Sore tadi, selepas muter-muter kota Bandung untuk menyelesaikan beberapa tugas --aku, Kang AT dan Kang AW-- karena rasa lapar yang membuncah memutuskan untuk makan sore di Restoran Cepat Saji di bilangan Jalan Riau. Kami pesan Paket C-1 yang isinya 2 potong ayam, 1 nasi dan 1 soft drink. Karena diantara kami bertiga cukup gemar merokok, kami memutuskan untuk memilih tempat di luar atau di empire alias emper restoran :). Soal makan jangan ditanya, pasti habis lah sampai ke tulang-tulangnya (khususnya aku), kecuali Kang AT yang membawa sisa ayam dan soft dringk-nya karena katanya "kekenyangan".
Di sela-sela kami makan, persis di bagian luar emperan restoran, terdapat seorang gadis belia (14 tahunan) yang dengan tekun dan santainya menjual koran pagi yang dijual sore (jadi inget lagunya Iwan Fals). Melihat parasnya yang ayu dan sorot mata rembulan yang teduh, aku tidak akan mengira jika dia mau dan dapat melakukan pekerjaan itu. Melihat struktur tubuhnya yang rapi dan terawat, aku kira dia bukan dari keluarga yang, maaf, miskin, sehingga orang tuanya tidak mampu menyekolahkan dia. Akh... aku berfikir terlalu jauh.. Mungkin dia memang berasal dari keluarga tidak mampu, atau dia memang suka dengan pekerjaan tersebut walau orang tuanya mampu untuk menyekolahkan dia.
Sepintas aku amati, dia tidak sungkan ketika bertemu dengan teman-teman sekelas SMP-nya yang bergerombol sedang makan di restoran tersebut. Mungkin yang ada dalam pikirannya, "mereka adalah mereka, dan aku adalah aku". Cara menjual korannya pun dilakukan dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan kebanyakan pengasong koran lain. Kebanyakan, penjual koran --terutama anak-anak kecil yang dikaryakan oleh orang tuanya-- dalam menjual koran dilakukan dengan cara "paksa", yaitu mengikuti setiap langkah kita sambil meratap dan mengiba agar kita membeli korannya. Kadangkala aku sebal dengan gaya penjual seperti itu, walau terkadang aku juga membeli koran jualannya.
Namun, gadis itu, sang rembulan itu, menjual dengan gaya yang berbeda. Mungkin ini "sisi lainnya" sehingga Kang AT pun "tertarik" untuk membeli korannya seharga tiga kali lipat dari harga yang ditawarkannya. Menurut Kang AT, jarang sekali anak seusianya mau dan mampu melakukan pekerjaan itu dengan "sesungguhnya". Makna sesungguhnya adalah, dia menjual koran memang untuk "membantu" biaya sekolahnya, dan bukan dibuat-buat seperti penjual koran kebanyakan seusianya yang menawarkan dagangannya dengan cara paksa dibumbui dengan ratapan dan tangisan cengeng agar kita iba membelinya.
(bersambung....)
Di sela-sela kami makan, persis di bagian luar emperan restoran, terdapat seorang gadis belia (14 tahunan) yang dengan tekun dan santainya menjual koran pagi yang dijual sore (jadi inget lagunya Iwan Fals). Melihat parasnya yang ayu dan sorot mata rembulan yang teduh, aku tidak akan mengira jika dia mau dan dapat melakukan pekerjaan itu. Melihat struktur tubuhnya yang rapi dan terawat, aku kira dia bukan dari keluarga yang, maaf, miskin, sehingga orang tuanya tidak mampu menyekolahkan dia. Akh... aku berfikir terlalu jauh.. Mungkin dia memang berasal dari keluarga tidak mampu, atau dia memang suka dengan pekerjaan tersebut walau orang tuanya mampu untuk menyekolahkan dia.
Sepintas aku amati, dia tidak sungkan ketika bertemu dengan teman-teman sekelas SMP-nya yang bergerombol sedang makan di restoran tersebut. Mungkin yang ada dalam pikirannya, "mereka adalah mereka, dan aku adalah aku". Cara menjual korannya pun dilakukan dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan kebanyakan pengasong koran lain. Kebanyakan, penjual koran --terutama anak-anak kecil yang dikaryakan oleh orang tuanya-- dalam menjual koran dilakukan dengan cara "paksa", yaitu mengikuti setiap langkah kita sambil meratap dan mengiba agar kita membeli korannya. Kadangkala aku sebal dengan gaya penjual seperti itu, walau terkadang aku juga membeli koran jualannya.
Namun, gadis itu, sang rembulan itu, menjual dengan gaya yang berbeda. Mungkin ini "sisi lainnya" sehingga Kang AT pun "tertarik" untuk membeli korannya seharga tiga kali lipat dari harga yang ditawarkannya. Menurut Kang AT, jarang sekali anak seusianya mau dan mampu melakukan pekerjaan itu dengan "sesungguhnya". Makna sesungguhnya adalah, dia menjual koran memang untuk "membantu" biaya sekolahnya, dan bukan dibuat-buat seperti penjual koran kebanyakan seusianya yang menawarkan dagangannya dengan cara paksa dibumbui dengan ratapan dan tangisan cengeng agar kita iba membelinya.
(bersambung....)
No comments:
Post a Comment