Latar Belakang
Demokrasi merupakan sarana guna terciptanya partisipasi politik masyarakat secara luas dengan instrumen pokoknya adalah partai politik (parpol). Partisipasi merupakan persoalan relasi kekuasaan atau relasi ekonomi-politik antara negara (state) dan masyarakat (society). Negara adalah pusat kekuasaan, kewenangan dan kebijakan untuk mengatur (mengelola) alokasi barang-barang (sumberdaya) publik pada masyarakat. Di dalam masyarakat sendiri terdapat hak sipil dan politik, kekuatan massa, kebutuhan hidup, dan lain-lain. Dengan demikian, partisipasi adalah jembatan penghubung antara negara dan masyarakat agar pengelolaan barang-barang publik membuahkan kesejahteraan dan human well being.
Dari sudut pandang negara, demokrasi mengajarkan bahwa partisipasi sangat dibutuhkan untuk membangun pemerintahan yang bertanggungjawab (accountability), transparan (transparency), dan responsif (responsibility) terhadap kebutuhan masyarakat. Tiadanya partisipasi masyarakat akan membuahkan pemerintahan yang otoriter dan korup. Dari sisi masyarakat, partisipasi adalah kunci pemberdayaan (empowerment). Partisipasi memberikan ruang dan kapasitas bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan hak-haknya, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, mengaktifkan peran masyarakat serta membangun kemandirian masyarakat.
Demokrasi terkait erat dengan kompetisi, partisipasi dan kebebasan rakyat (civil liberty). Kompetisi dalam demokrasi terkait dengan adanya pemilihan umum (pemilu). Bahkan, bagi teoritisi minimalis penganut Schumpeterian (Schumpeter, 1947),[1] pemilu merupakan satu-satunya prasyarat demokrasi. Sejak kejatuhan Soeharto dengan orde barunya pada 1998, Indonesia hingga kini tengah mengarungi sebuah era transisi dari rezim otoriter menuju sebuah tatanan yang demokratis. Pengalaman sejarah selama pasca reformasi digulirkan menunjukkan adanya kecenderungan kekuatan elemen-elemen lama akan mengembalikan perkembangan politik nasional kepada tatanan politik otoriter atau setidaknya menghambat laju transisi menuju demokrasi. Gejala ini sangat transparan dengan munculnya berbagai konflik antar elite baik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau di internal parpol yang seolah-olah tak berunjung.
Banyaknya parpol yang mengikuti pemilu, baik pada tahun 1999 dan 2004[2] menunjukkan tidak puasnya publik dengan parpol-parpol mapan (established) yang ada. Mereka melakukan semacam gerakan resistensi dengan ramai-ramai membentuk parpol baru, meskipun mereka tahu syarat untuk bisa menjadi peserta pemilu sangat ketat. Publik juga kecewa dengan komposisi anggota DPR, baik hasil pemilu tahun 1999 atau 2004 yang dinilainya belum mampu menangkap aspirasi masyarakat sipil (civil society), dan sekedar cenderung memperkuat oligarki politik, dengan memperkokoh eksistensi elite-elite parpol besar yang telah mapan semata.
Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Guillermo O’Donnell dan kawan-kawan pernah melakukan serangkaian studi mengenai fenomena transisi demokrasi yang terjadi di Amerika Latin dan Eropa Selatan --yang menghasilkan karya mereka Transitions from Authoritarian Rule (1986)-- secara sederhana menjelaskan “transisi” sebagai “interval waktu antara satu rezim politik dan rezim politik yang lain”.[3] Secara lebih jelas Juan J. Linz dan Alfred Stepan merumuskan bahwa suatu transisi demokrasi berhasil dilakukan suatu negara jika (a) tercapai kesepakatan mengenai prosedur-prosedur politik untuk menghasilkan pemerintahan yang dipilih; (b) jika suatu pemerintah memegang kekuasaannya atas dasar hasil pemilu yang bebas; (c) jika pemerintah hasil pemilu tersebut secara de facto memiliki otoritas untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan baru; dan (d) kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang dihasilkan melalui demokrasi yang baru itu secara de jure tidak berbagi kekuasaan dengan lembaga-lembaga lain.[4]
Menurut pandangan O’Donnell dan Schmitter, proses transisi demokrasi mencakup tahap liberalisasi politik dan tahap demokratisasi, yang bisa berlangsung secara gradual –liberalisasi lebih dahulu kemudian berlanjut kepada demokratisasi- atau secara bersama-sama dan sekaligus, atau bisa juga suatu transisi tanpa tahap demokratisasi sama sekali. Menurut kedua ahli tersebut, liberalisasi politik hanya mencakup perluasan serta perlindungan bagi hak-hak dan kebebasan individu maupun kelompok dari kesewenangan negara atau pihak lain, tanpa perubahan struktur pemerintahan dan akuntabilitas penguasa terhadap rakyatnya. Dengan begitu, maka demokratisasi harus mencakup perubahan struktur pemerintahan (yang otoriter) dan adanya pertanggungjawaban penguasa kepada rakyat (yang sebelumnya tidak ada). O’Donnell dan Schmitter menyebut transisi yang bermuara pada liberalisasi ini sebagai liberalized authoritarianism.[5]
Sementara itu dalam perspektif Larry Diamond,[6] konsolidasi demokrasi mencakup pencapaian tiga agenda besar, yakni (a) kinerja atau performance ekonomi dan politik dari rezim demokratis; (b) institusionalisasi politik (penguatan birokrasi, partai politik, parlemen, pemilu, akuntabilitas horizontal, dan penegakan hukum); dan (c) restrukturisasi hubungan sipil-militer yang menjamin adanya kontrol otoritas sipil atas militer di satu pihak dan terbentuknya civil society yang otonom di lain pihak. Apabila perspektif Diamond serta Linz dan Stepan dikaitkan dengan problematik demokratisasi di Indonesia pasca Orde Baru. maka tampak dengan jelas bahwa masih banyak persoalan krusial dalam upaya konsolidasi demokrasi.
Seperti diingatkan Diamond, keberhasilan penyelenggaraan pemilihan umum hanya sekadar prasyarat prosedural bagi suatu demokrasi yang terkonsolidasi. Kinerja politik dan ekonomi pemerintah baru hasil pemilu, misalnya, jelas masih perlu diperdebatkan mengingat arena bagi pemerintah untuk mewujudkan aspirasi publik sangat ditentukan oleh, pertama, dukungan partai-partai, baik di parlemen maupun di dalam pemerintahan sendiri; dan kedua, dukungan birokrasi negara, baik sipil maupun militer. Dilemanya, baik partai-partai politik di parlemen, maupun birokrasi negara yang diperlukan pemerintah baru untuk mendukung optimalisasi kinerjanya masih terperangkap pada perilaku dan budaya lama, yakni “dilayani” ketimbang “melayani” masyarakat.
Perspektif teoritis Diamond menggarisbawahi bahwa agenda institusionalisasi politik adalah salah satu faktor kunci bagi suatu demokrasi yang terkonsolidasi. Di dalamnya tidak hanya tercakup reformasi birokrasi dan penguatan institusi pemerintahan, melainkan juga penguatan partai-partai politik, parlemen, dan reformasi pemilu, selain penguatan akuntabilitas horizontal dan penegakan supremasi hukum.
Dalam konteks Indonesia pasca Orde Baru upaya reformasi institusional atau kelembagaan sebenarnya telah dimulai pada era pemerintahan BJ Habibie yang ditandai dengan perubahan UU Pemilu, UU Kepartaian, dan UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD (UU Susduk). Atas dasar perubahan itu maka pemilu bebas dan demokratis pertama pasca Orde Baru diselenggarakan pada Juni 1999. Pemilu di bawah sistem multipartai tersebut kemudian menghasilkan DPR, MPR dan pemerintah baru yang mengagendakan reformasi konstitusi melalui empat tahap perubahan (amandemen), yakni amandemen pertama (1999) dan kedua (2000) pada era Presiden Abdurrahman Wahid, serta amandemen ketiga (2001) dan amandemen keempat (2002) pada era Presiden Megawati Soekarnoputeri.
Tampak mulai disadari, kendati agak terlambat, bahwa konsensus prosedural dalam rangka efektifitas format politik baru tak mungkin dicapai tanpa reformasi konstitusi karena sistem demokrasi yang stabil hanya bisa tumbuh jika konsitusi yang memayunginya cukup memadai untuk itu. Para ahli yang mendalami masalah transisi demokrasi menggarisbawahi pentingnya reformasi konstitusi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses transisi menuju konsolidasi demokrasi.[7]
Amandemen atas UUD 1945 pada akhirnya memang berhasil dilakukan, namun sulit dibantah bahwa dalam realitasnya perubahan yang dilakukan oleh MPR atas konstitusi tersebut cenderung bersifat tambal sulam.[8] Paling kurang ada tiga kelemahan mendasar pada hasil amandemen yang dilakukan Badan Pekerja MPR atas UUD 1945 sehingga diperlukan suatu komisi konstitusi yang bersifat independen --dibentuklah Mahkamah Konstitusi--. Pertama, proses amandemen yang cenderung terjebak pada kepentingan jangka pendek dari elite partai-partai di parlemen. Kedua, kualitas dan substansi perubahan yang cenderung inkonsisten dan tambal-sulam satu sama lain. Dan ketiga, format legal drafting perubahan yang tidak sistematik dan tak terpola serta membingungkan sehingga menyulitkan pemahaman atasnya sebagai hukum dasar.[9]
Demokrasi merupakan sarana guna terciptanya partisipasi politik masyarakat secara luas dengan instrumen pokoknya adalah partai politik (parpol). Partisipasi merupakan persoalan relasi kekuasaan atau relasi ekonomi-politik antara negara (state) dan masyarakat (society). Negara adalah pusat kekuasaan, kewenangan dan kebijakan untuk mengatur (mengelola) alokasi barang-barang (sumberdaya) publik pada masyarakat. Di dalam masyarakat sendiri terdapat hak sipil dan politik, kekuatan massa, kebutuhan hidup, dan lain-lain. Dengan demikian, partisipasi adalah jembatan penghubung antara negara dan masyarakat agar pengelolaan barang-barang publik membuahkan kesejahteraan dan human well being.
Dari sudut pandang negara, demokrasi mengajarkan bahwa partisipasi sangat dibutuhkan untuk membangun pemerintahan yang bertanggungjawab (accountability), transparan (transparency), dan responsif (responsibility) terhadap kebutuhan masyarakat. Tiadanya partisipasi masyarakat akan membuahkan pemerintahan yang otoriter dan korup. Dari sisi masyarakat, partisipasi adalah kunci pemberdayaan (empowerment). Partisipasi memberikan ruang dan kapasitas bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan hak-haknya, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, mengaktifkan peran masyarakat serta membangun kemandirian masyarakat.
Demokrasi terkait erat dengan kompetisi, partisipasi dan kebebasan rakyat (civil liberty). Kompetisi dalam demokrasi terkait dengan adanya pemilihan umum (pemilu). Bahkan, bagi teoritisi minimalis penganut Schumpeterian (Schumpeter, 1947),[1] pemilu merupakan satu-satunya prasyarat demokrasi. Sejak kejatuhan Soeharto dengan orde barunya pada 1998, Indonesia hingga kini tengah mengarungi sebuah era transisi dari rezim otoriter menuju sebuah tatanan yang demokratis. Pengalaman sejarah selama pasca reformasi digulirkan menunjukkan adanya kecenderungan kekuatan elemen-elemen lama akan mengembalikan perkembangan politik nasional kepada tatanan politik otoriter atau setidaknya menghambat laju transisi menuju demokrasi. Gejala ini sangat transparan dengan munculnya berbagai konflik antar elite baik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau di internal parpol yang seolah-olah tak berunjung.
Banyaknya parpol yang mengikuti pemilu, baik pada tahun 1999 dan 2004[2] menunjukkan tidak puasnya publik dengan parpol-parpol mapan (established) yang ada. Mereka melakukan semacam gerakan resistensi dengan ramai-ramai membentuk parpol baru, meskipun mereka tahu syarat untuk bisa menjadi peserta pemilu sangat ketat. Publik juga kecewa dengan komposisi anggota DPR, baik hasil pemilu tahun 1999 atau 2004 yang dinilainya belum mampu menangkap aspirasi masyarakat sipil (civil society), dan sekedar cenderung memperkuat oligarki politik, dengan memperkokoh eksistensi elite-elite parpol besar yang telah mapan semata.
Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Guillermo O’Donnell dan kawan-kawan pernah melakukan serangkaian studi mengenai fenomena transisi demokrasi yang terjadi di Amerika Latin dan Eropa Selatan --yang menghasilkan karya mereka Transitions from Authoritarian Rule (1986)-- secara sederhana menjelaskan “transisi” sebagai “interval waktu antara satu rezim politik dan rezim politik yang lain”.[3] Secara lebih jelas Juan J. Linz dan Alfred Stepan merumuskan bahwa suatu transisi demokrasi berhasil dilakukan suatu negara jika (a) tercapai kesepakatan mengenai prosedur-prosedur politik untuk menghasilkan pemerintahan yang dipilih; (b) jika suatu pemerintah memegang kekuasaannya atas dasar hasil pemilu yang bebas; (c) jika pemerintah hasil pemilu tersebut secara de facto memiliki otoritas untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan baru; dan (d) kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang dihasilkan melalui demokrasi yang baru itu secara de jure tidak berbagi kekuasaan dengan lembaga-lembaga lain.[4]
Menurut pandangan O’Donnell dan Schmitter, proses transisi demokrasi mencakup tahap liberalisasi politik dan tahap demokratisasi, yang bisa berlangsung secara gradual –liberalisasi lebih dahulu kemudian berlanjut kepada demokratisasi- atau secara bersama-sama dan sekaligus, atau bisa juga suatu transisi tanpa tahap demokratisasi sama sekali. Menurut kedua ahli tersebut, liberalisasi politik hanya mencakup perluasan serta perlindungan bagi hak-hak dan kebebasan individu maupun kelompok dari kesewenangan negara atau pihak lain, tanpa perubahan struktur pemerintahan dan akuntabilitas penguasa terhadap rakyatnya. Dengan begitu, maka demokratisasi harus mencakup perubahan struktur pemerintahan (yang otoriter) dan adanya pertanggungjawaban penguasa kepada rakyat (yang sebelumnya tidak ada). O’Donnell dan Schmitter menyebut transisi yang bermuara pada liberalisasi ini sebagai liberalized authoritarianism.[5]
Sementara itu dalam perspektif Larry Diamond,[6] konsolidasi demokrasi mencakup pencapaian tiga agenda besar, yakni (a) kinerja atau performance ekonomi dan politik dari rezim demokratis; (b) institusionalisasi politik (penguatan birokrasi, partai politik, parlemen, pemilu, akuntabilitas horizontal, dan penegakan hukum); dan (c) restrukturisasi hubungan sipil-militer yang menjamin adanya kontrol otoritas sipil atas militer di satu pihak dan terbentuknya civil society yang otonom di lain pihak. Apabila perspektif Diamond serta Linz dan Stepan dikaitkan dengan problematik demokratisasi di Indonesia pasca Orde Baru. maka tampak dengan jelas bahwa masih banyak persoalan krusial dalam upaya konsolidasi demokrasi.
Seperti diingatkan Diamond, keberhasilan penyelenggaraan pemilihan umum hanya sekadar prasyarat prosedural bagi suatu demokrasi yang terkonsolidasi. Kinerja politik dan ekonomi pemerintah baru hasil pemilu, misalnya, jelas masih perlu diperdebatkan mengingat arena bagi pemerintah untuk mewujudkan aspirasi publik sangat ditentukan oleh, pertama, dukungan partai-partai, baik di parlemen maupun di dalam pemerintahan sendiri; dan kedua, dukungan birokrasi negara, baik sipil maupun militer. Dilemanya, baik partai-partai politik di parlemen, maupun birokrasi negara yang diperlukan pemerintah baru untuk mendukung optimalisasi kinerjanya masih terperangkap pada perilaku dan budaya lama, yakni “dilayani” ketimbang “melayani” masyarakat.
Perspektif teoritis Diamond menggarisbawahi bahwa agenda institusionalisasi politik adalah salah satu faktor kunci bagi suatu demokrasi yang terkonsolidasi. Di dalamnya tidak hanya tercakup reformasi birokrasi dan penguatan institusi pemerintahan, melainkan juga penguatan partai-partai politik, parlemen, dan reformasi pemilu, selain penguatan akuntabilitas horizontal dan penegakan supremasi hukum.
Dalam konteks Indonesia pasca Orde Baru upaya reformasi institusional atau kelembagaan sebenarnya telah dimulai pada era pemerintahan BJ Habibie yang ditandai dengan perubahan UU Pemilu, UU Kepartaian, dan UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD (UU Susduk). Atas dasar perubahan itu maka pemilu bebas dan demokratis pertama pasca Orde Baru diselenggarakan pada Juni 1999. Pemilu di bawah sistem multipartai tersebut kemudian menghasilkan DPR, MPR dan pemerintah baru yang mengagendakan reformasi konstitusi melalui empat tahap perubahan (amandemen), yakni amandemen pertama (1999) dan kedua (2000) pada era Presiden Abdurrahman Wahid, serta amandemen ketiga (2001) dan amandemen keempat (2002) pada era Presiden Megawati Soekarnoputeri.
Tampak mulai disadari, kendati agak terlambat, bahwa konsensus prosedural dalam rangka efektifitas format politik baru tak mungkin dicapai tanpa reformasi konstitusi karena sistem demokrasi yang stabil hanya bisa tumbuh jika konsitusi yang memayunginya cukup memadai untuk itu. Para ahli yang mendalami masalah transisi demokrasi menggarisbawahi pentingnya reformasi konstitusi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses transisi menuju konsolidasi demokrasi.[7]
Amandemen atas UUD 1945 pada akhirnya memang berhasil dilakukan, namun sulit dibantah bahwa dalam realitasnya perubahan yang dilakukan oleh MPR atas konstitusi tersebut cenderung bersifat tambal sulam.[8] Paling kurang ada tiga kelemahan mendasar pada hasil amandemen yang dilakukan Badan Pekerja MPR atas UUD 1945 sehingga diperlukan suatu komisi konstitusi yang bersifat independen --dibentuklah Mahkamah Konstitusi--. Pertama, proses amandemen yang cenderung terjebak pada kepentingan jangka pendek dari elite partai-partai di parlemen. Kedua, kualitas dan substansi perubahan yang cenderung inkonsisten dan tambal-sulam satu sama lain. Dan ketiga, format legal drafting perubahan yang tidak sistematik dan tak terpola serta membingungkan sehingga menyulitkan pemahaman atasnya sebagai hukum dasar.[9]
Dalam konteks substansi hasil amandemen, di satu pihak hendak dibangun sistem pemerintahan presidensiil yang kuat, stabil, dan efektif, namun di sisi lain obsesi besar tersebut tidak didukung oleh struktur perwakilan bicameral yang kuat pula.[10] Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang semestinya merupakan salah satu “kamar” dari sistem perwakilan dua-kamar, bahkan tak jelas karena kekuasaan dan hak-haknya yang sangat terbatas. Tidak mengherankan jika para anggota DPD dewasa ini mempertanyakan relevansi keberadaan mereka dalam sistem yang berlaku.[11] Sebaliknya, para politisi di Panitia Ad-Hoc I MPR selaku penyusun konstitusi justru makin memperkuat posisi, kedudukan, kekuasaan, dan hak-hak DPR melebihi yang seharusnya dimiliki oleh DPR dalam konteks sistem presidensiil.
Selain itu, UUD 1945 hasil amandemen tidak melembagakan berlakunya mekanisme checks and balances di antara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan utama, yakni lembaga eksekutif-legislatif pada khususnya dan eksekutif-legislatif-yudikatif pada umumnya. Di satu pihak, suatu UU dapat tetap berlaku apabila dalam waktu 30 hari tidak disahkan oleh Presiden, namun di pihak lain Presiden tidak memiliki semacam hak veto untuk menolak UU yang telah disetujui DPR. Padahal tegaknya prinsip checks and balances bersifat mutlak karena menjadi salah satu fondasi utama bagi stabilitas dan efektifitas sistem pemerintahan presidensiil. Urgensi prinsip saling mengawasi secara seimbang itu diabaikan pula oleh konstitusi hasil amandemen dalam hal relasi DPR sebagai representasi perwakilan rakyat dan DPD sebagai representasi perwakilan wilayah.
Substansi hasil amandemen yang juga tidak koheren dan inkonsisten dengan kebutuhan pembentukan sistem presidensiil yang kuat dan efektif adalah kedudukan dan kelembagaan MPR, serta ketidakjelasan tata-hubungan lembaga yudikatif menyusul keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY) selain Mahkamah Agung (MA) yang telah ada sebelumnya. MPR yang semestinya merupakan sidang gabungan (joint session) antara DPR dan DPD justru menjadi lembaga permanen dengan kepemimpinan permanen pula.[12]
Reformasi kelembagaan yang cenderung tambal-sulam dan mengabaikan koherensi dan konsistensi juga tercermin dalam UU bidang politik –UU Partai Politik (No. 31/2002), UU Pemilu (No. 12/2003), UU Pemilu Presiden (No. 23/2003), dan UU Susduk (No. 22/2003)—dalam rangka Pemilu 2004. Secara teoritis, pilihan atas sistem pemilu seharusnya merupakan konsekuensi logis dari pilihan terhadap sistem perwakilan, sedangkan pilihan atas sistem kepartaian adalah konsekuensi logis dari pilihan terhadap sistem pemilu.[13] Namun dalam realitasnya kita mempertahankan sistem proporsional (proportional representation system) untuk pemilu legislatif, suatu pilihan politik sebenarnya tidak tepat karena sistem proporsional merupakan basis bagi terbentuknya sistem multipartai. Padahal, sistem presidensiil tak akan pernah bisa bekerja efektif apabila fragmentasi dan polarisasi partai terlalu tinggi seperti sistem multipartai yang berlaku dewasa ini.[14]
Selain problematik yang dikemukakan di atas, reformasi kelembagaan yang tambal-sulam juga tampak dari diabaikannya urgensi keberadaan UU Lembaga Kepresidenan. Di dalam suatu UU Lembaga Kepresidenan tak hanya bisa diatur wilayah politik yang menjadi kewenangan Wakil Presiden --karena terbatasnya pengaturan oleh konstitusi— melainkan juga format kabinet yang seharusnya berlaku untuk memperkuat dan mengefektifkan pemerintahan presidensiil. Disharmoni relasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla tak perlu terjadi seandainya ada pengaturan yang jelas mengenai apa saja sesungguhnya wilayah kewenangan Wapres dalam “membantu” Presiden.[15] Begitu pula, tarik-menarik kepentingan partai-partai politik dalam pembentukan kabinet atau dalam isu reshuffle kabinet tak perlu terjadi jika Presiden cukup percaya diri bahwa pemerintahannya bukanlah kabinet partai-partai atau koalisi partai seperti berlaku di dalam sistem parlementer. Di sisi lain, para politisi partai kita semestinya menyadari bahwa mandat dan legitimasi Presiden dalam suatu sistem presidensial tidak berasal dari parlemen ataupun partai-partai, melainkan dari rakyat secara langsung.
Pengalaman lebih dari sewindu reformasi memperlihatkan bahwa hampir selalu terdapat kesenjangan antara obsesi para wakil rakyat dengan tindakan, perilaku, dan pilihan politiknya. Dalam konteks sistem pemerintahan misalnya, di satu pihak para politisi mengobsesikan sistem presidensiil, tetapi di pihak lain tindakan dan perilaku politik mereka cenderung berorientasi parlementer. Kecenderungan perilaku parlementarian itu pula yang tampak di balik isu tarik-menarik dukungan terhadap pemerintahan sekarang ini.
Partai Politik dan Faksionalisme
Parpol adalah institusi dan instrumen inti dari demokrasi. Salah satu fenomena menonjol yang sangat menarik untuk diamati dalam konteks politik internal partai adalah mengenai faksionalisme atau pengelompokan dalam organisasi internal partai. Dalam wacana ilmu politik, tipologi mengenai jenis-jenis faksi dalam tubuh partai politik, menempati ruang perdebatan tersendiri. Tipologi yang cukup sederhana digagas oleh Belloni (1978) yang memilah jenis faksi dalam parpol menjadi tiga tipe.
Pertama, adalah jenis faksi yang terbentuk karena kesamaan pandang dalam melihat isu-isu politik. Dengan ikatan yang sangat informal, faksi jenis ini biasanya tidak berusia panjang dan hanya eksis pada saat merespon isu-isu strategis dalam partai. Kedua, adalah kelompok dalam partai yang terbentuk dengan pola patron-klien atau pemimpin-pengikut (Scott, 1976 yang dipopulerkan oleh Sutherland, 1979).[16] Biasanya sangat dipengaruhi oleh faktor personal leaderships, yaitu persaingan tokoh-tokoh berpengaruh dari suatu partai yang masing-masing mempunyai konstituen yang jelas. Ketiga, adalah tipe faksi yang paling formal dan terorganisasi. Faksi jenis ini, biasanya tidak saja mempunyai nama resmi, tetapi juga kesekretariatan dan program-program tersendiri. Bahkan pada banyak kasus seperti di Jepang dan Italia misalnya, eksistensi faksi ini dijamin oleh anggaran dasar dan rumah tangga (AD/ART) partai.
Disisi lain, faksionalisme seringkali diasumsikan sebagai hal yang negatif. Pandangan ini bukannya tidak mempunyai landasan teoritis. Huntington memandang secara apriori terhadap gejala faksionalisme.[17] Menurutnya, organisasi politik seperti parpol, harus memperhatikan faktor koherensi dan soliditas. Semakin solid dan lekat suatu organisasi politik, maka semakin tinggi pula tingkat institusionalisasi politiknya.
Rapoport, seorang intelektual Prancis bahkan secara lebih gamblang menegaskan bahwa membangun parpol, tidaklah jauh berbeda dengan membangun angkatan perang yang memerlukan disiplin dan kordinasi. Karenanya, faksionalisme dianggap sebagai antitesis dari koherensi dan soliditas, serta hanya akan memberikan dampak yang negatif terhadap performa parpol kedepan.
Artinya faksionalisme hanya akan menimbulkan inefektifitas, inefisiensi, disfungsi dan selanjutnya melemahkan otoritas dan legitimasi kepengurusan parpol. Pada skala tertentu, faksionalisme bahkan kerap berujung pada eksodus secara masif dari partai dengan mendirikan partai-partai baru yang selanjutnya dapat menjadi ancaman bagi berlangsungnya sistem kepartaian dan stabilitas politik disuatu negara.
Sebaliknya, tidak sedikit juga yang menganggap bahwa faksionalisme diperlukan bagi gerakan dan dinamika kepartaian. Graham (1993) mengkritik kecenderungan para pemerhati faksionalisme yang lebih tertarik untuk menganalisis faksionalisme secara parsial dari perspektif perebutan kekuasaan dan menafikkan perspektif penting lainnya. Menurut Graham, cara pandang Huntington akan menimbulkan bias karena mengabaikan penyebab faksionalisme yang bersifat filosofis, doktrinal ataupun kebijakan. Pada beberapa kasus, faksionalisme ternyata menimbulkan pengaruh yang sangat positif bagi performa parpol.[18]
Faksionalisme dapat berfungsi sebagai sarana artikulasi berbagai kepentingan yang berbeda dalam tubuh partai. Eksistensi faksi tidak hanya menjamin tersedianya alternatif kebijakan dalam partai, tetapi juga dapat beroperasi sebagai mekanisme kontrol horizontal dan menegakan prinsip-prinsip akuntabilitas partai. Demokrasi internal partai, pada beberapa kasus tersebut sangat ditentukan oleh tingkat pelembagaan faksi-faksi dalam tubuh partai.
Perdebatan mengenai faksionalisme ini, akan semakin menarik jika dikaitkan untuk memahami fenomena serupa yang terjadi di Indonesia. Menjamurnya pendirian parpol, dengan cepat juga diringi oleh gejala-gejala faksionalisme. Konfigurasi faksi politik partai yang sangat menarik bisa diamati pada tubuh PPP, PKB, dan PDIP. PDIP sebagai partai pemenang pertama pemilu 1999 dan pemenang kedua pada pemilu 2004 ini ditengarai memiliki banyak faksi. Polarisasi tajam dalam tubuh PDIP semakin menjadi sorotan ditahun 2005 ketika publik disuguhkan dengan hadirnya Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) pimpinan Laksamana Sukardi sebagai sempalan PDIP.
Secara umum tipe faksionalisme yang terbentuk di Indonesia, mengacu kepada tipologi versi Belloni yang dapat digolongkan pada tipe pertama (kesamaan pandangan politik) dan kedua (personal leadership or patron-client). Sesungguhnya, fenomena faksionalisme bukanlah fenomena yang langka dan istimewa. Faksionalisme merupakan proses politik yang terjadi secara alamiah. Ketika negara tidak dilihat sebagai aktor tunggal, maka semestinya partai politik pun tidak dapat diasumsikan sebagai aktor yang uniter pula.
Dalam konteks Indonesia, paling tidak ada dua faktor yang membuat isu faksionalisme menjadi begitu penting. Pertama, adalah ketidaksiapan publik dan juga para aktor politik untuk menempatkan perbedaan sikap pandang politik dalam porsi yang wajar. Kedua, adalah menyangkut dampak faksionalisme terhadap fungsi partai dan lebih jauh lagi sistem politik dan proses demokratisasi di Indonesia. Faktor pertama sangat berkaitan dengan faktor yang kedua. Artinya prilaku-prilaku tidak demokratis dalam menyikapi faksionalisme hanya akan menciptakan pembusukan politik dan merintangi demokratisasi. Andai saja sistem kepartaian di Indonesia mempunyai perangkat yang lengkap dalam hal pengaturan faksionalisme, maka terjadinya konflik-konflik politik yang destruktif akan dapat diminimalisir.
Studi perbandingan mengenai dampak dari faksionalisme terhadap sistem politik di berbagai negara menunjukan hasil yang beragam. Namun demikian, pelajaran berharga yang dapat diambil dari hasil studi tersebut menunjukan bahwa faksionalisme merupakan hal yang sulit dihindari dalam sistem politik kepartaian modern. Dalam partai sesolid dan sedominan Nazi ataupun partai komunis misalnya, faksionalisme tetaplah hadir. Dampak dari faksionalisme bagi sistem politik akan sangat ditentukan oleh keberhasilan mengelola faksionalisme secara demokratis. Faksionalisme hanya akan berimbas secara negatif bagi sistem politik, ketika ada kelemahan-kelemahan dalam mekanisme pengaturannya.
Dalam sistem kepartaian di Indonesia, mekanisme pengaturan faksionalisme belumlah diatur dalam perundang-undangan yang ada. Pengaturan masalah faksionalisme adalah suatu keniscayaan dalam konteks institusionalisasi politik. Perumusan aturan mengenai faksi politik secara rinci dalam konstitusi partai dengan didasari semangat untuk mengakomodasi perbedaan dalam koridor ideologi partai akan memadukan secara sempurna antara upaya demokratisasi internal partai dan institusionalisasi partai.
Bagi partai politik, pengaturan faksionalisme juga dapat diletakan dalam kerangka strategi politik partai. Dibukanya ruang faksionalisme berarti memberikan tawaran dan pilihan yang lebih kepada pemilih atau biasanya disebut ”catch all policy”. Kasus terbelahnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) atau Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan Partai Bintang Reformasi (PBR) dapat saja dijelaskan dalam konteks ini, ketika partai berusaha menjaga konstituennya dengan memberikan pilihan orientasi politik yang berbeda. Akan sangat menarik untuk mengkaji model pengaturan mana yang dapat diterapkan di Indonesia. Apakah meniru model Jepang dan Italia yang melembagakan secara formal faksi-faksi dalam partai,[19] ataukah model Amerika yang longgar seperti misalnya Republican Wednesday Club di Partai Republik, atau House Democratic Study Group di Partai Demokrat.
Dalam konteks sistem politik, pelembagaan faksionalisme di Indonesia dapat dimaknai sebagai salah satu terobosan untuk menjaga kestabilan sistem kepartaian di Indonesia. dengan didasari asumsi bahwa upaya tersebut akan menjaga keseimbangan jumlah parpol di Indonesia. Keseimbangan jumlah partai ini adalah hal yang signifikan dalam mengokohkan sistem presidensil. Akanlah sulit untuk membangun kelembagaan kepresidenan dengan tingkat legitimasi yang tinggi, tetapi diatas banyak kaki dengan tatanan sistem multipartai. Pengaturan faksionalisme akan menjadi satu pilihan logis untuk membuka seluas mungkin saluran politik bagi rakyat, sekaligus membatasi jumlah partai dan meneguhkan sistem presidensil.
Oligarki Partai Politik
Sebelum berbicara terlalu jauh, harus dipahami dulu konteks historis munculnya sebuah konsep oligarki. Oligarki sebagai sebuah konsep dikembangkan secara sistematik oleh Aristoteles dan mengacu pada entitas politik yang sederhana dan homogen sehingga kekuasaan dilaksanakan oleh segelintir orang, dilakukan dengan komando, tanpa partisipasi, tanpa negosiasi, tanpa kompromi di antara kekuatan yang pluralistik.
Ketika masyarakat berkembang dan lebih kompleks, di mana tarik-menarik antara kekuatan di tingkat massa ataupun elite dan antara kekuatan elite dan kekuatan masyarakat menjadi gejala yang umum, oligarki dalam prakteknya tidak mungkin muncul, yang muncul adalah poliarki. Karena itu, pada zaman imperium Romawi yang tidak demokratis sekalipun, oligarki tidak terlihat karena pluralisme elite terjadi. Akan tetapi, gereja dan kaisar, masyarakat dan negara, merupakan kekuatan-kekuatan tarik-menarik yang tak bisa dipandang sebagai gejala oligarki.
Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 konsep oligarki kembali dipakai, terutama oleh Michels,[20] seorang aktivis intelektual Marxis/Sosialis. Perhatian Michels hanya pada parpol, terutama Partai Sosialis, dan Partai Serikat Buruh. Di parpol yang menyebut dirinya sosialis atau demokratik sekalipun, menurut Michels, kecenderungan oligarki tak terhindarkan. Demikian juga pada organisasi buruh. Michels menemukan pada partai dan organisasi buruh apa yang disebutnya iron law of oligarchy (hukum besi oligarki). Pada akhirnya kekuatan dan kepentingan elite dari sebuah partai dan sebuah organisasi yang menentukan, bukan massa atau anggota pendukung mereka. Di situ tidak ada power sharing antara dua atau lebih kelompok elite dari latar belakang kekuatan sosial atau partai berbeda.
Dalam oligarki tidak ada bagi-bagi kekuasaan, tapi penumpukan kekuasaan. Disisi lain, konsep oligarki Michels sendiri sudah dipandang terlalu kuno untuk memahami gejala parpol dan organisasi sosial yang lebih modern dan kompleks. Dewasa ini, oligarki politik terjadi tatkala parpol-parpol besar yang ada di parlemen baik dipusat atau daerah, saling dukung-mendukung satu sama lain dalam memproteksi eksistensi mereka dari kehadiran pemain politik muka baru.
Terkait dengan konsep oligarki, keprihatinan de Tocqueville tentang tirani mayoritas, juga kehilangan relevansinya dalam konteks demokrasi modern. Menurut Dahl, baik mayoritas maupun minoritas sama-sama punya potensi untuk menjadi tirani.[21] Karena itu, masalahnya bukan pada soal mayoritas ataupun minoritas tapi pada sejauh mana keputusan-keputusan politik menyimpang dari kehendak rakyat. Itu bisa terjadi pada kekuatan mayoritas maupun minoritas, karena itu, bukan mayoritas ataupun minoritas yang menjadi pokok persoalan dalam konteks politik Indonesia.
Sementara itu, kekhawatiran dengan lumpuhnya check and balances ketika eksekutif dan legislatif dikuasai oleh kekuatan mayoritas yang sama, sebenarnya dari sisi realitas tidak punya pijakan empiris yang memadai. Apa yang terjadi di Prancis, Inggris, Australia, Jerman dan Amerika ketika presiden dan kekuatan mayoritas di kongres atau perlemen dikuasai oleh kekuatan politik yang sama? Apakah check and balances di negara-negara itu lumpuh, dan karena itu apakah demokrasi mereka kurang bermutu atau bahkan tidak jalan?.[22]
Filosofi dasar yang bisa dipakai untuk menjelaskannya berpijak pada asas daulat rakyat. Bahwa, bagaimanapun parpol adalah kepanjangan tangan dari rakyat, dan dengan demikian yang berdaulat semestinya rakyat itu sendiri. Sementara parpol hanya menjalankan tugasnya sebagai himpunan penyalur aspirasi politik publik. Membentuk parpol adalah hak dari setiap kelompok yang ada di masyarakat. Hal ini merupakan ekspresi dari daulat rakyat tersebut. Parpol menawarkan programnya, lantas rakyat berhak mendukung atau tidak.
Namun justru karena posisinya yang abstrak, biasanya kedaulatan rakyat itu dimanipulasikan oleh parpol-parpol (elite-elite) demi kepentingan politiknya. Dukungan pemilih kerap sekedar hanya dijadikan anak-tangga politik. Yang dipakai hanyalah legitimasi politik agar parpol eksis, terutama para elitenya. Tidaklah mengeherankan bila, karena memang keenakan posisi atau disebabkan oleh hukum kekuasaan yang tidak mudah untuk diserahkan ke yang lain, maka oligarki politik pun menjangkiti internal parpol. Perpecahan parpol yang bisa disaksikan belakangan, banyak yang disebabkan oleh fenomena oligarki politik internal. Kalangan internal yang tidak puas, tampaknya menemukan jalan keluar baru, yang di masa orde baru tak mungkin dilakukan yaitu membentuk parpol baru. Demokrasi bukan oligarki, dan demokrasi tidak mempersyaratkan adanya monopoli politik bersama, dan menafikan kelompok lain yang menjadi pesaing mereka. Sementara oligarki memang merupakan wujud dari monopoli politik bersama itu.
Demokrasi mempersyaratkan kompetisi politik secara bebas, di mana daulat rakyat menempati posisi paling strategis, antara lain karena mereka sumber legitimasi. Bila oligarki politik, ternyata hanya memperkuat posisi beberapa kekuatan politik saja, dan mematikan yang lain atas upaya-upaya yang dilakukan secara sitematis, maka, sama saja hal itu mencederai demokrasi.
Proses politik di Indonesia selama ini dalam konteks tertentu masih kental menampak-kan gejala oligarki politik. Kekuatan politik formal yang ada sekarang, yakni mereka yang duduk di DPR dan MPR, bagaimanapun masih memiliki kekuatan penuh untuk menentukan desain politik selanjutnya. Kalangan yang kecewa terhadap hasil amandemen UUD 1945 misalnya, kerap menuding bahwa telah terjadi ”politik dagang sapi” yang merupakan derivat dari fenomena oligarki politik. Namun demikian, kekuatan-kekuatan politik formal itu tentu akan menyangkal, bila mereka telah terjebak pada oligarki politik. Justru upaya-upaya politik mereka selama ini, dimaksudkan untuk menerobos kebuntuan politik.
Oligarki politik merupakan salah satu problem dalam kehidupan demokrasi politik. Tantangan yang dihadapi oleh sistem politik demokratis antara lain bagaimana ia mampu menetapkan mekanisme politik yang tidak mengingkari filosofi dasar daulat rakyat, dalam tampilan politik riil. Dalam sistem multipartai misalnya, kalau tidak terkelola dengan baik, maka ia bisa menjadi bumerang bagi demokrasi itu sendiri. Demokrasi akhirnya dijadikan kambing hitam atas anarkisme yang muncul. Dan demokrasi yang berakhir anarki hanyalah memunculkan lawannya, yaitu diktaktor. Tantangan demokrasi itu, juga mengarah pada bagaimana mereduksi fenomena oligarki politik yang bisa berujung pada ”kediktaktoran bersama”.
Perubahan sistem politik nasional sejak jatuhnya orde baru hingga kini, telah menunjukkan perkembangan berarti. Namun demikian, haruslah diakui masih banyak kekecewaan yang perlu dikemukakan. Proses reformasi, masih mengalami kendala-kendala yang tidak saja disebabkan oleh kultur politik masa lampau yang masih belum hilang sepenuhnya, namun juga oleh fenomena oligarki politik. Perubahan sosial politik, usai pemilu tahun 1999 dan 2004 antara lain ditandai oleh masuknya banyak pemain baru di pentas politik nasional. Itulah keseimbangan politik yang muncul, menyusul dibukanya kran sistem multipartai.
Merujuk kritik Bung Hatta pada Bung Karno,[23] oligarki politiklah yang pada akhirnya diharapkan menopang Demokrasi Terpimpin yang dikehendaki Bung Karno. Hatta menyayangkan, bahwa pada perkembanganya semua anggota DPR ditunjuk oleh presiden, maka ”lenyaplah demokrasi yang penghabisan”.
Kasus Demokrasi Terpimpin Bung Karno, mencontohkan fenomena oligarki politik di mana ada sosok pemimpin kharismatik yang harus diturut. Pada zaman orde baru oligarki politik terjadi, bukan oleh kehadiran sosok seperti Bung Karno, melainkan sosok yang dengan dukungan militer sepenuhnya, memaksakan diri untuk membuat oligarki politik yang bersifat monopolitik, mewujud dalam komposisi politik Golkar, yang terdiri dari tiga jalur ABRI (sekarang TNI), Birokrasi, dan (politisi) Golkar (ABG). Oligarki politik Orde Baru dilengkapi oleh dua partai politik ”pelengkap penderita” yaitu PPP dan PDI yang dihasilkan dari fusi parpol-parpol pada tahun 1973. Desain politik orde baru yang oligarkis itu, tidak menghendaki munculnya parpol lain selain tiga orsospol peserta pemilu yang ada (Golkar, PPP dan PDI). Demokrasi yang dijalankan, tampak setengah hati dan sengaja dibuat statis dan tidak berkembang.
Pada masa pasca orde baru, oligarki politik terbentuk lewat proses politik yang cenderung alamiah. Parpol-parpol besar yang established, tampaknya cenderung suka memutuskan kebijakan politik yang bermakna mempertegas posisi mereka dari proses politik yang demikian kompetitif, dan gejala ini harus selalu diwaspadai. Seharusnya, parpol-parpol mapan yang kini dominan di parlemen, bertindak secara fair dan tidak diskriminatif dalam mengambil kebijakan. Seharusnya, tidak usah takut, bila kelak komposisi politik berubah seiring dengan dinamika dukungan politik masyarakat. Oligarki politik, selain akan menjadi bumerang bagi eksistensi mereka sendiri, juga cenderung menyimpang dari keadilan demokrasi. Inflasi parpol diharapkan bisa menepis oligarki politik yang kebablasan. Bagi parpol-parpol mapan, semoga inflasi parpol dibaca sebagai kritik serius atas eksistensi dan perannya selama ini.
Ditinjau dari kriteria prosedural, Indonesia telah mencapai banyak kemajuan. Namun demikian, perkembangan ini hanyalah tahap awal dari proses panjang menuju konsolidasi demokrasi. Tahap konsolidasi menghendaki perhatian pada segi-segi substanstif, yang menjamin terwujudnya esensi demokrasi, seperti pemberdayaan rakyat (popular empowerment) dan pertanggungjawaban sistemik (systemic responsiveness).
Dalam situasi ini, perjuangan kaum demokrat memasuki babak baru yang lebih kompleks. Medan pertarungan bukan lagi antara kaum demokrat melawan pemerintahan otoriter tapi, antara sesama pendukung demokrasi. Pemenangnya akan menentukan apakah pemerintahan demokrasi makin terkonsolidasi dan melayani kepentingan mayoritas. Atau sebaliknya, yang terjadi adalah konsolidasi pemerintahan teknokratis yang dijalankan dan dikontrol oleh oligarki.
Peran Civil Society
Oligarki politik lebih terkorekasi dengan baik jika masyarakat sipil (civil society) diperkuat dan lebih berperanan terhadap proses perkembangan dan arah reformasi di Indonesia. Civil society yang dimaksud di sini adalah institusi sosial yang merdeka, bebas dari pengaruh negara, dan oleh sebab itu bersifat mandiri dan otonom. Masyarakat sipil harus berjuang keras demi masa depan bangsa yang lebih baik dengan menyelamatkan proses reformasi yang dewasa ini sedang berlangsung.
Untuk itu perlu terlebih dahulu dilakukan sedikit review terhadap perkembangan proses reformasi yang telah berlangsung selama ini. Pencermatan terhadap kehidupan politik selama kurang lebih sembilan tahun terakhir ini (sejak 1998) dapat dilihat dalam dua perspektif. Pertama, prosedural-tekstual dan kedua kedua secara substansial.
Dalam perspektif pertama, dapat dikatakan bahwa proses demokratisasi di Indonesia telah berlangsung dengan sangat cepat. Perubahan-perubahan yang mendasar sebagai upaya membangun struktur kekuasaan baru telah dilakukan. Perubahan paling mendasar adalah bagaimana perwujudan kedaulatan rakyat dituangkan dalam suatu konstitusi. Hal itu dapat dilihat dalam UUD ’45 yang baru, khususnya yang berkenaan dengan pemilihan presiden langsung (yang kemudian diikuti dengan pemilihan kepala daerah secara langsung), pembentukan parlemen dua kamar, dibentuknya Mahkamah Konstitusi dan lembaga-lembaga lainnya. Sementara itu pada aspek prosedural telah dilakukan pemilihan umum untuk anggota parlemen tahun 1999. Pada tahun 2004 telah dilakukan pula pemilihan anggota legislatif baik DPR maupun DPD, dan pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung.
Di kaji dari sisi prosedural-tekstual, Indonesia telah terjadi perkembangan politik yang dianggap sebagai kemajuan, tidak demikian dengan perkembangan politik jika dilihat dari perspektif substansial. Dalam perspektif ini, proses demokratisasi masih sangat mengecewakan. Hal itu dapat dicermati melalui beberapa hal. Pertama, performance partai politik sebagai pilar demokrasi selama ini sangat mengecewakan masyarakat. Penampilan mereka yang diwakili oleh para anggota parlemen mulai dari tingkat pusat sampai daerah adalah perilaku yang sangat bertentangan sebagai orang yang mendapatkan mandat kekuasaan dan kepercayaan masyarakat.
Persoalan pokoknya adalah partai politik masih sekadar kumpulan para elite yang berburu kekuasaan. Selain itu kultur politik internal partai sebagian besar masih feodalistik. Sesuatu yang ironis bahwa struktur politik secara makro bergerak ke arah demokratisasi, tetapi pilar demokrasi sendiri masih memelihara nilai-nilai paternalistik. Tidak sedikit tokoh-tokoh partai menunjukkan sikap dan perilaku yang sangat berorientasi kepada kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Perilaku yang demikian akhirnya menimbulkan sikap tidak simpati masyarakat kepada partai politik.
Dalam kaitan ini, agenda yang sangat penting, mendasar serta mendesak bagi partai politik ke depan adalah pengkaderan. Partai politik harus mampu memproduksi kader-kader partai politik yang memadai untuk menjalankan organisasi partai politik. Partai harus dapat mendidik kader sehingga mereka mempunyai karakter dan mentalitas bahwa keberadaannya sebagai kader partai adalah panggilan hidup, karena cita-cita atau karena keyakinan. Kemudian, ketika kader hasil binaannya memiliki potensi untuk berkembang, elite politik di partai bersangkutan harus memberikan support yang maksimal dan bukannya ”membunuhnya” karena dianggap sebagai saingan.[24]
Para kader partai politik juga harus digembleng agar mempunyai keterampilan menerjemahkan ideologi partai menjadi kebijakan publik. Selain itu mereka juga harus dididik mempunyai semangat kebersamaan dan kesetaraan. Artinya, sebagai kader mereka mempunyai kesempatan yang sama untuk meniti karier sampai jenjang tertinggi pada partai yang bersangkutan.
Tanpa adanya proses kaderisasi partai-partai politik hanya akan menjadi institusi yang menjadi instrumen perebutan kekuasaan demi kekuasaan itu sendiri. Bila partai politik tidak melakukan proses pengkaderan yang benar, hal itu tidak akan hanya berdampak negatif terhadap kelangsungan hidup partai politik, tetapi pertaruhan yang lebih besar adalah masa depan bangsa secara keseluruhan.
Jika dicari sebabnya, situasi yang sekarang sedang berlangsung adalah produk dari partai-partai politik yang secara mendadak memperoleh kekuasaan tanpa mempunyai persiapan kader yang memadai. Oleh karena itu, terlalu banyak mengharapkan perubahan yang lebih baik dari suatu rezim yang sumber rekrutmen elitenya sangat miskin pengalaman, keterampilan serta komitmen terhadap ideologi perjuangan yang rendah adalah sesuatu yang berlebihan.
Kedua, proses demokratisasi telah memproduksi sistem oligarki baik di lingkungan partai politik maupun di lembaga-lembaga politik lainnya, terutama parlemen, mulai dari tingkat pusat sampai daerah. Parlemen dan partai politik dijadikan sarana untuk menyalurkan sumber daya negara guna memperkuat patronage politik.
Politik oligarkis telah menghasilkan berbagai undang-undang, antara lain UU Susunan dan Kedudukan Anggota Parlemen, UU Pemilu Legislatif dan UU Pemilihan Presiden/Wakil Presiden secara langsung yang didasarkan atas kompromi-kompromi politik yang sangat oportunistik. Pada gilirannya UU yang demikian hanya akan menghasilkan elite-elite politik baru yang tidak akan peduli, apalagi memihak kepada keprihatinan dan kepentingan rakyat banyak.
Undang-undang hanya sebagai instrumen untuk meneguhkan kekuasaan dan hanya memberikan sedikit ruang bagi kontrol masyarakat terhadap masyarakat politik. Akibatnya, jumlah peraturan perundangan yang telah diproduksi oleh lembaga perwakilan selama masa reformasi tidak ada korelasi yang positif dengan penegakan hukum. Hasil pemilihan umum 2004 sebagai pemilu kedua pasca Orde Baru secara nyata telah menghasilkan masyarakat politik yang tidak jauh berbeda kualitasnya (dalam arti mempunyai komitmen yang konsisten terhadap aspirasi, kehendak, dan keprihatinan masyarakat layaknya pemilu orde baru dahulu). Artinya, agenda proses reformasi tidak dapat hanya diserahkan kepada masyarakat politik.
Di sinilah perlunya penyadaran masyarakat secara terus-menerus bahwa setiap pemilihan umum harus dapat dijadikan sebagai peradilan rakyat. Artinya, rakyat harus dicerahkan agar dapat mengetahui kandidat-kandidat anggota parlemen serta kandidat presiden/wakil presiden yang pantas dipilih pada pemilu 2009. Para kandidat yang bermasalah dalam kaitannya dengan skandal KKN, perusak lingkungan, pelanggar HAM, dan hal buruk lainnya harus dihukum dengan cara tidak memilih mereka kembali dalam pemilu 2009. Sementara itu bagi para kandidat yang bersih dan telah menunjukkan komitmen dan kinerjanya bagi kepentingan rakyat, serta bagi mereka yang tidak mempunyai permasalahan dengan hal-hal di atas, dapat dipilih kembali.[25]
Intinya, persoalan yang sangat mendesak untuk dijawab adalah bagaimanakah peran masyarakat sipil dalam menyelamatkan proses transformasi politik dewasa ini dan nasib bangsa ke depan? Sebab, kegagalan penerapan agenda demokratisasi yang tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan hidup rakyat, ditambah lagi dengan rendahnya tingkat ketertiban sosial, penegakan hukum serta tekanan kehidupan sehari-hari yang semakin berat telah menyebabkan meningkatnya keraguan masyarakat terhadap manfaat proses reformasi.[26]
Jawaban terhadap persoalan tersebut tentu tidak mudah, tetapi secara umum dapat disebutkan bahwa tindakan yang sangat perlu dilakukan adalah memperkuat masyarakat sipil. Tetapi sekali lagi, hal itu tidak sederhana mengingat beberapa hal sebagai berikut. Pertama, masyarakat sipil yang mempunyai andil besar terhadap tumbangnya rezim yang otoriter adalah masyarakat sipil yang terbatas pada kalangan tertentu dan elitis, antara lain mereka itu adalah kalangan mahasiswa dan dosen (civitas akademika), pekerja profesional termasuk pengacara, budayawan, wartawan, dan aktivis dari berbagai organisasi kemasyarakatan.
Kedua, gerakan demokratisasi menumbangkan Orde Baru lebih merupakan upaya menjatuhkan rezim otoriter, tetapi tidak disertai dengan agenda yang jelas dan menyeluruh mengenai proses reformasi selanjutnya. Penyusunan agenda semacam itu tidak mudah mengingat proses reformasi tidak berhasil memisahkan secara hitam-putih, siapa yang dapat dikategorikan sebagai kaum reformis murni dan siapa yang sesungguhnya yang masih menjadi bagian, bahkan inti dari kekuatan sebelumnya.
Ketidakjelasan kategorisasi tersebut mengakibatkan proses perubahan sangat terkontaminasi dengan kekuatan yang sebenarnya ingin mempertahankan tatanan lama, setidak-tidaknya secara oportunistik mereka berpura-pura menjadi tokoh atau agen perubahan, tetapi sebenarnya hanya benalu yang justru akan mematikan benih-benih demokrasi.
Ketiga, watak elitis dari gerakan prodemokrasi berimbas kepada pendekatan selanjutnya dalam mengelola proses perubahan. Gerakan prodemokrasi lebih mengandalkan pendekatan yang elitis berupa tekanan-tekanan terhadap elite politik baik melalui forum public discourse, memobilisasi massa untuk memberikan pressure pada kebijakan yang dianggap tidak adil, dan pendekatan-pendekatan yang lebih personal tetapi mengabaikan konstituensi yang sebenarnya mempunyai kepentingan terhadap suatu masalah yang sedang diperjuangkan.[27]
Pendekatan elitis dalam melakukan agenda perubahan dengan menempatkan sebagai posisi lawan bila berhadapan dengan masyarakat politik yang mempunyai otoritas dalam pengambilan keputusan menjadi tidak efektif. Misalnya kasus-kasus korupsi yang telah dibongkar oleh berbagai komponen masyarakat dan kemudian menjadi lebih transparan setelah dijadikan diskusi terbuka di media massa, tetapi begitu kasus tersebut masuk lembaga penegak hukum atau lembaga peradilan kasus tersebut menjadi tidak jelas ujung pangkalnya.
Menghadapi tantangan yang sedemikian besar, apakah masyarakat sipil mempunyai kekuatan untuk menanggulanginya? Untuk menjawab pertanyaan itu mungkin perlu sedikit menengok ke belakang mengenai keberadaan masyarakat sipil di Indonesia. Sepanjang sejarah politik Indonesia modern, eksistensi masyarakat sipil di Indonesia mengalami pasang surut. Keberadaan serta perannya berbanding terbalik dengan tingkat kontrol negara terhadap masyarakat. Semakin ketat kontrol negara terhadap aktivitas masyarakat semakin kecil peranan dan eksistensi masyarakat sipil. Sebaliknya, semakin demokratis suatu negara semakin berkembang dan signifikan peranan masyarakat sipil.
Dengan mencermati secara singkat pasang surut dan perkembangan historis keberadaan masyarakat sipil, sangat jelas bahwa masyarakat sipil mempunyai peran dan kontribusi yang sangat besar dalam proses demokrasi. Bila hal itu dikaitkan dengan konteks kehidupan politik dewasa ini dan arah perkembangan politik ke depan, maka dalam menyusun strategi penguatan masyarakat sipil pertama-tama perlu ditekankan bahwa perjuangan melawan rezim diktator berbeda dengan perjuangan mewujudkan kehidupan demokrasi.
Kekuatan masyarakat sipil ternyata telah mampu menjatuhkan sistem kekuasan yang otoriter. Tetapi masyarakat sipil karena watak dan ruang lingkup perjuangannya tidak begitu mudah mewujudkan demokrasi. Sebab, mengukir demokrasi secara mutlak memerlukan pembangunan institusi politik baru yang dapat menopang demokrasi serta mengembangkan kultur demokrasi. Khususnya budaya patronage politik dan mental serta paradigma baru yang menempatkan pemimpin adalah hamba atau pelayan rakyat dan bukan satrio piningit apalagi tuan atau ratu adil yang dengan tuahnya dapat mengubah Indonesia menjadi surga. Oleh karena itu perjuangan masyarakat sipil ke depan perlu dilakukan melalui suatu kerangka strategi sebagai berikut.
Pertama, melakukan assesment terhadap masalah yang paling mendasar yang dihadapi bangsa dalam masa transisi dewasa ini. Pembacaan terhadap proses politik selama lebih kurang sembilan tahun terakhir ini, masalah yang sangat fundamental adalah justru perilaku masyarakat politik yang korup dan kolutif adalah penyebab utama proses reformasi terancam gagal. Oleh sebab itu gerakan nasional perlu melakukan identifikasi terhadap mereka yang akan duduk dalam lembaga-lembaga politik dan negara. Selain itu kontrol terhadap mereka harus secara terus-menerus dilakukan.
Kedua, masyarakat sipil perlu melakukan konsolidasi ideologi dan jaringan sehingga efek dari suatu gerakan akan lebih besar.[28] Dalam hal ini, hubungan dan komunikasi antara pusat dan daerah sangat diperlukan. Selain itu pengorganisasian konstituensi berbasis kepentingan dan organisasi massa, seperti buruh, petani, nelayan, perlu dilakukan. Kedua, para aktivis prodemokrasi agar bersedia berjuang juga dalam tataran political society. Terus terang harus diakui bahwa medan perjuangan ini cukup berat karena para aktivis dihadapkan kepada dua lawan utama, yaitu pertama kekuatan konservatif yang tetap menginginkan struktur kekuasaan otoritarian. Kedua, melawan diri sendiri terhadap godaan politik yang mungkin sangat menggiurkan.
Ketiga, gerakan prodemokrasi bekerja sama dengan elite politik dalam proses kebijakan publik tetapi tidak ikut menjadi bagian dari masyarakat politik (cooperation without cooptation). Hal itu dapat dilakukan dengan membentuk forum diskusi secara lebih permanen untuk membicarakan dan merumuskan rencana kebijakan yang dianggap cukup strategis.
Dengan mencermati perkembangan politik selama lebih kurang sembilan tahun dapat diproyeksikan bahwa politik Indonesia ke depan akan sangat diwarnai oleh pertarungan antara masyarakat sipil dan masyarakat politiknya (civil society vis a vis political society). Peran masyarakat sipil akan semakin berkurang sejalan dengan pembangunan lembaga-lembaga politik yang dapat menopang bangunan demokrasi serta kultur politik demokratis yang akan memberikan roh bagi kehidupan demokrasi.
Kesimpulan
Kecenderungan oligarki parpol yang terjadi dalam demokrasi seperti sekarang ini hendaknya diantisipasi dengan menempatkan partisipasi masyarakat pada posisi yang sebenarnya. Masyarakat bukanlah sebagai hamba (client) melainkan sebagai warga (citizen). Jika hamba memperlihatkan kepatuhan secara total, kalau konsep warga menganggap bahwa setiap individu adalah pribadi yang utuh dan mempunyai hak penuh untuk memiliki. Selanjutnya, masyarakat bukan dalam posisi yang diperintah tetapi sebagai mitra sejajar (partner) bagi pemerintah dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan. Partisipasi bukanlah pemberian pemerintah tetapi sebagai hak warga masyarakat. Sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, masyarakat bukan sekadar obyek pasif penerima manfaat kebijakan pemerintah, tetapi sebagai aktor atau subyek yang aktif menentukan kebijakan.
Disisi lain, guna menghindari oligarki yang terus menerus dilakukan oleh segelentir elite-elite parpol yang duduk diparlemen atau pemerintahan yang mengatas namakan rakyat, maka solusi yang ditawarkan adalah:
a. Pemberdayaan masyarakat:
Kenyataan apa yang dipahami oleh masyarakat tentang aktivitas politik sampai saat ini hanyalah sekedar arahan tentang keterlibatan mereka dalam pemberian voting di pemilu. Bila dicermati lebih jauh lagi, proses ”penyambungan suara” itu pun hanya berhenti pada sekedar memilih warna/gambar partai/gambar caleg dan secara umum rakyat tidak bisa mengetahui dan memahami siapa sebenarnya wakil mereka, sejauh mana konsistensi pelaksanaan tugasnya, bahkan lebih jauh lagi mereka tidak/belum pernah mengenal individunya. Ketika dalam prakteknya para wakil yang telah dipilih rakyat ini telah menyuarakan pendapatnya di parlemen, sebenarnya mereka tidaklah mewakili rakyat diparlemen tetapi lebih banyak mewakili pribadinya sendiri. Sampai disini, keberadaan ”wakil-wakil rakyat” bagi rakyat yang memilihnya bagaikan ”panggang jauh dari api” dan tak ada arti. Keberadaan parpol yang seharusnya sebagai kontrol berjalannya kebijaksanaan sistem, kenyataannya di Indonesia tidak berjalan sebagaimana yang diinginkan. Suara-suara vokal yang mengkritik berbagai kebijaksanaan hanyalah sebatas suara individu, termasuk bagi mereka yang berada di parlemen. Pemberdayaan masyarakat perlu dilakukan agar rakyat dapat menuntut kepada wakilnya diparlemen jika mereka tidak bekerja sesuai dengan apa yang telah dijanjikan dalam kampanye. Mekanisme ini harus diciptakan dan dilembagakan dalam suatu produk Undang-undang, atau diintegrasikan dalam UU Parpol atau UU Pemilu.
b. Membangun masyarakat yang kritis:
Menanggapi persoalan ini, yang harus kita perhatikan dalam rangka memperbaiki kesadaran politik rakyat agar mampu menjadi masyarakat yang kritis antara lain negara harus membiarkan rakyat mengenal dan memahami makna politik yang sebenarnya. Atau dengan arti lain, rakyat memiliki kesempatan untuk menerima pendidikan politik. Karena selama ini baik negara atau parpol, sama sekali lalai dalam memberikan pendidikan politik bagi rakyat. Kampanye yang sering parpol gembar-gemborkan sebagai pendidikan politik sejatinya hanyalah partisipasi yang di mobilisasi (mobilized participation) dan bukan partisipasi bagi penciptaan masyarakat yang kritis dan melek politik.
c. Membangun masyarakat yang saling percaya:
Rakyat berada pada posisi yang sangat lemah bila berhadapan dengan pemerintah. Dalam pembentukan kebijakan publik misalnya, rakyat mengalami proses alienasi dan saling tidak percaya baik antar sesama rakyat atau antara rakyat dengan wakilnya di parlemen. Selama ini, kebijakan publik merupakan dominasi dari sekelompok elit politik yang berkuasa. Sementara itu, rakyat diwajibkan untuk menyukseskan implementasi politik tanpa pernah terlibat merumuskannya. Kasus pembebasan tanah, penggusuran dan pada umumnya pembentukan kebijakan nasional merupakan sesuatu yang riil dalam kehidupan politik kita, yang memperlihatkan kebenaran dugaan bahwa rakyat mengalami alienasi hingga masyarakat tidak percaya kepada pemerintah. Bila dilihat dari proses sosialisasi politik, individu atau masyarakat tidak terbiasa untuk membentuk jati dirinya yang bersifat mandiri. Maka, negaralah yang musti membimbing dan membangunnya agar masyarakat tidak merasa teralienasi.
d. Seleksi elite-elite yang ketat di internal partai politik:
Kemandekan politik dan terjadinya oligarki berhubungan dengan kualifikasi para politisi bangsa ini. Dengan kata lain, pemikiran dan cara pandang politik para politisi belum sanggup membuat mereka mendorong suatu era politik kearah yang bersih dan progresif. Cara pandang mereka yang terkait erat dengan pendidikan formalnya dalam menganalisis realitas kehidupan sosial politik belum cukup berkembang. Pada titik ini, penilaian tentang kualifikasi kepada politisi perlu dilakukan dengan sepenuhnya menerapkan perspektif yang tidak deterministik. Seleksi bakal calon diinternal partai harus dilakukan dengan ketat dan terbuka, tidak hanya didasarkan pada faktor like and dislike dari pimpinan atau elite-elite parpol lain. Seleksi juga tidak hanya bagi mereka yang memiliki jabatan di struktural parpol, tetapi kader akar rumputpun perlu diberi kesempatan untuk ikut berkompetisi dalam seleksi.
e. Pembatasan masa jabatan anggota parlemen:
Cara ini memang tergolong radikal dan tidak populer, tetapi sadarkah kita jika elite-elite politik yang berkuasa di birokrasi atau terutama yang berada dalam parlemen hanya manusia yang itu-itu saja. Walaupun ada muka-muka baru yang bermunculan, jumlahnya relatif sangat sedikit. Bisa jadi, orang semacam Soetardjo Soerjogoeritno dari PDIP, atau Aisyah Amini dari PPP akan sampai mati berada di parlemen jika mereka terus-terusan ”dipilih” oleh rakyat. Sementara itu diluar, masih banyak kader-kader bangsa (tentunya kader parpol yang bersangkutan) yang potensial tersisih karena mekanisme bakal calon legislatif adalah bagi mereka yang dekat dengan pimpinan parpol dan memenuhi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) atau yang disesuaikan dalam pemilu, dengan kata lain ”seumur hidupnya”.
f. Kultur partai politik harus berubah:
Praktik nepotisme (sempalan kkn, red) dalam internal parpol menjadi penyakit dan bahkan kanker yang menggerogoti. Sebab-musababnya dianggap berasal dari vested of interest orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu. Pada titik ini, pola pikir dilakukan dengan cara radikal karena mengandaikan bahwa bukan pemikiran yang clear and distinct yang bisa membimbing kepentingan, melainkan kepentinganlah yang seringkali mengendalikan pemikiran. Jika terjadi korupsi, kolusi atau nepotisme, kita mengandaikan bahwa tindakan itu menyimpang dari jati diri. Apabila diandaikan bahwa sudah ada esensi kebangsaan yang terdiri dari kejujuran, kesopanan, dan segala sifat-sifat baik. Maka, KKN adalah penyimpangan dari esensi itu. Pada titik ini kita sebaiknya belajar dengan sungguh-sungguh pada nilai eksistensi yang membentuk esensi dan bukan esensi yang membentuk eksistensi. Disisi lain, kultur di parpol bisa berubah jika dan hanya jika pemimpin di parpol punya itikad untuk merubahnya. Jika tidak, maka kultur di parpol tidak akan pernah berubah dan praktik oligarki akan terus menerus berlangsung karena didukung oleh penyelenggara negara yang tak berdaya membuat regulasi untuk mengatasinya.
Hingga pada akhirnya kita sebagai rakyat tidak bisa menghindari oligarki, karena kecenderungan oligarki selalu ada, dan itu merupakan kenyataan politik. Tetapi bukan berarti tak ada cara untuk mencegah oligarki menjadi sesuatu yang tak seharusnya terjadi. Kedaulatan atas negara pada dasarnya ada pada rakyatnya, bukan pada segelintir orang yang hanya mengatas-namakan rakyat. Pemerintah, harus bisa menjadi subyek pemberi informasi bagi masyarakat dalam rangka pemenuhan hak-hak publik seperti hak untuk tahu (right to know), hak untuk diberi informasi (right to be informed), dan hak untuk didengar aspirasinya (right to be heard and to be listened to).
[1] Joseph Schumpeter. 1947. Capitalism, Socialism, and Democracy, 2nd Editions. New York: Harper
[2] Jumlah parpol yang mendaftar di Departemen Kehakiman dan HAM menjelang pemilu 2004 sebanyak 261 parpol, walau yang lolos seleksi untuk mengikuti pemilu hanya 24 parpol.
[3] Guillermo O’Donnell dan Philippe C. Schmitter. 1993. Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, Jakarta: LP3ES., hal. 6
[4] Juan J. Linz dan Alfred Stepan, “Mendefinisikan dan Membangun Demokrasi”, dalam Ikrar Nusa Bhakti dan Riza Sihbudi, ed., Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat, Bandung: Mizan-LIPI-Ford Foundation, 2001, hal. 25-49.
[5] Ibid, hal. 10-11.
[6] Larry Diamond. 1999. Developing Democracy: Toward Consolidation. Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press; juga terjemahannya dengan judul yang sama (Yogyakarta: IRE, 2003)., hal. 73-116.
[7] Antara lain lihat, Juan J. Linz dan Alfred Stepan, “Mendefinisikan…, op cit, hal. 25-49; juga tulisan Richard Gunther, “Membuka Dialog Mengenai Pilihan Institusional di Indonesia: Sistem Presidensial, Parlementer, dan Semi-Presidensial”, dalam Ikrar dan Riza, ed., Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat, hal. 125-162.
[8] Lihat misalnya Mochtar Pabottingi “Memburuknya Krisis Konstitusi Kita: Mengapa UUD 1945 dan Proses serta Hasil Amandemen Atasnya Tanpa Konstitusionalitas dan Batal Demi Nasion”; juga Bambang Widjojanto, “Kapita Selekta Amandemen (Problematik Perubahan UUD 1945)”, masing-masing dalam Riza Sihbudi dan Moch. Nurhasim, ed., Amandemen Konstitusi dan Strategi Penyelesaian Krisis Politik Indonesia, hal. 447-474 dan hal. 475-484.
[9] Tentang ini lihat, Saldi Isra, “Keniscayaan Komisi Konstitusi”, dalam Kompas, 23 April 2002.
[10] Sistem perwakilan bicameral yang kuat diperlukan tidak hanya untuk memperluas basis keterwakilan parlemen –yang mencakup wakil rakyat dan wakil daerah—melainkan juga memperkokoh tegaknya prinsip checks and balances di dalam relasi Presiden dan parlemen. Dalam konteks Amerika Serikat sebagai model terbaik bagi presidensialisme, keberadaan wakil negara bagian diperlukan untuk meminimalkan produk legislasi yang terburu-buru dan sembrono. Lihat, Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, 2000, hal. 80.
[11] Untuk Apa DPD RI, Jakarta: Kelompok DPD di MPR RI, 2006.
[12] Akibat kekacauan konstitusional tersebut maka tidak mengherankan jika kita menyaksikan peristiwa politik yang “aneh tetapi nyata” yakni ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus menyampaikan pidato kenegaraan secara terpisah, masing-masing di depan Sidang Paripurna DPR dan Sidang Paripurna DPD, padahal kedua Dewan tersebut merupakan satu kesatuan parlemen. Dampak kekacauan konstitusional itu pula yang menjelaskan munculnya konflik kelembagaan segitiga antara MK, KY, dan MA dewasa ini.
[13] Lihat juga Arbi Sanit, “Koherensi Perundang-undangan Politik”, Makalah untuk bahan diskusi, 2006.
[14] Untuk diketahui, menjelang Pemilu 2004 sekitar 261 partai politik terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM (sekarang Departemen Hukum dan HAM) yang terdiri dari (1) 24 partai lolos sebagai peserta pemilu; (2) 26 partai tidak lolos verifikasi oleh KPU; (3) 153 partai dibatalkan sebagai badan hukum; dan (4) 58 partai dinyatakan tidak memenuhi persyaratan UU Partai Politik No. 31 tahun 2002. Lihat, Partai-partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009, Jakarta: Penerbit Kompas, 2004.
[15] Tentang adanya konflik dan disharmoni relasi Presiden Yudhoyono dan Wapres Kalla, lihat misalnya Laporan Utama Tempo, edisi tanggal 13-19 November 2006; juga Syamsuddin Haris, “Disharmoni Yudhoyono-Kalla”, dalam Kompas, 8 November 2006.
[16] Heater Sutherland. 1979. The Making of Bureaucratic Elite: The Colonial Transformation of the Javanese Priyayi. Australia: Asian Studies Association of Australia., pp.45. Lebih lanjut, pola patronage atau patron-client pertama kali dikemukakkan oleh James Scott. 1976. Who Rules Britain?. Cambridge: Polity Press
[17] Samuel P. Huntington. 1968. Political Order in Changing Societies. New Haven: Yale University Press., hal. 12-24
[18] Seperti faksi Partai buruh di Inggris (Cyr, 1978) atau Partai Aksi Demokrat (AD) di Venezuela (Coppedge, 1994).
[19] Robert D. Putnam, et.al. 1993. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy. Princeton: Princeton University Press
[20] Robert Michels. 1949. Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy. Glencoe III: Free Press. Organisasi formal, sesal Michels, tak terelakkan “melahirkan kekuasaan yang terpilih atas para pemilih.... Siapa berbicara organisasi berarti berbicara oligarki. pp. 401
[21] Robert Dahl. 1956. A Preface to Democratic Theory. Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press.
[22] Apa yang terjadi di banyak lagi negara demokrasi yang sudah matang di dunia ini di mana kekuatan mayoritas di parlemen atau legislatif dan di eksekutif selalu dikuasai oleh kekuatan politik mayoritas yang sama ternyata tidak melumpuhkan check and balances.
[23] Muhamad Hatta. 1960. Demokrasi Kita. Jakarta: Panji Masyarakat. Selanjutnya dalam sebuah risalah politiknya, Hatta mengatakan Cita-cita Demokrasi Terpimpin itu, catat Hatta, ”harus didukung oleh kerjasama yang baik antara empat golongan besar yang berpengaruh di dalam masyarakat, yaitu golongan nasional, Islam, komunisme dan tentara”. Lebih tegas Hatta berpendapat, ”Demokrasi Terpimpin Soekarno menjadi suatu diktaktor yang didukung oleh golongan-golongan tertentu”. Yang dimaksud Hatta dengan didukung oleh ”golongan-golongan tertentu” itulah oligarki politik yang harus menuruti kemauan politik Bung Karno.
[24] Kejadian seperti ini saya cermati sejak 2001 di partai politik yang memiliki kursi di DPR RI, utamanya adalah parpol-parpol di daerah.
[25] Disinilah diharapkan civil society memainkan perannya yang maksimal untuk melakukan kritik-ktitik yang relevan dan memberikan pendidikan politik secara tidak langsung kepada masyarakat.
[26] Akibatnya, muncul impian masyarakat terhadap kembalinya rezim sebelumnya. Suatu rezim pemerintahan meskipun represif tetapi dianggap dapat menghadirkan ketenteraman dan kestabilan politik dan ekonomi; meskipun hal-hal tersebut adalah semu semuanya, karena setiap persoalan tidak diselesaikan secara terbuka atas dasar prinsip kesetaraan dan kepentingan bersama, melainkan dipaksa diselesaikan sesuai dengan selera dan versi penguasa.
[27] Misalnya dalam memperjuangkan kepentingan buruh, gerakan prodemokrasi secara ideal dapat mempersatukan buruh dengan menangani isu yang lebih terfokus tetapi mencakup kepentingan seluruh buruh di Indonesia. Namun hal itu tidak mudah dilakukan, sebab pencermatan terhadap perilaku mereka yang dapat disebut gerakan proreformasi (atau prodemokrasi) dewasa ini sangat tercerai berai, terfragmentasi, tidak terorganisir serta terisolasi dari rakyat dan kurang berorientasi kepada kepentingan konstituensi.
[28] Misalnya perjuangan untuk memperkuat hak-hak petani, akan sangat besar efeknya kalau ideologi gerakan berhasil merumuskan isu sentral yang dapat mencakup kepentingan seluruh petani seluruh Indonesia. Konsolidasi jaringan akan membuat daya tawar gerakan akan lebih besar bila berhadapan dengan negara.
No comments:
Post a Comment