilan pada tingkat nasional.
Pendekatan kedua, menitikberatkan kepada konsep human security dalam kerangka kemanusiaan dimana keselamatan masyarakat (dapat juga diartikan sebagai bebas dari rasa takut) merupakan tujuan utama dibalik intervensi internasional. Konsepsi ini melihat teroris sebagai salah satu ancaman yang utama terhadap human security. Pendekatan ini juga melihat human security diperlukannya tindakan darurat dalam menangani korban jiwa yang banyak dalam konflik yang melibatkan kemanusiaan.
Pendekatan ketiga dapat diartikan sebagai pembangunan manusia yang berkelanjutan dilihat dari sudut pandang human security. Konsep ini berkaitan erat dengan apa yang didefinisikan oleh UNDP dalam Human Development Report pada tahun 1994 mengenai pendefinisian human security. Pendekatan ketiga berkaitan dengan pendekatan liberalisme dalam hubungan internasional terutama liberalisme institusional. Dimana, institusi internasional membantu dalam mendorong kerja sama antara negara dan membantu menghilangkan rasa saling tidak percaya antara negara dan ketakutan negara-negara merupakan masalah klasik yang diasosiasikan dalam suatu sistem internasional yang anarki.
Walaupun terdapat tiga konsep yang berbeda-beda terhadap human security, sejauh ini ketiganya memiliki kesamaan terhadap fokus utama perhatian mereka terhadap individu dari pada negara. Sehingga secara garis besar terdapat beberapa kriteria mengenai apa yang dimaksud human security, yaitu:
a. Peduli akan keselamatan dan perluasan kebebasan masyarakat.
b. Berfokus banyak terhadap permasalahan perlindungan masyarakat dari bahaya ancaman.
c. Menitikberatkan kepada individu dan komunitas, bukan negara.
d. Dibangun dalam kerangka global dalam konsep mengenai hak asasi manusia (HAM).
e. Peduli terhadap hubungan antara pelanggaran HAM dalam lingkup nasional dan ketidakamanan nasional serta internasional.
Dari berbagai dimensi keamanan nasional tersebut maka pada dasarnya konsep keamanan nasional bersifat umum dan menyeluruh melingkupi berbagai aspek kehidupan bukan sekedar aspek pertahanan dan militer. Kekuatan nasional bertumpu kepada kekuatan militer dan non militer dalam mengahadapi ancaman militer (ancaman militer yaitu invasi militer asing) dan non militer (kejahatan transnasional yang terorganisir seperti terorismepencurian kekayaan alam, imigran gelap, narkoba, perusakan lingkungan hidup). Menurut Kusnanto Anggoro, kategori keamanan tradisonal dapat dimasukkan dalam bentuk baru seperti spill-over perlombaan senjata, keamanan tekhnologi (technology security), keamanan sumber daya, dan akses pasar. Selain itu, Anggoro (2005:27) juga menyebut terminologi ancaman non-konvensional atau ancaman keamanan non-tradisional, antara lain keamanan lingkungan (environment security), keamanan pangan (food security), keamanan energi (energy security), keamanan sumber daya (resource security), keamanan narkoba (norsecurity).
Selaras dengan uraian di atas, konseptualisasi keamanan nasional menurut Anggoro (2005:6) terdiri dari tiga aras, yaitu:
a. Proliferasi substansial, khususnya ketika keamanan nasional tidak cukup hanya bergumul dengan keamanan negara, tetapi juga harus memberikan ruang untuk keamanan warga negara.
b. Proliferasi sektoral dengan masuknya berbagai lingkup non-teritorial seperti keamanan lingkungan, keamanan ekonomi, dan keamanan energi.
c. Proliferasi vertikal dengan masuknya dimensi-dimensi non-militer sebagai sesuatu yang dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional, dalam arti sempit yaitu sebagai keamanan kedaulatan pemerintah maupun dalam arti luas yang mengedepankan keamanan manusia.
Tidak berbeda jauh dengan Anggoro, dimensi keamanan kontemporer oleh Benjamin Miller dicirikan sebagai berikut:
a. The origin of threats. Ancaman aksternal digeser oleh ancaman domestik yang terfokus pada isu-isu primordial, langkanya akses terhadap sumber daya ekonomi domesik, terbatasnya kemampuan pemenuhan kebutuhan dasar pangan.
b. The nature of threats. Sumber ancaman tidak lagi hanya bersifat tradisional militer tetapi lebih banyak kepada ancaman kontemporer yaitu ekonomi, sosial-budaya, lingkungan hidup, isu-isu kesehatan masyarakat.
c. Changing response. Pendekatan keamanan militeristik digeser ke pendekatan non-militer (ekonomi, politik, hukum, dan sosial-budaya).
d. Changing responsibility of security. Tanggung jawab terhadap keamanan tradisional merupakan tugas negara, namun dalam ancaman terhadap keamanan manusia sebagai keamanan kontemprorer, dikendalikan oleh kerja sama transnasional antara aktor negara dan non-negara.
e. Core values of security. Keamanan tradisional membawa nilai-nilai kemerdekaan nasional, kedaulatan, dan integritas teritorial yang kesemuanya mengandalkan aspek militer untuk menjaganya. Sedangkan nilai-nilai pada keamanan kontemporer diantaranya adalah Hak Asasi Manusia, demokratisasi, kesehatan, lingkungan hidup, dan memerangi kejahatan transnasional (perdagangan narkotika, pencucian uang, terorisme, dan perdagangan manusia).
Indonesia memiliki banyak alasan untuk menuntun keamanan manusia menjadi jaminan terhadap setiap manusia yang hidup di tanah Indonesia. Persoalan-persoalan di wilayah perbatasan seperti kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, perusakan lingkungan, kekerasan domestik, ancaman kematian, teror, konflik bersenjata merupakan sebuah ancaman yang tertuju pada keamanan nasional Indonesia. Oleh karena ancaman yang timbul pada masa kini begitu kompleks dan berasal dari berbagai aspek kehidupan, maka dapat dikatakan bahwa pada prinsipinya keamanan nasional di Indonesia terdiri dari keamanan internal (keamanan dalam negeri) dan keamanan eksternal, dimana pertahanan negara dapat berada baik dalam keamanan internal maupun keamanan eksternal. Keamanan internal terdiri atas ketertiban umum, keamanan dan ketertiban masyarakat, perlindungan masyarakat dan Keselamatan Rakyat. Sedangkan keamanan eksternal terdiri dari keamanan regional dan keamanan internasional.

Wilayah Perbatasan Ditinjau dari Keamanan Manusia (Human Security)
Paradigma pembangunan dewasa ini berorientasi pada peningkatan kualitas sumber daya manusia yang diukur melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM merupakan salah satu alat ukur yang terdiri dari indikator pendidikan, kesehatan, dan daya beli. Ketiganya mencerminkan kualitas sumber daya manusia yang selanjutnya berperan sebagai penjamin bagi kontinuitas pembangunan. Dalam kerangka ini, IPM memiliki potensi sebagai alat analisa situasi dan kebijakan pembangunan. Karenanya dalam konteks pelaksanaan pembangunan, pemanfaatan IPM dapat digunakan sebagai salah-satu alat atau referensi yang menduduki posisi penting dalam manajemen pembangunan baik dalam hal perencanaan, pemantauan ataupun evaluasi. Dalam kaitannya dengan human security, IPM memiliki keterkaitan erat karena ketiga indikator komposit IPM sejalan dengan komponen-komponen human security.

Human security menjadi faktor penting dalam pembangunan kawasan perbatasan. Upaya perlindungan terhadap human security membuka peluang bagi kawasan perbatasan untuk mempercepat proses pembangunan, dan karena keterkaitan yang erat dengan pembangunan ekonomi dan sosial, human security juga menjadi investasi yang penting bagi pembangunan wilayah perbatasan. Dengan demikian, tantangan bagi pemerintah (pusat dan daerah) serta berbagai stakeholders lain di wilayah perbatasan adalah bagaimana mengintegrasikan human security sebagai inti dari proses perencanaan dan implementasi pembangunan wilayah perbatasan yang berbasis pada pembangunan manusia.

Jika dalam pembangunan wilayah perbatasan tidak memperhatikan keamanan manusia, yang terjadi kemudian adalah rasa nasionalisme rakyat di wilayah perbatasan akan luntur dan hilang karena merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah juga akan berkurang sehingga dapat menimbulkan gangguan stabilitas keamanan yang pada akhirnya akan mengganggu rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Pendidikan dan kesejahteraan masyarakat juga harus menjadi focus pemerintah dalam membangun wilayah perbatasan.

Dengan kata lain, pembangunan wilayah perbatasan tidak hanya difokuskan bagaimana daerah tersebut aman dari gangguan separatism, wilayah kedaulatan negara tidak digerus oleh Negara tetangga, terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tetapi juga harus difokuskan pada kesejahteraan masyarakat terkait dengan keadaan sosial budayanya. UNDP dalam Millenium Development Goals (2000) mengemukakan dua perspektif dalam mengkaji hubungan antara pembangunan manusia dengan keamanan manusia sebagai berikut:
a. Konsep keamanan tidak hanya difokuskan pada negara dan aspek teritorial, tapi juga pada individu-individu yang mestinya menjadi pusat perhatian. Orang harus merasa aman dalam segala aspek kehidupannya, ketika mereka berada di rumah, rasa aman terhadap pekerjaannya, ketika berada di jalan, ketika berada di tengah-tengah komunitas dan lingkungannya. Dalam perspektif ini, ada 7 (tujuh) kategori yang dapat menghilangkan rasa aman manusia, yakni:
1) Pertumbuhan penduduk yang tidak terkontrol;
2) Polusi dan kerusakan alam;
3) Perdagangan obat-obatan terlarang;
4) Terorisme internasional;
5) Instabilitas finansial;
6) Instabilitas perdagangan; serta
7) Kesenjangan global.
Dalam perspektif ini, pembangunan manusia diarahkan untuk meminimalkan ketujuh kategori tersebut melalui perencanaan pembangunan. Oleh karena itu, perencanaan pembangunan harus mencerminkan setidak-tidaknya 9 dimensi keamanan manusia yang berkaitan dengan pembangunan manusia yang berkelanjutan. Kesembilan dimensi tersebut meliputi:
1) Keamanan ekonomi;
2) Keamanan finansial;
3) Keamanan pangan;
4) Keamanan dalam hal kesehatan;
5) Keamanan dalam hal lingkungan hidup;
6) Keamanan personal;
7) Keamanan gender;
8) Keamanan komunitas; serta
9) Keamanan politik.
Dalam perspektif ini, konsep human security mencakup dimensi yang luas, mulai dari keamanan dari ancaman penyakit menular, rawan pangan, kekurangan gizi, ancaman kehidupan sehari-hari (jaminan pekerjaan, akses pendidikan, dll) sampai keamanan dari tindak kejahatan dan terorisme.
b. Perspektif kedua disebut dengan humanizing security (memanusiawikan keamanan). Dalam perspektif ini, upaya mewujudkan keamanan manusia dilakukan secara struktural melalui penegakan hukum serta upaya perlindungan terhadap individu dan komunitas dari perilaku kekerasan, baik yang dilakukan negara maupun pihak lain, misalnya teroris. Perspektif ini lebih sempit dibandingkan yang pertama karena lebih memfokuskan integrasi pembangunan manusia dengan keamanan manusia sebagai upaya melindungi individu-individu dari perilaku kekerasan.

Kesimpulan
Wilayah perbatasan darat di Indonesia umumnya merupakan kawasan yang jauh dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan pemerintahan. Ketimpangan pembangunan ekonomi dan sosial merupakan ciri yang menonjol dari kawasan-kawasan di wilayah ini yang ditandai dengan keterbatasan berbagai sarana dan prasarana dasar yang diperlukan bagi upaya pengembangan wilayah.

Pada beberapa wilayah, kawasan-kawasan di wilayah perbatasan Indonesia berdampingan dengan kawasan-kawasan di wilayah perbatasan negara tetangga seperti Malaysia (Sabah dan Sarawak) yang secara ekonomi jauh lebih maju. Perbedaan kondisi sosial ekonomi di wilayah perbatasan antar negara seperti itu, dapat menimbulkan sejumlah efek negatif yang cenderung merugikan wilayah perbatasan di Indonesia. Efek negatif tersebut misalnya adalah “perambahan” yang dilakukan oleh negara tetangga (backwash effect) (Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, 2003: 261) yang dapat terjadi secara disengaja atau tidak disengaja. Misalnya adalah “pemanfaatan” sumberdaya alam oleh pihak-pihak dari negara tetangga tanpa adanya kompensasi dan kewajiban-kewajiban yang memadai yang dapat mengakibatkan kerusakan sumber daya alam dan lingkungan maupun gangguan terhadap kehidupan sosial penduduk di wilayah perbatasan Indonesia.

Efek negatif lain pemanfaatan sumberdaya alam oleh pihak-pihak tertentu dari negara tetangga adalah adanya peningkatan kegiatan ekonomi di negara tersebut yang pada gilirannya dapat menimbulkan efek negatif yang disebut polarization effect; dalam hal ini sumberdaya alam dan sumberdaya manusia suatu negara ditarik/tertarik ke negara tetangga untuk membangun pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah negara tetangga tersebut yang berakibat terjadinya pengosongan kegiatan ekonomi di wilayah-wilayah perbatasan negara yang tertarik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya.

Ketimpangan sosial ekonomi yang terjadi di wilayah-wilayah perbatasan Indonesia dapat menyebabkan munculnya berbagai persoalan yang pada batas tertentu dapat mengakibatkan gangguan stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Fenomena ini dapat terjadi karena wilayah-wilayah di perbatasan kurang tersentuh oleh aktivitas ekonomi negara dan lemahnya kontrol negara atas wilayah-wilayah perbatasan tersebut. Mekanisme pasar yang bekerja di wilayah ini pada akhirnya memberi kesempatan kepada pihak-pihak tertentu dari negara tetangga untuk memperluas aktivitas ekonominya mencakup wilayah-wilayah perbatasan di Indonesia.

Selain ketimpangan sosial ekonomi, wilayah-wilayah perbatasan Indonesia, misalnya yang berada di Kalbar, Kaltim, NTT dan Papua, juga ditandai dengan karakteristik sosial budaya masyarakat yang memiliki ikatan kekerabatan dengan kelompok masyarakat lain negara tetangga. Dalam batas tertentu karakteristik seperti ini dapat menjadi kendala bagi pengelolaan dan pembangunan kawasan di wilayah-wilayah perbatasan.

Menyikapi berbagai persoalan di wilayah-wilayah perbatasan, berdasarkan hasil studi di keempat propinsi (Kalbar, Kaltim, NTT, dan Papua), perlu dirumuskan model pembangunan wilayah perbatasan yang mengacu pada pendekatan kesejahteraan dan pendekatan keamanan. Perpaduan kedua pendekatan ini terutama terletak pada arah kebijakan, strategi dan rencana program implementasi pembangunan wilayah perbatasan. Kesejahteraan tidak dapat tercapai tanpa adanya dukungan keamanan yang dalam hal ini tidak hanya terfokus pada keamanan negara, namun juga keamanan manusia dalam satu kesatuan yang utuh sebagai keamanan nasional. Sebalikyna, keamanan di semua aspek tidak dapat tercapai tanpa adanya kesejahteraan di bidang sosial ekonomi.

Menyikapi berbagai persoalan di wilayah-wilayah perbatasan, harus dirumuskan model pembangunan wilayah perbatasan yang dapat mengubah berbagai efek negatif menjadi efek positif bagi daerah-daerah yang berada di wilayah perbatasan di Indonesia. Dalam konsep ekonomi, dikenal konsep spread effects, yaitu pemanfaatan sumber daya wilayah perbatasan tidak hanya menumbuhkan pusat-pusat pertumbuhan baru bagi negara tetangga, tetapi juga menciptakan aktivitas ekonomi dan pembangunan daerah yang nyata di wilayah perbatasan Indonesia. Kompensasi lainnya dari pemanfaatan wilayah perbatasan oleh negara tetangga adalah dalam bentuk keuntungan langsung kepada masyarakat. Dalam hal ini, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh negara tetangga seharusnya mempunyai dampak ekonomis yang langsung dan nyata kepada masyarakat perbatasan. Dampak inilah yang disebut dengan trickle down effect, di mana terjadi penyebaran kesejahteraan kepada masyarakat perbatasan.

Kedua dampak inilah yang menjadi orientasi utama dalam model-model pembangunan wilayah perbatasan yang dikembangkan oleh berbagai studi terdahulu. Namun, model-model terdahulu belum secara mendalam membahas mengenai peran keamanan dalam menunjang pendekatan kesejahteraan tersebut.

[1] United Nations Development Programme. http//www.undp.org/., diakses pada [07/07/07]
[2]“New Dimension of Human Development” (UNDP Report, 1994) melalui [http://www.undp.org/hdro/ 94.htm] diakses pada., [07/07/07].

Wednesday, September 26, 2007

Komentar terhadap RUU Partai Politik Ide Asas Tunggal Dinilai Sebagai Sebuah Kemunduran


Sumber: HU. Kompas Edisi Selasa, 25 September 2007

Jakarta, Kompas -
Munculnya kembali pemikiran tentang asas tunggal Pancasila dalam pembahasan RUU Partai Politik dinilai sebagai kemunduran, apalagi Pancasila memang dianggap belum memadai untuk mengatur kehidupan bangsa ini karena tidak operasional. Pada tataran operasional inilah, sebenarnya seluruh anak bangsa bisa mengajukan proposal pemikiran dan memperdebatkan cara yang paling pas untuk kemajuan bangsa.


Pemikiran ini terungkap dalam diskusi bulanan Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan di Jakarta, Senin (24/9). Forum diskusi bertema "Kembali ke Asas Tunggal untuk Apa ini?" menghadirkan Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Idrus Marham, anggota Panitia Khusus RUU Parpol PDI-P Idham, Wakil Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Lukman Hakiem, dan Juru Bicara Hizbuth Tahrir Indonesia Ismail Yusanto sebagai pembicara. "Kita menyaksikan, antara falsafah negara dan pembuatan UU, tidak sinkron. Tampaknya, ada sistem operasional lain yang mengilhami pembuatan UU, yaitu kapitalisme. Jadi, ada keterputusan logika," ujarIsmail.


Menurut dia, kekacauan bangsa ini tidak cukup diselesaikan dengan menerapkan asas tunggal. Pemikiran seperti ini jelas ahistoris dan tidak rasional. "Karena bangsa ini perlu aturan yang lebih operasional dan konkret. Hizbuth Tahrir menawarkan Syariah Islam sebagai solusinya," ujarnya.

Idham menyatakan, PDI-P juga tidak setuju dengan asas tunggal yang pada masa Orde Baru telah membelenggu kebebasan dalam berbangsa. Menurut dia, PDI-P sebenarnya tidak pernah risau tentang asas yang akan dipakai partai politik. "PDI-P ingin mendudukkan persoalan asas ini dalam tataran nasional yang bisa diformulasikan secara tegas dalam kehidupan berbangsa," ujarnya.


Idrus sepakat perlunya interpretasi Pancasila agar nilai mendasarnya bisa operasional. Antar anak bangsa bisa berdebat secara konseptual untuk mencari jalan agar Pancasila operasional. Idrus mengakui, pada masa lalu Pancasila dipakai sebagai ruang yang membatasi ideologi lain. Itu sebabnya pada masa depan, interpretasi Pancasila sebagai asas bersama harus bisa menjadi kesadaran bersama agar dalam melihat suatu masalah bisa obyektif dan rasional. Kholil Ridwan, seorang peserta diskusi, mengingatkan, orang Islam yang jadi wakil di DPR seharusnya bisa selalu hadir dalam perjuanganIslam.****

Komentar Singkat:
Penerapan azas tunggal Pancasila bagi partai politik (parpol) oleh sebagaian kalangan memang dianggap sebagai sebuah kemunduran demokrasi. Demokrasi secara nyata menghargai prularitas, sehingga parpol dimungkinkan untuk memiliki azas selain Pancasila. Akan tetapi, asumsi yang mengatakan bahwa Pancasila tidak operasional dan konkret juga bukan alasan yang kuat untuk menolak Pancasila. Pancasila tidak operasional dan konkret karena manusia pelaksanannya yang "menciptakan" demikian dan bukan Pancasilanya sendiri. Apalagi jika ditambah dengan keinginan untuk menerapkan Syariat Islam di Indonesia. Syariat Islam memang tidak selalu berkorelasi dengan pembentukan negara Islam, akan tetapi Indonesia bukan hanya milik orang Islam. Intinya, Syariat Islam tidak perlu diterapkan di Indonesia. BU***

Monday, September 24, 2007

Perkembangan Demokrasi, Civil Society dan Kecenderungan Oligarki Partai Politik


Latar Belakang
Demokrasi merupakan sarana guna terciptanya partisipasi politik masyarakat secara luas dengan instrumen pokoknya adalah partai politik (parpol). Partisipasi merupakan persoalan relasi kekuasaan atau relasi ekonomi-politik antara negara (state) dan masyarakat (society). Negara adalah pusat kekuasaan, kewenangan dan kebijakan untuk mengatur (mengelola) alokasi barang-barang (sumberdaya) publik pada masyarakat. Di dalam masyarakat sendiri terdapat hak sipil dan politik, kekuatan massa, kebutuhan hidup, dan lain-lain. Dengan demikian, partisipasi adalah jembatan penghubung antara negara dan masyarakat agar pengelolaan barang-barang publik membuahkan kesejahteraan dan human well being.

Dari sudut pandang negara, demokrasi mengajarkan bahwa partisipasi sangat dibutuhkan untuk membangun pemerintahan yang bertanggungjawab (accountability), transparan (transparency), dan responsif (responsibility) terhadap kebutuhan masyarakat. Tiadanya partisipasi masyarakat akan membuahkan pemerintahan yang otoriter dan korup. Dari sisi masyarakat, partisipasi adalah kunci pemberdayaan (empowerment). Partisipasi memberikan ruang dan kapasitas bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan hak-haknya, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, mengaktifkan peran masyarakat serta membangun kemandirian masyarakat.

Demokrasi terkait erat dengan kompetisi, partisipasi dan kebebasan rakyat (civil liberty). Kompetisi dalam demokrasi terkait dengan adanya pemilihan umum (pemilu). Bahkan, bagi teoritisi minimalis penganut Schumpeterian (Schumpeter, 1947),[1] pemilu merupakan satu-satunya prasyarat demokrasi. Sejak kejatuhan Soeharto dengan orde barunya pada 1998, Indonesia hingga kini tengah mengarungi sebuah era transisi dari rezim otoriter menuju sebuah tatanan yang demokratis. Pengalaman sejarah selama pasca reformasi digulirkan menunjukkan adanya kecenderungan kekuatan elemen-elemen lama akan mengembalikan perkembangan politik nasional kepada tatanan politik otoriter atau setidaknya menghambat laju transisi menuju demokrasi. Gejala ini sangat transparan dengan munculnya berbagai konflik antar elite baik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau di internal parpol yang seolah-olah tak berunjung.

Banyaknya parpol yang mengikuti pemilu, baik pada tahun 1999 dan 2004[2] menunjukkan tidak puasnya publik dengan parpol-parpol mapan (established) yang ada. Mereka melakukan semacam gerakan resistensi dengan ramai-ramai membentuk parpol baru, meskipun mereka tahu syarat untuk bisa menjadi peserta pemilu sangat ketat. Publik juga kecewa dengan komposisi anggota DPR, baik hasil pemilu tahun 1999 atau 2004 yang dinilainya belum mampu menangkap aspirasi masyarakat sipil (civil society), dan sekedar cenderung memperkuat oligarki politik, dengan memperkokoh eksistensi elite-elite parpol besar yang telah mapan semata.

Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Guillermo O’Donnell dan kawan-kawan pernah melakukan serangkaian studi mengenai fenomena transisi demokrasi yang terjadi di Amerika Latin dan Eropa Selatan --yang menghasilkan karya mereka Transitions from Authoritarian Rule (1986)-- secara sederhana menjelaskan “transisi” sebagai “interval waktu antara satu rezim politik dan rezim politik yang lain”.[3] Secara lebih jelas Juan J. Linz dan Alfred Stepan merumuskan bahwa suatu transisi demokrasi berhasil dilakukan suatu negara jika (a) tercapai kesepakatan mengenai prosedur-prosedur politik untuk menghasilkan pemerintahan yang dipilih; (b) jika suatu pemerintah memegang kekuasaannya atas dasar hasil pemilu yang bebas; (c) jika pemerintah hasil pemilu tersebut secara de facto memiliki otoritas untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan baru; dan (d) kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang dihasilkan melalui demokrasi yang baru itu secara de jure tidak berbagi kekuasaan dengan lembaga-lembaga lain.[4]

Menurut pandangan O’Donnell dan Schmitter, proses transisi demokrasi mencakup tahap liberalisasi politik dan tahap demokratisasi, yang bisa berlangsung secara gradual –liberalisasi lebih dahulu kemudian berlanjut kepada demokrati­sasi- atau secara bersama-sama dan sekaligus, atau bisa juga suatu transisi tanpa tahap demokratisasi sama sekali. Menurut kedua ahli tersebut, liberalisasi politik hanya mencakup perluasan serta perlindungan bagi hak-hak dan kebebasan individu maupun kelompok dari kesewenangan negara atau pihak lain, tanpa perubahan struktur pemerintahan dan akuntabilitas penguasa terha­dap rakyatnya. Dengan begitu, maka demokratisasi harus mencakup perubahan struktur pemerintahan (yang otoriter) dan adanya per­tanggungjawaban penguasa kepada rakyat (yang sebelumnya tidak ada). O’Donnell dan Schmitter menyebut transisi yang bermuara pada liberalisasi ini sebagai liberalized authoritarianism.[5]

Sementara itu dalam perspektif Larry Diamond,[6] konsolidasi demokrasi mencakup pencapaian tiga agenda besar, yakni (a) kinerja atau performance ekonomi dan politik dari rezim demokratis; (b) institusionalisasi politik (penguatan birokrasi, partai politik, parlemen, pemilu, akuntabilitas horizontal, dan penegakan hukum); dan (c) restrukturisasi hubungan sipil-militer yang menjamin adanya kontrol otoritas sipil atas militer di satu pihak dan terbentuknya civil society yang otonom di lain pihak. Apabila perspektif Diamond serta Linz dan Stepan dikaitkan dengan problematik demokratisasi di Indonesia pasca Orde Baru. maka tampak dengan jelas bahwa masih banyak persoalan krusial dalam upaya konsolidasi demokrasi.

Seperti diingatkan Diamond, keberhasilan penyelenggaraan pemilihan umum hanya sekadar prasyarat prosedural bagi suatu demokrasi yang terkonsolidasi. Kinerja politik dan ekonomi pemerintah baru hasil pemilu, misalnya, jelas masih perlu diperdebatkan mengingat arena bagi pemerintah untuk mewujudkan aspirasi publik sangat ditentukan oleh, pertama, dukungan partai-partai, baik di parlemen maupun di dalam pemerintahan sendiri; dan kedua, dukungan birokrasi negara, baik sipil maupun militer. Dilemanya, baik partai-partai politik di parlemen, maupun birokrasi negara yang diperlukan pemerintah baru untuk mendukung optimalisasi kinerjanya masih terperangkap pada perilaku dan budaya lama, yakni “dilayani” ketimbang “melayani” masyarakat.

Perspektif teoritis Diamond menggarisbawahi bahwa agenda institusionalisasi politik adalah salah satu faktor kunci bagi suatu demokrasi yang terkonsolidasi. Di dalamnya tidak hanya tercakup reformasi birokrasi dan penguatan institusi pemerintahan, melainkan juga penguatan partai-partai politik, parlemen, dan reformasi pemilu, selain penguatan akuntabilitas horizontal dan penegakan supremasi hukum.

Dalam konteks Indonesia pasca Orde Baru upaya reformasi institusional atau kelembagaan sebenarnya telah dimulai pada era pemerintahan BJ Habibie yang ditandai dengan perubahan UU Pemilu, UU Kepartaian, dan UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD (UU Susduk). Atas dasar perubahan itu maka pemilu bebas dan demokratis pertama pasca Orde Baru diselenggarakan pada Juni 1999. Pemilu di bawah sistem multipartai tersebut kemudian menghasilkan DPR, MPR dan pemerintah baru yang mengagendakan reformasi konstitusi melalui empat tahap perubahan (amandemen), yakni amandemen pertama (1999) dan kedua (2000) pada era Presiden Abdurrahman Wahid, serta amandemen ketiga (2001) dan amandemen keempat (2002) pada era Presiden Megawati Soekarnoputeri.

Tampak mulai disadari, kendati agak terlambat, bahwa konsensus prosedural dalam rangka efektifitas format politik baru tak mungkin dicapai tanpa reformasi konstitusi karena sistem demokrasi yang stabil hanya bisa tumbuh jika konsitusi yang memayunginya cukup memadai untuk itu. Para ahli yang mendalami masalah transisi demokrasi menggarisbawahi pentingnya reformasi konstitusi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses transisi menuju konsolidasi demokrasi.[7]

Amandemen atas UUD 1945 pada akhirnya memang berhasil dilakukan, namun sulit dibantah bahwa dalam realitasnya perubahan yang dilakukan oleh MPR atas konstitusi tersebut cenderung bersifat tambal sulam.[8] Paling kurang ada tiga kelemahan mendasar pada hasil amandemen yang dilakukan Badan Pekerja MPR atas UUD 1945 sehingga diperlukan suatu komisi konstitusi yang bersifat independen --dibentuklah Mahkamah Konstitusi--. Pertama, proses amandemen yang cenderung terjebak pada kepentingan jangka pendek dari elite partai-partai di parlemen. Kedua, kualitas dan substansi perubahan yang cenderung inkonsisten dan tambal-sulam satu sama lain. Dan ketiga, format legal drafting perubahan yang tidak sistematik dan tak terpola serta membingungkan sehingga menyulitkan pemahaman atasnya sebagai hukum dasar.[9]


Dalam konteks substansi hasil amandemen, di satu pihak hendak dibangun sistem pemerintahan presidensiil yang kuat, stabil, dan efektif, namun di sisi lain obsesi besar tersebut tidak didukung oleh struktur perwakilan bicameral yang kuat pula.[10] Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang semestinya merupakan salah satu “kamar” dari sistem perwakilan dua-kamar, bahkan tak jelas karena kekuasaan dan hak-haknya yang sangat terbatas. Tidak mengherankan jika para anggota DPD dewasa ini mempertanyakan relevansi keberadaan mereka dalam sistem yang berlaku.[11] Sebaliknya, para politisi di Panitia Ad-Hoc I MPR selaku penyusun konstitusi justru makin memperkuat posisi, kedudukan, kekuasaan, dan hak-hak DPR melebihi yang seharusnya dimiliki oleh DPR dalam konteks sistem presidensiil.

Selain itu, UUD 1945 hasil amandemen tidak melembagakan berlakunya mekanisme checks and balances di antara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan utama, yakni lembaga eksekutif-legislatif pada khususnya dan eksekutif-legislatif-yudikatif pada umumnya. Di satu pihak, suatu UU dapat tetap berlaku apabila dalam waktu 30 hari tidak disahkan oleh Presiden, namun di pihak lain Presiden tidak memiliki semacam hak veto untuk menolak UU yang telah disetujui DPR. Padahal tegaknya prinsip checks and balances bersifat mutlak karena menjadi salah satu fondasi utama bagi stabilitas dan efektifitas sistem pemerintahan presidensiil. Urgensi prinsip saling mengawasi secara seimbang itu diabaikan pula oleh konstitusi hasil amandemen dalam hal relasi DPR sebagai representasi perwakilan rakyat dan DPD sebagai representasi perwakilan wilayah.

Substansi hasil amandemen yang juga tidak koheren dan inkonsisten dengan kebutuhan pembentukan sistem presidensiil yang kuat dan efektif adalah kedudukan dan kelembagaan MPR, serta ketidakjelasan tata-hubungan lembaga yudikatif menyusul keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY) selain Mahkamah Agung (MA) yang telah ada sebelumnya. MPR yang semestinya merupakan sidang gabungan (joint session) antara DPR dan DPD justru menjadi lembaga permanen dengan kepemimpinan permanen pula.[12]

Reformasi kelembagaan yang cenderung tambal-sulam dan mengabaikan koherensi dan konsistensi juga tercermin dalam UU bidang politik –UU Partai Politik (No. 31/2002), UU Pemilu (No. 12/2003), UU Pemilu Presiden (No. 23/2003), dan UU Susduk (No. 22/2003)—dalam rangka Pemilu 2004. Secara teoritis, pilihan atas sistem pemilu seharusnya merupakan konsekuensi logis dari pilihan terhadap sistem perwakilan, sedangkan pilihan atas sistem kepartaian adalah konsekuensi logis dari pilihan terhadap sistem pemilu.[13] Namun dalam realitasnya kita mempertahankan sistem proporsional (proportional representation system) untuk pemilu legislatif, suatu pilihan politik sebenarnya tidak tepat karena sistem proporsional merupakan basis bagi terbentuknya sistem multipartai. Padahal, sistem presidensiil tak akan pernah bisa bekerja efektif apabila fragmentasi dan polarisasi partai terlalu tinggi seperti sistem multipartai yang berlaku dewasa ini.[14]

Selain problematik yang dikemukakan di atas, reformasi kelembagaan yang tambal-sulam juga tampak dari diabaikannya urgensi keberadaan UU Lembaga Kepresidenan. Di dalam suatu UU Lembaga Kepresidenan tak hanya bisa diatur wilayah politik yang menjadi kewenangan Wakil Presiden --karena terbatasnya pengaturan oleh konstitusi— melainkan juga format kabinet yang seharusnya berlaku untuk memperkuat dan mengefektifkan pemerintahan presidensiil. Disharmoni relasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla tak perlu terjadi seandainya ada pengaturan yang jelas mengenai apa saja sesungguhnya wilayah kewenangan Wapres dalam “membantu” Presiden.[15] Begitu pula, tarik-menarik kepentingan partai-partai politik dalam pembentukan kabinet atau dalam isu reshuffle kabinet tak perlu terjadi jika Presiden cukup percaya diri bahwa pemerintahannya bukanlah kabinet partai-partai atau koalisi partai seperti berlaku di dalam sistem parlementer. Di sisi lain, para politisi partai kita semestinya menyadari bahwa mandat dan legitimasi Presiden dalam suatu sistem presidensial tidak berasal dari parlemen ataupun partai-partai, melainkan dari rakyat secara langsung.

Pengalaman lebih dari sewindu reformasi memperlihatkan bahwa hampir selalu terdapat kesenjangan antara obsesi para wakil rakyat dengan tindakan, perilaku, dan pilihan politiknya. Dalam konteks sistem pemerintahan misalnya, di satu pihak para politisi mengobsesikan sistem presidensiil, tetapi di pihak lain tindakan dan perilaku politik mereka cenderung berorientasi parlementer. Kecenderungan perilaku parlementarian itu pula yang tampak di balik isu tarik-menarik dukungan terhadap pemerintahan sekarang ini.

Partai Politik dan Faksionalisme
Parpol adalah institusi dan instrumen inti dari demokrasi. Salah satu fenomena menonjol yang sangat menarik untuk diamati dalam konteks politik internal partai adalah mengenai faksionalisme atau pengelompokan dalam organisasi internal partai. Dalam wacana ilmu politik, tipologi mengenai jenis-jenis faksi dalam tubuh partai politik, menempati ruang perdebatan tersendiri. Tipologi yang cukup sederhana digagas oleh Belloni (1978) yang memilah jenis faksi dalam parpol menjadi tiga tipe.

Pertama, adalah jenis faksi yang terbentuk karena kesamaan pandang dalam melihat isu-isu politik. Dengan ikatan yang sangat informal, faksi jenis ini biasanya tidak berusia panjang dan hanya eksis pada saat merespon isu-isu strategis dalam partai. Kedua, adalah kelompok dalam partai yang terbentuk dengan pola patron-klien atau pemimpin-pengikut (Scott, 1976 yang dipopulerkan oleh Sutherland, 1979).[16] Biasanya sangat dipengaruhi oleh faktor personal leaderships, yaitu persaingan tokoh-tokoh berpengaruh dari suatu partai yang masing-masing mempunyai konstituen yang jelas. Ketiga, adalah tipe faksi yang paling formal dan terorganisasi. Faksi jenis ini, biasanya tidak saja mempunyai nama resmi, tetapi juga kesekretariatan dan program-program tersendiri. Bahkan pada banyak kasus seperti di Jepang dan Italia misalnya, eksistensi faksi ini dijamin oleh anggaran dasar dan rumah tangga (AD/ART) partai.

Disisi lain, faksionalisme seringkali diasumsikan sebagai hal yang negatif. Pandangan ini bukannya tidak mempunyai landasan teoritis. Huntington memandang secara apriori terhadap gejala faksionalisme.[17] Menurutnya, organisasi politik seperti parpol, harus memperhatikan faktor koherensi dan soliditas. Semakin solid dan lekat suatu organisasi politik, maka semakin tinggi pula tingkat institusionalisasi politiknya.

Rapoport, seorang intelektual Prancis bahkan secara lebih gamblang menegaskan bahwa membangun parpol, tidaklah jauh berbeda dengan membangun angkatan perang yang memerlukan disiplin dan kordinasi. Karenanya, faksionalisme dianggap sebagai antitesis dari koherensi dan soliditas, serta hanya akan memberikan dampak yang negatif terhadap performa parpol kedepan.

Artinya faksionalisme hanya akan menimbulkan inefektifitas, inefisiensi, disfungsi dan selanjutnya melemahkan otoritas dan legitimasi kepengurusan parpol. Pada skala tertentu, faksionalisme bahkan kerap berujung pada eksodus secara masif dari partai dengan mendirikan partai-partai baru yang selanjutnya dapat menjadi ancaman bagi berlangsungnya sistem kepartaian dan stabilitas politik disuatu negara.

Sebaliknya, tidak sedikit juga yang menganggap bahwa faksionalisme diperlukan bagi gerakan dan dinamika kepartaian. Graham (1993) mengkritik kecenderungan para pemerhati faksionalisme yang lebih tertarik untuk menganalisis faksionalisme secara parsial dari perspektif perebutan kekuasaan dan menafikkan perspektif penting lainnya. Menurut Graham, cara pandang Huntington akan menimbulkan bias karena mengabaikan penyebab faksionalisme yang bersifat filosofis, doktrinal ataupun kebijakan. Pada beberapa kasus, faksionalisme ternyata menimbulkan pengaruh yang sangat positif bagi performa parpol.[18]

Faksionalisme dapat berfungsi sebagai sarana artikulasi berbagai kepentingan yang berbeda dalam tubuh partai. Eksistensi faksi tidak hanya menjamin tersedianya alternatif kebijakan dalam partai, tetapi juga dapat beroperasi sebagai mekanisme kontrol horizontal dan menegakan prinsip-prinsip akuntabilitas partai. Demokrasi internal partai, pada beberapa kasus tersebut sangat ditentukan oleh tingkat pelembagaan faksi-faksi dalam tubuh partai.

Perdebatan mengenai faksionalisme ini, akan semakin menarik jika dikaitkan untuk memahami fenomena serupa yang terjadi di Indonesia. Menjamurnya pendirian parpol, dengan cepat juga diringi oleh gejala-gejala faksionalisme. Konfigurasi faksi politik partai yang sangat menarik bisa diamati pada tubuh PPP, PKB, dan PDIP. PDIP sebagai partai pemenang pertama pemilu 1999 dan pemenang kedua pada pemilu 2004 ini ditengarai memiliki banyak faksi. Polarisasi tajam dalam tubuh PDIP semakin menjadi sorotan ditahun 2005 ketika publik disuguhkan dengan hadirnya Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) pimpinan Laksamana Sukardi sebagai sempalan PDIP.

Secara umum tipe faksionalisme yang terbentuk di Indonesia, mengacu kepada tipologi versi Belloni yang dapat digolongkan pada tipe pertama (kesamaan pandangan politik) dan kedua (personal leadership or patron-client). Sesungguhnya, fenomena faksionalisme bukanlah fenomena yang langka dan istimewa. Faksionalisme merupakan proses politik yang terjadi secara alamiah. Ketika negara tidak dilihat sebagai aktor tunggal, maka semestinya partai politik pun tidak dapat diasumsikan sebagai aktor yang uniter pula.

Dalam konteks Indonesia, paling tidak ada dua faktor yang membuat isu faksionalisme menjadi begitu penting. Pertama, adalah ketidaksiapan publik dan juga para aktor politik untuk menempatkan perbedaan sikap pandang politik dalam porsi yang wajar. Kedua, adalah menyangkut dampak faksionalisme terhadap fungsi partai dan lebih jauh lagi sistem politik dan proses demokratisasi di Indonesia. Faktor pertama sangat berkaitan dengan faktor yang kedua. Artinya prilaku-prilaku tidak demokratis dalam menyikapi faksionalisme hanya akan menciptakan pembusukan politik dan merintangi demokratisasi. Andai saja sistem kepartaian di Indonesia mempunyai perangkat yang lengkap dalam hal pengaturan faksionalisme, maka terjadinya konflik-konflik politik yang destruktif akan dapat diminimalisir.

Studi perbandingan mengenai dampak dari faksionalisme terhadap sistem politik di berbagai negara menunjukan hasil yang beragam. Namun demikian, pelajaran berharga yang dapat diambil dari hasil studi tersebut menunjukan bahwa faksionalisme merupakan hal yang sulit dihindari dalam sistem politik kepartaian modern. Dalam partai sesolid dan sedominan Nazi ataupun partai komunis misalnya, faksionalisme tetaplah hadir. Dampak dari faksionalisme bagi sistem politik akan sangat ditentukan oleh keberhasilan mengelola faksionalisme secara demokratis. Faksionalisme hanya akan berimbas secara negatif bagi sistem politik, ketika ada kelemahan-kelemahan dalam mekanisme pengaturannya.

Dalam sistem kepartaian di Indonesia, mekanisme pengaturan faksionalisme belumlah diatur dalam perundang-undangan yang ada. Pengaturan masalah faksionalisme adalah suatu keniscayaan dalam konteks institusionalisasi politik. Perumusan aturan mengenai faksi politik secara rinci dalam konstitusi partai dengan didasari semangat untuk mengakomodasi perbedaan dalam koridor ideologi partai akan memadukan secara sempurna antara upaya demokratisasi internal partai dan institusionalisasi partai.

Bagi partai politik, pengaturan faksionalisme juga dapat diletakan dalam kerangka strategi politik partai. Dibukanya ruang faksionalisme berarti memberikan tawaran dan pilihan yang lebih kepada pemilih atau biasanya disebut ”catch all policy”. Kasus terbelahnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) atau Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan Partai Bintang Reformasi (PBR) dapat saja dijelaskan dalam konteks ini, ketika partai berusaha menjaga konstituennya dengan memberikan pilihan orientasi politik yang berbeda. Akan sangat menarik untuk mengkaji model pengaturan mana yang dapat diterapkan di Indonesia. Apakah meniru model Jepang dan Italia yang melembagakan secara formal faksi-faksi dalam partai,[19] ataukah model Amerika yang longgar seperti misalnya Republican Wednesday Club di Partai Republik, atau House Democratic Study Group di Partai Demokrat.

Dalam konteks sistem politik, pelembagaan faksionalisme di Indonesia dapat dimaknai sebagai salah satu terobosan untuk menjaga kestabilan sistem kepartaian di Indonesia. dengan didasari asumsi bahwa upaya tersebut akan menjaga keseimbangan jumlah parpol di Indonesia. Keseimbangan jumlah partai ini adalah hal yang signifikan dalam mengokohkan sistem presidensil. Akanlah sulit untuk membangun kelembagaan kepresidenan dengan tingkat legitimasi yang tinggi, tetapi diatas banyak kaki dengan tatanan sistem multipartai. Pengaturan faksionalisme akan menjadi satu pilihan logis untuk membuka seluas mungkin saluran politik bagi rakyat, sekaligus membatasi jumlah partai dan meneguhkan sistem presidensil.

Oligarki Partai Politik
Sebelum berbicara terlalu jauh, harus dipahami dulu konteks historis munculnya sebuah konsep oligarki. Oligarki sebagai sebuah konsep dikembangkan secara sistematik oleh Aristoteles dan mengacu pada entitas politik yang sederhana dan homogen sehingga kekuasaan dilaksanakan oleh segelintir orang, dilakukan dengan komando, tanpa partisipasi, tanpa negosiasi, tanpa kompromi di antara kekuatan yang pluralistik.

Ketika masyarakat berkembang dan lebih kompleks, di mana tarik-menarik antara kekuatan di tingkat massa ataupun elite dan antara kekuatan elite dan kekuatan masyarakat menjadi gejala yang umum, oligarki dalam prakteknya tidak mungkin muncul, yang muncul adalah poliarki. Karena itu, pada zaman imperium Romawi yang tidak demokratis sekalipun, oligarki tidak terlihat karena pluralisme elite terjadi. Akan tetapi, gereja dan kaisar, masyarakat dan negara, merupakan kekuatan-kekuatan tarik-menarik yang tak bisa dipandang sebagai gejala oligarki.

Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 konsep oligarki kembali dipakai, terutama oleh Michels,[20] seorang aktivis intelektual Marxis/Sosialis. Perhatian Michels hanya pada parpol, terutama Partai Sosialis, dan Partai Serikat Buruh. Di parpol yang menyebut dirinya sosialis atau demokratik sekalipun, menurut Michels, kecenderungan oligarki tak terhindarkan. Demikian juga pada organisasi buruh. Michels menemukan pada partai dan organisasi buruh apa yang disebutnya iron law of oligarchy (hukum besi oligarki). Pada akhirnya kekuatan dan kepentingan elite dari sebuah partai dan sebuah organisasi yang menentukan, bukan massa atau anggota pendukung mereka. Di situ tidak ada power sharing antara dua atau lebih kelompok elite dari latar belakang kekuatan sosial atau partai berbeda.

Dalam oligarki tidak ada bagi-bagi kekuasaan, tapi penumpukan kekuasaan. Disisi lain, konsep oligarki Michels sendiri sudah dipandang terlalu kuno untuk memahami gejala parpol dan organisasi sosial yang lebih modern dan kompleks. Dewasa ini, oligarki politik terjadi tatkala parpol-parpol besar yang ada di parlemen baik dipusat atau daerah, saling dukung-mendukung satu sama lain dalam memproteksi eksistensi mereka dari kehadiran pemain politik muka baru.

Terkait dengan konsep oligarki, keprihatinan de Tocqueville tentang tirani mayoritas, juga kehilangan relevansinya dalam konteks demokrasi modern. Menurut Dahl, baik mayoritas maupun minoritas sama-sama punya potensi untuk menjadi tirani.[21] Karena itu, masalahnya bukan pada soal mayoritas ataupun minoritas tapi pada sejauh mana keputusan-keputusan politik menyimpang dari kehendak rakyat. Itu bisa terjadi pada kekuatan mayoritas maupun minoritas, karena itu, bukan mayoritas ataupun minoritas yang menjadi pokok persoalan dalam konteks politik Indonesia.

Sementara itu, kekhawatiran dengan lumpuhnya check and balances ketika eksekutif dan legislatif dikuasai oleh kekuatan mayoritas yang sama, sebenarnya dari sisi realitas tidak punya pijakan empiris yang memadai. Apa yang terjadi di Prancis, Inggris, Australia, Jerman dan Amerika ketika presiden dan kekuatan mayoritas di kongres atau perlemen dikuasai oleh kekuatan politik yang sama? Apakah check and balances di negara-negara itu lumpuh, dan karena itu apakah demokrasi mereka kurang bermutu atau bahkan tidak jalan?.[22]

Filosofi dasar yang bisa dipakai untuk menjelaskannya berpijak pada asas daulat rakyat. Bahwa, bagaimanapun parpol adalah kepanjangan tangan dari rakyat, dan dengan demikian yang berdaulat semestinya rakyat itu sendiri. Sementara parpol hanya menjalankan tugasnya sebagai himpunan penyalur aspirasi politik publik. Membentuk parpol adalah hak dari setiap kelompok yang ada di masyarakat. Hal ini merupakan ekspresi dari daulat rakyat tersebut. Parpol menawarkan programnya, lantas rakyat berhak mendukung atau tidak.

Namun justru karena posisinya yang abstrak, biasanya kedaulatan rakyat itu dimanipulasikan oleh parpol-parpol (elite-elite) demi kepentingan politiknya. Dukungan pemilih kerap sekedar hanya dijadikan anak-tangga politik. Yang dipakai hanyalah legitimasi politik agar parpol eksis, terutama para elitenya. Tidaklah mengeherankan bila, karena memang keenakan posisi atau disebabkan oleh hukum kekuasaan yang tidak mudah untuk diserahkan ke yang lain, maka oligarki politik pun menjangkiti internal parpol. Perpecahan parpol yang bisa disaksikan belakangan, banyak yang disebabkan oleh fenomena oligarki politik internal. Kalangan internal yang tidak puas, tampaknya menemukan jalan keluar baru, yang di masa orde baru tak mungkin dilakukan yaitu membentuk parpol baru. Demokrasi bukan oligarki, dan demokrasi tidak mempersyaratkan adanya monopoli politik bersama, dan menafikan kelompok lain yang menjadi pesaing mereka. Sementara oligarki memang merupakan wujud dari monopoli politik bersama itu.

Demokrasi mempersyaratkan kompetisi politik secara bebas, di mana daulat rakyat menempati posisi paling strategis, antara lain karena mereka sumber legitimasi. Bila oligarki politik, ternyata hanya memperkuat posisi beberapa kekuatan politik saja, dan mematikan yang lain atas upaya-upaya yang dilakukan secara sitematis, maka, sama saja hal itu mencederai demokrasi.

Proses politik di Indonesia selama ini dalam konteks tertentu masih kental menampak-kan gejala oligarki politik. Kekuatan politik formal yang ada sekarang, yakni mereka yang duduk di DPR dan MPR, bagaimanapun masih memiliki kekuatan penuh untuk menentukan desain politik selanjutnya. Kalangan yang kecewa terhadap hasil amandemen UUD 1945 misalnya, kerap menuding bahwa telah terjadi ”politik dagang sapi” yang merupakan derivat dari fenomena oligarki politik. Namun demikian, kekuatan-kekuatan politik formal itu tentu akan menyangkal, bila mereka telah terjebak pada oligarki politik. Justru upaya-upaya politik mereka selama ini, dimaksudkan untuk menerobos kebuntuan politik.

Oligarki politik merupakan salah satu problem dalam kehidupan demokrasi politik. Tantangan yang dihadapi oleh sistem politik demokratis antara lain bagaimana ia mampu menetapkan mekanisme politik yang tidak mengingkari filosofi dasar daulat rakyat, dalam tampilan politik riil. Dalam sistem multipartai misalnya, kalau tidak terkelola dengan baik, maka ia bisa menjadi bumerang bagi demokrasi itu sendiri. Demokrasi akhirnya dijadikan kambing hitam atas anarkisme yang muncul. Dan demokrasi yang berakhir anarki hanyalah memunculkan lawannya, yaitu diktaktor. Tantangan demokrasi itu, juga mengarah pada bagaimana mereduksi fenomena oligarki politik yang bisa berujung pada ”kediktaktoran bersama”.

Perubahan sistem politik nasional sejak jatuhnya orde baru hingga kini, telah menunjukkan perkembangan berarti. Namun demikian, haruslah diakui masih banyak kekecewaan yang perlu dikemukakan. Proses reformasi, masih mengalami kendala-kendala yang tidak saja disebabkan oleh kultur politik masa lampau yang masih belum hilang sepenuhnya, namun juga oleh fenomena oligarki politik. Perubahan sosial politik, usai pemilu tahun 1999 dan 2004 antara lain ditandai oleh masuknya banyak pemain baru di pentas politik nasional. Itulah keseimbangan politik yang muncul, menyusul dibukanya kran sistem multipartai.

Merujuk kritik Bung Hatta pada Bung Karno,[23] oligarki politiklah yang pada akhirnya diharapkan menopang Demokrasi Terpimpin yang dikehendaki Bung Karno. Hatta menyayangkan, bahwa pada perkembanganya semua anggota DPR ditunjuk oleh presiden, maka ”lenyaplah demokrasi yang penghabisan”.

Kasus Demokrasi Terpimpin Bung Karno, mencontohkan fenomena oligarki politik di mana ada sosok pemimpin kharismatik yang harus diturut. Pada zaman orde baru oligarki politik terjadi, bukan oleh kehadiran sosok seperti Bung Karno, melainkan sosok yang dengan dukungan militer sepenuhnya, memaksakan diri untuk membuat oligarki politik yang bersifat monopolitik, mewujud dalam komposisi politik Golkar, yang terdiri dari tiga jalur ABRI (sekarang TNI), Birokrasi, dan (politisi) Golkar (ABG). Oligarki politik Orde Baru dilengkapi oleh dua partai politik ”pelengkap penderita” yaitu PPP dan PDI yang dihasilkan dari fusi parpol-parpol pada tahun 1973. Desain politik orde baru yang oligarkis itu, tidak menghendaki munculnya parpol lain selain tiga orsospol peserta pemilu yang ada (Golkar, PPP dan PDI). Demokrasi yang dijalankan, tampak setengah hati dan sengaja dibuat statis dan tidak berkembang.

Pada masa pasca orde baru, oligarki politik terbentuk lewat proses politik yang cenderung alamiah. Parpol-parpol besar yang established, tampaknya cenderung suka memutuskan kebijakan politik yang bermakna mempertegas posisi mereka dari proses politik yang demikian kompetitif, dan gejala ini harus selalu diwaspadai. Seharusnya, parpol-parpol mapan yang kini dominan di parlemen, bertindak secara fair dan tidak diskriminatif dalam mengambil kebijakan. Seharusnya, tidak usah takut, bila kelak komposisi politik berubah seiring dengan dinamika dukungan politik masyarakat. Oligarki politik, selain akan menjadi bumerang bagi eksistensi mereka sendiri, juga cenderung menyimpang dari keadilan demokrasi. Inflasi parpol diharapkan bisa menepis oligarki politik yang kebablasan. Bagi parpol-parpol mapan, semoga inflasi parpol dibaca sebagai kritik serius atas eksistensi dan perannya selama ini.

Ditinjau dari kriteria prosedural, Indonesia telah mencapai banyak kemajuan. Namun demikian, perkembangan ini hanyalah tahap awal dari proses panjang menuju konsolidasi demokrasi. Tahap konsolidasi menghendaki perhatian pada segi-segi substanstif, yang menjamin terwujudnya esensi demokrasi, seperti pemberdayaan rakyat (popular empowerment) dan pertanggungjawaban sistemik (systemic responsiveness).

Dalam situasi ini, perjuangan kaum demokrat memasuki babak baru yang lebih kompleks. Medan pertarungan bukan lagi antara kaum demokrat melawan pemerintahan otoriter tapi, antara sesama pendukung demokrasi. Pemenangnya akan menentukan apakah pemerintahan demokrasi makin terkonsolidasi dan melayani kepentingan mayoritas. Atau sebaliknya, yang terjadi adalah konsolidasi pemerintahan teknokratis yang dijalankan dan dikontrol oleh oligarki.

Peran Civil Society
Oligarki politik lebih terkorekasi dengan baik jika masyarakat sipil (civil society) diperkuat dan lebih berperanan terhadap proses perkembangan dan arah reformasi di Indonesia. Civil society yang dimaksud di sini adalah institusi sosial yang merdeka, bebas dari pengaruh negara, dan oleh sebab itu bersifat mandiri dan otonom. Masyarakat sipil harus berjuang keras demi masa depan bangsa yang lebih baik dengan menyelamatkan proses reformasi yang dewasa ini sedang berlangsung.

Untuk itu perlu terlebih dahulu dilakukan sedikit review terhadap perkembangan proses reformasi yang telah berlangsung selama ini. Pencermatan terhadap kehidupan politik selama kurang lebih sembilan tahun terakhir ini (sejak 1998) dapat dilihat dalam dua perspektif. Pertama, prosedural-tekstual dan kedua kedua secara substansial.

Dalam perspektif pertama, dapat dikatakan bahwa proses demokratisasi di Indonesia telah berlangsung dengan sangat cepat. Perubahan-perubahan yang mendasar sebagai upaya membangun struktur kekuasaan baru telah dilakukan. Perubahan paling mendasar adalah bagaimana perwujudan kedaulatan rakyat dituangkan dalam suatu konstitusi. Hal itu dapat dilihat dalam UUD ’45 yang baru, khususnya yang berkenaan dengan pemilihan presiden langsung (yang kemudian diikuti dengan pemilihan kepala daerah secara langsung), pembentukan parlemen dua kamar, dibentuknya Mahkamah Konstitusi dan lembaga-lembaga lainnya. Sementara itu pada aspek prosedural telah dilakukan pemilihan umum untuk anggota parlemen tahun 1999. Pada tahun 2004 telah dilakukan pula pemilihan anggota legislatif baik DPR maupun DPD, dan pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung.

Di kaji dari sisi prosedural-tekstual, Indonesia telah terjadi perkembangan politik yang dianggap sebagai kemajuan, tidak demikian dengan perkembangan politik jika dilihat dari perspektif substansial. Dalam perspektif ini, proses demokratisasi masih sangat mengecewakan. Hal itu dapat dicermati melalui beberapa hal. Pertama, performance partai politik sebagai pilar demokrasi selama ini sangat mengecewakan masyarakat. Penampilan mereka yang diwakili oleh para anggota parlemen mulai dari tingkat pusat sampai daerah adalah perilaku yang sangat bertentangan sebagai orang yang mendapatkan mandat kekuasaan dan kepercayaan masyarakat.

Persoalan pokoknya adalah partai politik masih sekadar kumpulan para elite yang berburu kekuasaan. Selain itu kultur politik internal partai sebagian besar masih feodalistik. Sesuatu yang ironis bahwa struktur politik secara makro bergerak ke arah demokratisasi, tetapi pilar demokrasi sendiri masih memelihara nilai-nilai paternalistik. Tidak sedikit tokoh-tokoh partai menunjukkan sikap dan perilaku yang sangat berorientasi kepada kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Perilaku yang demikian akhirnya menimbulkan sikap tidak simpati masyarakat kepada partai politik.

Dalam kaitan ini, agenda yang sangat penting, mendasar serta mendesak bagi partai politik ke depan adalah pengkaderan. Partai politik harus mampu memproduksi kader-kader partai politik yang memadai untuk menjalankan organisasi partai politik. Partai harus dapat mendidik kader sehingga mereka mempunyai karakter dan mentalitas bahwa keberadaannya sebagai kader partai adalah panggilan hidup, karena cita-cita atau karena keyakinan. Kemudian, ketika kader hasil binaannya memiliki potensi untuk berkembang, elite politik di partai bersangkutan harus memberikan support yang maksimal dan bukannya ”membunuhnya” karena dianggap sebagai saingan.[24]

Para kader partai politik juga harus digembleng agar mempunyai keterampilan menerjemahkan ideologi partai menjadi kebijakan publik. Selain itu mereka juga harus dididik mempunyai semangat kebersamaan dan kesetaraan. Artinya, sebagai kader mereka mempunyai kesempatan yang sama untuk meniti karier sampai jenjang tertinggi pada partai yang bersangkutan.

Tanpa adanya proses kaderisasi partai-partai politik hanya akan menjadi institusi yang menjadi instrumen perebutan kekuasaan demi kekuasaan itu sendiri. Bila partai politik tidak melakukan proses pengkaderan yang benar, hal itu tidak akan hanya berdampak negatif terhadap kelangsungan hidup partai politik, tetapi pertaruhan yang lebih besar adalah masa depan bangsa secara keseluruhan.

Jika dicari sebabnya, situasi yang sekarang sedang berlangsung adalah produk dari partai-partai politik yang secara mendadak memperoleh kekuasaan tanpa mempunyai persiapan kader yang memadai. Oleh karena itu, terlalu banyak mengharapkan perubahan yang lebih baik dari suatu rezim yang sumber rekrutmen elitenya sangat miskin pengalaman, keterampilan serta komitmen terhadap ideologi perjuangan yang rendah adalah sesuatu yang berlebihan.

Kedua, proses demokratisasi telah memproduksi sistem oligarki baik di lingkungan partai politik maupun di lembaga-lembaga politik lainnya, terutama parlemen, mulai dari tingkat pusat sampai daerah. Parlemen dan partai politik dijadikan sarana untuk menyalurkan sumber daya negara guna memperkuat patronage politik.

Politik oligarkis telah menghasilkan berbagai undang-undang, antara lain UU Susunan dan Kedudukan Anggota Parlemen, UU Pemilu Legislatif dan UU Pemilihan Presiden/Wakil Presiden secara langsung yang didasarkan atas kompromi-kompromi politik yang sangat oportunistik. Pada gilirannya UU yang demikian hanya akan menghasilkan elite-elite politik baru yang tidak akan peduli, apalagi memihak kepada keprihatinan dan kepentingan rakyat banyak.

Undang-undang hanya sebagai instrumen untuk meneguhkan kekuasaan dan hanya memberikan sedikit ruang bagi kontrol masyarakat terhadap masyarakat politik. Akibatnya, jumlah peraturan perundangan yang telah diproduksi oleh lembaga perwakilan selama masa reformasi tidak ada korelasi yang positif dengan penegakan hukum. Hasil pemilihan umum 2004 sebagai pemilu kedua pasca Orde Baru secara nyata telah menghasilkan masyarakat politik yang tidak jauh berbeda kualitasnya (dalam arti mempunyai komitmen yang konsisten terhadap aspirasi, kehendak, dan keprihatinan masyarakat layaknya pemilu orde baru dahulu). Artinya, agenda proses reformasi tidak dapat hanya diserahkan kepada masyarakat politik.

Di sinilah perlunya penyadaran masyarakat secara terus-menerus bahwa setiap pemilihan umum harus dapat dijadikan sebagai peradilan rakyat. Artinya, rakyat harus dicerahkan agar dapat mengetahui kandidat-kandidat anggota parlemen serta kandidat presiden/wakil presiden yang pantas dipilih pada pemilu 2009. Para kandidat yang bermasalah dalam kaitannya dengan skandal KKN, perusak lingkungan, pelanggar HAM, dan hal buruk lainnya harus dihukum dengan cara tidak memilih mereka kembali dalam pemilu 2009. Sementara itu bagi para kandidat yang bersih dan telah menunjukkan komitmen dan kinerjanya bagi kepentingan rakyat, serta bagi mereka yang tidak mempunyai permasalahan dengan hal-hal di atas, dapat dipilih kembali.[25]

Intinya, persoalan yang sangat mendesak untuk dijawab adalah bagaimanakah peran masyarakat sipil dalam menyelamatkan proses transformasi politik dewasa ini dan nasib bangsa ke depan? Sebab, kegagalan penerapan agenda demokratisasi yang tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan hidup rakyat, ditambah lagi dengan rendahnya tingkat ketertiban sosial, penegakan hukum serta tekanan kehidupan sehari-hari yang semakin berat telah menyebabkan meningkatnya keraguan masyarakat terhadap manfaat proses reformasi.[26]

Jawaban terhadap persoalan tersebut tentu tidak mudah, tetapi secara umum dapat disebutkan bahwa tindakan yang sangat perlu dilakukan adalah memperkuat masyarakat sipil. Tetapi sekali lagi, hal itu tidak sederhana mengingat beberapa hal sebagai berikut. Pertama, masyarakat sipil yang mempunyai andil besar terhadap tumbangnya rezim yang otoriter adalah masyarakat sipil yang terbatas pada kalangan tertentu dan elitis, antara lain mereka itu adalah kalangan mahasiswa dan dosen (civitas akademika), pekerja profesional termasuk pengacara, budayawan, wartawan, dan aktivis dari berbagai organisasi kemasyarakatan.

Kedua, gerakan demokratisasi menumbangkan Orde Baru lebih merupakan upaya menjatuhkan rezim otoriter, tetapi tidak disertai dengan agenda yang jelas dan menyeluruh mengenai proses reformasi selanjutnya. Penyusunan agenda semacam itu tidak mudah mengingat proses reformasi tidak berhasil memisahkan secara hitam-putih, siapa yang dapat dikategorikan sebagai kaum reformis murni dan siapa yang sesungguhnya yang masih menjadi bagian, bahkan inti dari kekuatan sebelumnya.

Ketidakjelasan kategorisasi tersebut mengakibatkan proses perubahan sangat terkontaminasi dengan kekuatan yang sebenarnya ingin mempertahankan tatanan lama, setidak-tidaknya secara oportunistik mereka berpura-pura menjadi tokoh atau agen perubahan, tetapi sebenarnya hanya benalu yang justru akan mematikan benih-benih demokrasi.

Ketiga, watak elitis dari gerakan prodemokrasi berimbas kepada pendekatan selanjutnya dalam mengelola proses perubahan. Gerakan prodemokrasi lebih mengandalkan pendekatan yang elitis berupa tekanan-tekanan terhadap elite politik baik melalui forum public discourse, memobilisasi massa untuk memberikan pressure pada kebijakan yang dianggap tidak adil, dan pendekatan-pendekatan yang lebih personal tetapi mengabaikan konstituensi yang sebenarnya mempunyai kepentingan terhadap suatu masalah yang sedang diperjuangkan.[27]

Pendekatan elitis dalam melakukan agenda perubahan dengan menempatkan sebagai posisi lawan bila berhadapan dengan masyarakat politik yang mempunyai otoritas dalam pengambilan keputusan menjadi tidak efektif. Misalnya kasus-kasus korupsi yang telah dibongkar oleh berbagai komponen masyarakat dan kemudian menjadi lebih transparan setelah dijadikan diskusi terbuka di media massa, tetapi begitu kasus tersebut masuk lembaga penegak hukum atau lembaga peradilan kasus tersebut menjadi tidak jelas ujung pangkalnya.

Menghadapi tantangan yang sedemikian besar, apakah masyarakat sipil mempunyai kekuatan untuk menanggulanginya? Untuk menjawab pertanyaan itu mungkin perlu sedikit menengok ke belakang mengenai keberadaan masyarakat sipil di Indonesia. Sepanjang sejarah politik Indonesia modern, eksistensi masyarakat sipil di Indonesia mengalami pasang surut. Keberadaan serta perannya berbanding terbalik dengan tingkat kontrol negara terhadap masyarakat. Semakin ketat kontrol negara terhadap aktivitas masyarakat semakin kecil peranan dan eksistensi masyarakat sipil. Sebaliknya, semakin demokratis suatu negara semakin berkembang dan signifikan peranan masyarakat sipil.

Dengan mencermati secara singkat pasang surut dan perkembangan historis keberadaan masyarakat sipil, sangat jelas bahwa masyarakat sipil mempunyai peran dan kontribusi yang sangat besar dalam proses demokrasi. Bila hal itu dikaitkan dengan konteks kehidupan politik dewasa ini dan arah perkembangan politik ke depan, maka dalam menyusun strategi penguatan masyarakat sipil pertama-tama perlu ditekankan bahwa perjuangan melawan rezim diktator berbeda dengan perjuangan mewujudkan kehidupan demokrasi.

Kekuatan masyarakat sipil ternyata telah mampu menjatuhkan sistem kekuasan yang otoriter. Tetapi masyarakat sipil karena watak dan ruang lingkup perjuangannya tidak begitu mudah mewujudkan demokrasi. Sebab, mengukir demokrasi secara mutlak memerlukan pembangunan institusi politik baru yang dapat menopang demokrasi serta mengembangkan kultur demokrasi. Khususnya budaya patronage politik dan mental serta paradigma baru yang menempatkan pemimpin adalah hamba atau pelayan rakyat dan bukan satrio piningit apalagi tuan atau ratu adil yang dengan tuahnya dapat mengubah Indonesia menjadi surga. Oleh karena itu perjuangan masyarakat sipil ke depan perlu dilakukan melalui suatu kerangka strategi sebagai berikut.

Pertama, melakukan assesment terhadap masalah yang paling mendasar yang dihadapi bangsa dalam masa transisi dewasa ini. Pembacaan terhadap proses politik selama lebih kurang sembilan tahun terakhir ini, masalah yang sangat fundamental adalah justru perilaku masyarakat politik yang korup dan kolutif adalah penyebab utama proses reformasi terancam gagal. Oleh sebab itu gerakan nasional perlu melakukan identifikasi terhadap mereka yang akan duduk dalam lembaga-lembaga politik dan negara. Selain itu kontrol terhadap mereka harus secara terus-menerus dilakukan.

Kedua, masyarakat sipil perlu melakukan konsolidasi ideologi dan jaringan sehingga efek dari suatu gerakan akan lebih besar.[28] Dalam hal ini, hubungan dan komunikasi antara pusat dan daerah sangat diperlukan. Selain itu pengorganisasian konstituensi berbasis kepentingan dan organisasi massa, seperti buruh, petani, nelayan, perlu dilakukan. Kedua, para aktivis prodemokrasi agar bersedia berjuang juga dalam tataran political society. Terus terang harus diakui bahwa medan perjuangan ini cukup berat karena para aktivis dihadapkan kepada dua lawan utama, yaitu pertama kekuatan konservatif yang tetap menginginkan struktur kekuasaan otoritarian. Kedua, melawan diri sendiri terhadap godaan politik yang mungkin sangat menggiurkan.

Ketiga, gerakan prodemokrasi bekerja sama dengan elite politik dalam proses kebijakan publik tetapi tidak ikut menjadi bagian dari masyarakat politik (cooperation without cooptation). Hal itu dapat dilakukan dengan membentuk forum diskusi secara lebih permanen untuk membicarakan dan merumuskan rencana kebijakan yang dianggap cukup strategis.

Dengan mencermati perkembangan politik selama lebih kurang sembilan tahun dapat diproyeksikan bahwa politik Indonesia ke depan akan sangat diwarnai oleh pertarungan antara masyarakat sipil dan masyarakat politiknya (civil society vis a vis political society). Peran masyarakat sipil akan semakin berkurang sejalan dengan pembangunan lembaga-lembaga politik yang dapat menopang bangunan demokrasi serta kultur politik demokratis yang akan memberikan roh bagi kehidupan demokrasi.

Kesimpulan
Kecenderungan oligarki parpol yang terjadi dalam demokrasi seperti sekarang ini hendaknya diantisipasi dengan menempatkan partisipasi masyarakat pada posisi yang sebenarnya. Masyarakat bukanlah sebagai hamba (client) melainkan sebagai warga (citizen). Jika hamba memperlihatkan kepatuhan secara total, kalau konsep warga menganggap bahwa setiap individu adalah pribadi yang utuh dan mempunyai hak penuh untuk memiliki. Selanjutnya, masyarakat bukan dalam posisi yang diperintah tetapi sebagai mitra sejajar (partner) bagi pemerintah dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan. Partisipasi bukanlah pemberian pemerintah tetapi sebagai hak warga masyarakat. Sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, masyarakat bukan sekadar obyek pasif penerima manfaat kebijakan pemerintah, tetapi sebagai aktor atau subyek yang aktif menentukan kebijakan.

Disisi lain, guna menghindari oligarki yang terus menerus dilakukan oleh segelentir elite-elite parpol yang duduk diparlemen atau pemerintahan yang mengatas namakan rakyat, maka solusi yang ditawarkan adalah:
a. Pemberdayaan masyarakat:
Kenyataan apa yang dipahami oleh masyarakat tentang aktivitas politik sampai saat ini hanyalah sekedar arahan tentang keterlibatan mereka dalam pemberian voting di pemilu. Bila dicermati lebih jauh lagi, proses ”penyambungan suara” itu pun hanya berhenti pada sekedar memilih warna/gambar partai/gambar caleg dan secara umum rakyat tidak bisa mengetahui dan memahami siapa sebenarnya wakil mereka, sejauh mana konsistensi pelaksanaan tugasnya, bahkan lebih jauh lagi mereka tidak/belum pernah mengenal individunya. Ketika dalam prakteknya para wakil yang telah dipilih rakyat ini telah menyuarakan pendapatnya di parlemen, sebenarnya mereka tidaklah mewakili rakyat diparlemen tetapi lebih banyak mewakili pribadinya sendiri. Sampai disini, keberadaan ”wakil-wakil rakyat” bagi rakyat yang memilihnya bagaikan ”panggang jauh dari api” dan tak ada arti. Keberadaan parpol yang seharusnya sebagai kontrol berjalannya kebijaksanaan sistem, kenyataannya di Indonesia tidak berjalan sebagaimana yang diinginkan. Suara-suara vokal yang mengkritik berbagai kebijaksanaan hanyalah sebatas suara individu, termasuk bagi mereka yang berada di parlemen. Pemberdayaan masyarakat perlu dilakukan agar rakyat dapat menuntut kepada wakilnya diparlemen jika mereka tidak bekerja sesuai dengan apa yang telah dijanjikan dalam kampanye. Mekanisme ini harus diciptakan dan dilembagakan dalam suatu produk Undang-undang, atau diintegrasikan dalam UU Parpol atau UU Pemilu.
b. Membangun masyarakat yang kritis:
Menanggapi persoalan ini, yang harus kita perhatikan dalam rangka memperbaiki kesadaran politik rakyat agar mampu menjadi masyarakat yang kritis antara lain negara harus membiarkan rakyat mengenal dan memahami makna politik yang sebenarnya. Atau dengan arti lain, rakyat memiliki kesempatan untuk menerima pendidikan politik. Karena selama ini baik negara atau parpol, sama sekali lalai dalam memberikan pendidikan politik bagi rakyat. Kampanye yang sering parpol gembar-gemborkan sebagai pendidikan politik sejatinya hanyalah partisipasi yang di mobilisasi (mobilized participation) dan bukan partisipasi bagi penciptaan masyarakat yang kritis dan melek politik.
c. Membangun masyarakat yang saling percaya:
Rakyat berada pada posisi yang sangat lemah bila berhadapan dengan pemerintah. Dalam pembentukan kebijakan publik misalnya, rakyat mengalami proses alienasi dan saling tidak percaya baik antar sesama rakyat atau antara rakyat dengan wakilnya di parlemen. Selama ini, kebijakan publik merupakan dominasi dari sekelompok elit politik yang berkuasa. Sementara itu, rakyat diwajibkan untuk menyukseskan implementasi politik tanpa pernah terlibat merumuskannya. Kasus pembebasan tanah, penggusuran dan pada umumnya pembentukan kebijakan nasional merupakan sesuatu yang riil dalam kehidupan politik kita, yang memperlihatkan kebenaran dugaan bahwa rakyat mengalami alienasi hingga masyarakat tidak percaya kepada pemerintah. Bila dilihat dari proses sosialisasi politik, individu atau masyarakat tidak terbiasa untuk membentuk jati dirinya yang bersifat mandiri. Maka, negaralah yang musti membimbing dan membangunnya agar masyarakat tidak merasa teralienasi.
d. Seleksi elite-elite yang ketat di internal partai politik:
Kemandekan politik dan terjadinya oligarki berhubungan dengan kualifikasi para politisi bangsa ini. Dengan kata lain, pemikiran dan cara pandang politik para politisi belum sanggup membuat mereka mendorong suatu era politik kearah yang bersih dan progresif. Cara pandang mereka yang terkait erat dengan pendidikan formalnya dalam menganalisis realitas kehidupan sosial politik belum cukup berkembang. Pada titik ini, penilaian tentang kualifikasi kepada politisi perlu dilakukan dengan sepenuhnya menerapkan perspektif yang tidak deterministik. Seleksi bakal calon diinternal partai harus dilakukan dengan ketat dan terbuka, tidak hanya didasarkan pada faktor like and dislike dari pimpinan atau elite-elite parpol lain. Seleksi juga tidak hanya bagi mereka yang memiliki jabatan di struktural parpol, tetapi kader akar rumputpun perlu diberi kesempatan untuk ikut berkompetisi dalam seleksi.
e. Pembatasan masa jabatan anggota parlemen:
Cara ini memang tergolong radikal dan tidak populer, tetapi sadarkah kita jika elite-elite politik yang berkuasa di birokrasi atau terutama yang berada dalam parlemen hanya manusia yang itu-itu saja. Walaupun ada muka-muka baru yang bermunculan, jumlahnya relatif sangat sedikit. Bisa jadi, orang semacam Soetardjo Soerjogoeritno dari PDIP, atau Aisyah Amini dari PPP akan sampai mati berada di parlemen jika mereka terus-terusan ”dipilih” oleh rakyat. Sementara itu diluar, masih banyak kader-kader bangsa (tentunya kader parpol yang bersangkutan) yang potensial tersisih karena mekanisme bakal calon legislatif adalah bagi mereka yang dekat dengan pimpinan parpol dan memenuhi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) atau yang disesuaikan dalam pemilu, dengan kata lain ”seumur hidupnya”.
f. Kultur partai politik harus berubah:
Praktik nepotisme (sempalan kkn, red) dalam internal parpol menjadi penyakit dan bahkan kanker yang menggerogoti. Sebab-musababnya dianggap berasal dari vested of interest orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu. Pada titik ini, pola pikir dilakukan dengan cara radikal karena mengandaikan bahwa bukan pemikiran yang clear and distinct yang bisa membimbing kepentingan, melainkan kepentinganlah yang seringkali mengendalikan pemikiran. Jika terjadi korupsi, kolusi atau nepotisme, kita mengandaikan bahwa tindakan itu menyimpang dari jati diri. Apabila diandaikan bahwa sudah ada esensi kebangsaan yang terdiri dari kejujuran, kesopanan, dan segala sifat-sifat baik. Maka, KKN adalah penyimpangan dari esensi itu. Pada titik ini kita sebaiknya belajar dengan sungguh-sungguh pada nilai eksistensi yang membentuk esensi dan bukan esensi yang membentuk eksistensi. Disisi lain, kultur di parpol bisa berubah jika dan hanya jika pemimpin di parpol punya itikad untuk merubahnya. Jika tidak, maka kultur di parpol tidak akan pernah berubah dan praktik oligarki akan terus menerus berlangsung karena didukung oleh penyelenggara negara yang tak berdaya membuat regulasi untuk mengatasinya.

Hingga pada akhirnya kita sebagai rakyat tidak bisa menghindari oligarki, karena kecenderungan oligarki selalu ada, dan itu merupakan kenyataan politik. Tetapi bukan berarti tak ada cara untuk mencegah oligarki menjadi sesuatu yang tak seharusnya terjadi. Kedaulatan atas negara pada dasarnya ada pada rakyatnya, bukan pada segelintir orang yang hanya mengatas-namakan rakyat. Pemerintah, harus bisa menjadi subyek pemberi informasi bagi masyarakat dalam rangka pemenuhan hak-hak publik seperti hak untuk tahu (right to know), hak untuk diberi informasi (right to be informed), dan hak untuk didengar aspirasinya (right to be heard and to be listened to).

[1] Joseph Schumpeter. 1947. Capitalism, Socialism, and Democracy, 2nd Editions. New York: Harper
[2] Jumlah parpol yang mendaftar di Departemen Kehakiman dan HAM menjelang pemilu 2004 sebanyak 261 parpol, walau yang lolos seleksi untuk mengikuti pemilu hanya 24 parpol.
[3] Guillermo O’Donnell dan Philippe C. Schmitter. 1993. Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, Jakarta: LP3ES., hal. 6
[4] Juan J. Linz dan Alfred Stepan, “Mendefinisikan dan Membangun Demokrasi”, dalam Ikrar Nusa Bhakti dan Riza Sihbudi, ed., Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat, Bandung: Mizan-LIPI-Ford Foundation, 2001, hal. 25-49.
[5] Ibid, hal. 10-11.
[6] Larry Diamond. 1999. Developing Democracy: Toward Consolidation. Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press; juga terjemahannya dengan judul yang sama (Yogyakarta: IRE, 2003)., hal. 73-116.
[7] Antara lain lihat, Juan J. Linz dan Alfred Stepan, “Mendefinisikan…, op cit, hal. 25-49; juga tulisan Richard Gunther, “Membuka Dialog Mengenai Pilihan Institusional di Indonesia: Sistem Presidensial, Parlementer, dan Semi-Presidensial”, dalam Ikrar dan Riza, ed., Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat, hal. 125-162.
[8] Lihat misalnya Mochtar Pabottingi “Memburuknya Krisis Konstitusi Kita: Mengapa UUD 1945 dan Proses serta Hasil Amandemen Atasnya Tanpa Konstitusionalitas dan Batal Demi Nasion”; juga Bambang Widjojanto, “Kapita Selekta Amandemen (Problematik Perubahan UUD 1945)”, masing-masing dalam Riza Sihbudi dan Moch. Nurhasim, ed., Amandemen Konstitusi dan Strategi Penyelesaian Krisis Politik Indonesia, hal. 447-474 dan hal. 475-484.
[9] Tentang ini lihat, Saldi Isra, “Keniscayaan Komisi Konstitusi”, dalam Kompas, 23 April 2002.
[10] Sistem perwakilan bicameral yang kuat diperlukan tidak hanya untuk memperluas basis keterwakilan parlemen –yang mencakup wakil rakyat dan wakil daerah—melainkan juga memperkokoh tegaknya prinsip checks and balances di dalam relasi Presiden dan parlemen. Dalam konteks Amerika Serikat sebagai model terbaik bagi presidensialisme, keberadaan wakil negara bagian diperlukan untuk meminimalkan produk legislasi yang terburu-buru dan sembrono. Lihat, Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, 2000, hal. 80.
[11] Untuk Apa DPD RI, Jakarta: Kelompok DPD di MPR RI, 2006.
[12] Akibat kekacauan konstitusional tersebut maka tidak mengherankan jika kita menyaksikan peristiwa politik yang “aneh tetapi nyata” yakni ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus menyampaikan pidato kenegaraan secara terpisah, masing-masing di depan Sidang Paripurna DPR dan Sidang Paripurna DPD, padahal kedua Dewan tersebut merupakan satu kesatuan parlemen. Dampak kekacauan konstitusional itu pula yang menjelaskan munculnya konflik kelembagaan segitiga antara MK, KY, dan MA dewasa ini.
[13] Lihat juga Arbi Sanit, “Koherensi Perundang-undangan Politik”, Makalah untuk bahan diskusi, 2006.
[14] Untuk diketahui, menjelang Pemilu 2004 sekitar 261 partai politik terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM (sekarang Departemen Hukum dan HAM) yang terdiri dari (1) 24 partai lolos sebagai peserta pemilu; (2) 26 partai tidak lolos verifikasi oleh KPU; (3) 153 partai dibatalkan sebagai badan hukum; dan (4) 58 partai dinyatakan tidak memenuhi persyaratan UU Partai Politik No. 31 tahun 2002. Lihat, Partai-partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009, Jakarta: Penerbit Kompas, 2004.
[15] Tentang adanya konflik dan disharmoni relasi Presiden Yudhoyono dan Wapres Kalla, lihat misalnya Laporan Utama Tempo, edisi tanggal 13-19 November 2006; juga Syamsuddin Haris, “Disharmoni Yudhoyono-Kalla”, dalam Kompas, 8 November 2006.
[16] Heater Sutherland. 1979. The Making of Bureaucratic Elite: The Colonial Transformation of the Javanese Priyayi. Australia: Asian Studies Association of Australia., pp.45. Lebih lanjut, pola patronage atau patron-client pertama kali dikemukakkan oleh James Scott. 1976. Who Rules Britain?. Cambridge: Polity Press
[17] Samuel P. Huntington. 1968. Political Order in Changing Societies. New Haven: Yale University Press., hal. 12-24
[18] Seperti faksi Partai buruh di Inggris (Cyr, 1978) atau Partai Aksi Demokrat (AD) di Venezuela (Coppedge, 1994).
[19] Robert D. Putnam, et.al. 1993. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy. Princeton: Princeton University Press
[20] Robert Michels. 1949. Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy. Glencoe III: Free Press. Organisasi formal, sesal Michels, tak terelakkan “melahirkan kekuasaan yang terpilih atas para pemilih.... Siapa berbicara organisasi berarti berbicara oligarki. pp. 401
[21] Robert Dahl. 1956. A Preface to Democratic Theory. Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press.
[22] Apa yang terjadi di banyak lagi negara demokrasi yang sudah matang di dunia ini di mana kekuatan mayoritas di parlemen atau legislatif dan di eksekutif selalu dikuasai oleh kekuatan politik mayoritas yang sama ternyata tidak melumpuhkan check and balances.
[23] Muhamad Hatta. 1960. Demokrasi Kita. Jakarta: Panji Masyarakat. Selanjutnya dalam sebuah risalah politiknya, Hatta mengatakan Cita-cita Demokrasi Terpimpin itu, catat Hatta, ”harus didukung oleh kerjasama yang baik antara empat golongan besar yang berpengaruh di dalam masyarakat, yaitu golongan nasional, Islam, komunisme dan tentara”. Lebih tegas Hatta berpendapat, ”Demokrasi Terpimpin Soekarno menjadi suatu diktaktor yang didukung oleh golongan-golongan tertentu”. Yang dimaksud Hatta dengan didukung oleh ”golongan-golongan tertentu” itulah oligarki politik yang harus menuruti kemauan politik Bung Karno.
[24] Kejadian seperti ini saya cermati sejak 2001 di partai politik yang memiliki kursi di DPR RI, utamanya adalah parpol-parpol di daerah.
[25] Disinilah diharapkan civil society memainkan perannya yang maksimal untuk melakukan kritik-ktitik yang relevan dan memberikan pendidikan politik secara tidak langsung kepada masyarakat.
[26] Akibatnya, muncul impian masyarakat terhadap kembalinya rezim sebelumnya. Suatu rezim pemerintahan meskipun represif tetapi dianggap dapat menghadirkan ketenteraman dan kestabilan politik dan ekonomi; meskipun hal-hal tersebut adalah semu semuanya, karena setiap persoalan tidak diselesaikan secara terbuka atas dasar prinsip kesetaraan dan kepentingan bersama, melainkan dipaksa diselesaikan sesuai dengan selera dan versi penguasa.
[27] Misalnya dalam memperjuangkan kepentingan buruh, gerakan prodemokrasi secara ideal dapat mempersatukan buruh dengan menangani isu yang lebih terfokus tetapi mencakup kepentingan seluruh buruh di Indonesia. Namun hal itu tidak mudah dilakukan, sebab pencermatan terhadap perilaku mereka yang dapat disebut gerakan proreformasi (atau prodemokrasi) dewasa ini sangat tercerai berai, terfragmentasi, tidak terorganisir serta terisolasi dari rakyat dan kurang berorientasi kepada kepentingan konstituensi.
[28] Misalnya perjuangan untuk memperkuat hak-hak petani, akan sangat besar efeknya kalau ideologi gerakan berhasil merumuskan isu sentral yang dapat mencakup kepentingan seluruh petani seluruh Indonesia. Konsolidasi jaringan akan membuat daya tawar gerakan akan lebih besar bila berhadapan dengan negara.
DPRD KABUPATEN PELALAWAN
SIAK SRI INDRAPURA