Friday, August 08, 2008

Kinerja Pemerintah Daerah Hasil Pilkada Langsung

Mempromosikan tata pemerintahan yang baik telah menjadi komponen penting dalam tanggapan-tanggapan pembangunan sesudah peperangan sipil. Secara global, tanggapan-tanggapan seperti ini mencakup penyusunan konstitusi dan desain tata negara; pendirian lembaga-lembaga pengawas (watchdog institutions); komisi kebenaran dan prosedur-prosedur pengadilan pidana; desentralisasi dan tata pemerintahan daerah; pembaruan sektor keamanan; pemilihan umum; penyusunan sistem-sistem pemilu dan partai-partai politik; penyediaan dukungan bagi organisasi-organisasi pembela hak-hak asasi manusia; proyek-proyek pemberdayaan, terutama yang mendorong kerjasama di antara masyarakat yang terbagi dan komite-komite perdamaian (Bappenas, 2004:5).

Tata pemerintahan yang baik dibutuhkan untuk membuat perubahan-perubahan dalam mengalokasi dan menempatkan kekuasaan dan sumber daya di dalam pemerintah dan masyarakat luas, yang dapat menangani alasan-alasan dasar timbulnya konflik serta menciptakan lingkungan yang kondusif untuk membangun perdamaian yang berkelanjutan. Di Indonesia, desentralisasi jelas merupakan salah satu kunci untuk membangun perdamaian berkelanjutan mengingat bahwa tanggung jawab utama untuk pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat kini terletak pada pemerintah daerah. Jika ditangani dengan baik, desentralisasi dapat mendukung pembangunan perdamaian dengan mendorong tindakan-tindakan yang transparan dan bertanggung jawab oleh para pelaku utama, meningkatkan partisipasi lokal dalam proses pembuatan keputusan publik, memberdayakan komunitas-komunitas dan meningkatkan rasa aman rakyat. Desentralisasi juga mendorong kohesi sosial dengan memperkuat hubungan-hubungan vertikal dan horizontal. Dengan membuat administrasi lokal (pemerintah, DPRD, dan LSM) menjadi lebih efisien dan efektif akan meningkatkan kredibilitas mereka di mata masyarakat, terutama kredibilitas kepala daerah sebagai pemimpin pemerintahan daerah.

Akan tetapi, jika ditangani dengan kurang baik dan tanpa mekanisme pertanggungjawaban yang semestinya, realokasi kekuasaan dan sumber daya dapat berakibat pada perebutan kekuasaan yang mungkin berkembang menjadi kekerasan dan menimbulkan trauma di masyarakat. Di samping itu, juga akan menimbulkan pembaruan pemerintahan negatif yang dapat memperkuat struktur-struktur kekuasaan yang tidak seimbang, memungkinkan penguasaan sumber daya oleh para elit, dan perlakuan yang berbeda-beda untuk kelompok-kelompok yang tertentu (terutama berhubungan dengan agama dan suku).

Dengan demikian, kurangnya transparansi pemerintahan akan mendorong timbulnya desas-desus dan prasangka publik yang negatif, sedangkan kurangnya pertanggungjawaban (akuntabilitas) akan cepat menimbulkan asumsi terjadinya korupsi dan ketidakadilan. Semua risiko ini menjadi lebih parah apabila pemerintah daerah c.q. kepala daerah tidak mempunyai kerangka kebijakan yang memadai untuk menangani desentralisasi, memiliki kapasitas yang rendah untuk mewujudkan pembangunan lokal, kurangnya partisipasi yang berarti dari masyarakat setempat dan penggunaan sumber daya yang kurang efektif.

Di sisi lain, proses demokratisasi di Indonesia pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru ditandai oleh beragam disain kelembagaan untuk mempercepatnya. Para aktor yang terlibat di dalamnya, sepertinya diilhami oleh para penganut pendekatan kelembagaan baru (new institutionalism) yang berpandangan bahwa pilihan disain kelembagaan yang dianut oleh suatu negara itu memiliki pengaruh terhadap wajah demokrasi yang dimiliki. Dua ilmuwan politik yang tergolong pelopor pendekatan kelembagaan baru tersebut adalah James March dan Johan Olsen yang mengungkapkan bahwa, ”political democracy depends not only on economic and social conditions but also on the design of political institutions” (March dan Olsen 1984:738).

Pada tahun-tahun awal sejak runtuhnya pemerintahan Orde Baru, disain kelembagaan yang ditempuh untuk menumbuhkan demokrasi di Indonesia adalah melalui pembukaan mekanisme kepartaian yaitu melalui sistem multi partai (multiparty) dan adanya pemilu yang bebas dan adil (free and fair election). Disain tersebut dirancang untuk memenuhi kriteria prosedural dari demokrasi (Dahl, 1971:72). Disain lainnya adalah pemberian kekuasaan dan otoritas yang lebih besar kepada lembaga perwakilan rakyat yaitu Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah (DPR/D). Maksud dari desain tersebut adalah untuk menciptakan situasi atau mekanisme checks and balances antara eksekutif dan legislatif dalam proses pemerintahan di Indonesia.

Namun, fakta dilapangan menunjukkan bahwa disain semacam itu belum cukup kuat menumbuhkan kehidupan demokrasi yang lebih substansial, khususnya berkaitan dengan adanya responsibilitas, akuntabilitas dan transparansi para pejabat politik (elected officers), baik yang duduk di legislatif maupun eksekutif. Dalam berbagai kesempatan dapat dilihat bahwa, kekuasaan yang besar kepada lembaga perwakilan, misalnya, juga kerap disalahgunakan oleh para wakil rakyat (abuse of power). Untuk menutupi kekurangan semacam itu, disain lanjutan kemudian diperkenalkan. Sejak 2004, presiden tidak lagi dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), melainkan oleh rakyat secara langsung. Sedangkan di daerah, pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati atau wali kota), sejak 1 Juni 2005 diserahkan kepada rakyat melalui mekanisme pemilihan langsung. Walau demikian, berbagai disain guna mewujudkan demokrasi yang terkonsolidasi belum tercapai di Indonesia dan masih dalam masa transisi demokrasi berupa demokrasi prosedural di daerah (Marijan, 2002:45).

Terkait dengan hal tersebut di atas, menurut Smith (1998:85), munculnya perhatian terhadap transisi demokrasi di daerah berangkat dari suatu keyakinan bahwa adanya demokrasi di daerah merupakan prasyarat bagi munculnya demokrasi di tingkat nasional. Pandangan Smith yang bercorak fungsional ini berangkat dari asumsi bahwa ketika terdapat perbaikan kualitas demokrasi di daerah (tingkat lokal), maka akan secara otomatis bisa diartikan sebagai adanya perbaikan kualitas demokrasi di tingkat nasional. Berdasarkan studi-studi yang pernah dilakukan di sejumlah negara di berbagai belahan dunia, Smith (1998:85-87) mengemukakan empat alasan untuk asumsinya ini, yaitu:

Pertama, demokrasi pemerintahan di daerah merupakan suatu ajang pendidikan politik yang relevan bagi warga negara di dalam suatu masyarakat yang demokratis (free societies). Hal ini tidak lepas dari tingkat proximity dari pemerintah daerah dengan masyarakat, yaitu lebih dekat.

Kedua, pemerintah daerah dipandang sebagai pengkontrol bagi perilaku pemerintah pusat yang berlebihan dan kecenderungan anti-demokratis di dalam suatu pemerintahan yang sentralistis. Kecenderungan seperti ini, khususnya, terjadi di masa transisi dari pemerintahan yang otoriter menuju pemerintahan yang demokratis. Di dalam transisi ini, pemerintah daerah memiliki posisi tawar menawar yang lebih tinggi atas kekuasaan dan otoritas dengan pemerintah pusat.

Ketiga, demokrasi di daerah dianggap mampu menyuguhkan kualitas partisipasi yang lebih baik dibandingkan kalau terjadi di tingkat nasional. Fakta bahwa komunitas di daerah relatif terbatas dan masyarakatnya lebih tahu di antara satu dengan lainnya dianggap sebagai dasar argumen bahwa partisipasi masyarakat di daerah itu lebih bermakna apabila dibandingkan di tingkat nasional. Partisipasi politik di daerah lebih memungkinkan adanya deliberative democracy, yakni adanya komunikasi yang lebih langsung di dalam berdemokrasi. Keempat, kasus Kolumbia menunjukkan bahwa legitimasi pemerintah pusat akan mengalami penguatan manakala pemerintah pusat itu melakukan reformasi di tingkat lokal. Penguatan legitimasi ini berkaitan dengan tingkat kepercayaan daerah kepada pemerintah pusat, Smith (1998:85-90).

Pandangan yang tidak jauh berbeda dengan Smith dikemukakan oleh Larry Diamond. Dalam kerangka pikiran Diamond, pemerintah daerah, termasuk DPRD, memiliki peran yang cukup penting untuk mempercepat vitalitas demokrasi (Diamond 1999:121-122). Alasan yang dikemukakan oleh Diamond yaitu pertama, pemerintah daerah dapat membantu mengembangkan nilai-nilai dan ketrampilan berdemokrasi terhadap warganya. Kedua, pemerintah daerah dapat meningkatkan akuntabilitas dan pertanggungjawaban kepada berbagai kepentingan yang ada di daerah. Ketiga, pemerintah daerah dapat menyediakan saluran dan akses tambahan terhadap kelompok-kelompok yang secara historis termarjinalisasi. Keempat, pemerintah daerah bisa mendorong terwujudnya situasi dan mekanisme checks and balance di dalam kekuasaan. Terakhir, pemerintah daerah bisa memberikan kesempatan kepada partai­-partai atau faksi-faksi untuk melakukan oposisi di dalam kekuasaan politik.

Dengan demikian, pilkada secara langsung merupakan disain kelembagaan untuk mempercepat proses demokrasi di daerah. Disain ini dimunculkan setelah melihat realitas bahwa penguatan parlemen (DPRD) tidak mampu meningkatkan kualitas demokrasi secara substansial. Sebagaimana di tingkat nasional, adanya pemilu yang demokratis dan sistem multi-partai telah memungkinkan adanya sistem perwakilan yang melibatkan banyak kekuatan (descriptive representation). Tetapi, corak sistem perwakilan seperti itu, di ditambah kekuasaan dan otoritas yang dimiliki tidak lantas membuat adanya interaksi yang lebih baik antara rakyat dan para wakilnya. Yang terjadi adalah adanya pergeseran proses politik saja, dari sebelumnya berpusat di eksekutif kemudian berpindah ke legislatif. Sedangkan sifat dari proses politiknya sendiri tetap sama, yaitu elitis. Pilkada secara langsung dimaksudkan untuk meminimalisasi berbagai kecenderungan tersebut.

Namun, dari berbagai kecenderungan yang ada dan terkait dengan pembiayaan, pilkada secara langsung relatif menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Sedangkan kualitas kepemimpinan kepala daerah hasil pemilihan secara langsung dibandingkan dengan dipilih oleh DPRD belum tentu menunjukkan perbaikan atau perbedaan yang berarti (Marijan, 2002:49). Akan tetapi, apabila ditinjau dari sisi perkembangan demokrasi, pilkada langsung merupakan kemajuan tersendiri bagi proses politik di Indonesia.

Merujuk uraian di atas, pasca keberhasilan dalam pemilihan presiden 2004 secara langsung, wacana dan kehendak publik untuk memperbaiki sistem pemilihan kepala daerah secara langsung di Indonesia makin menguat. Dengan diberlakukannya UU No. 12 tahun 2008 jo UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka pilkada langsung dapat dilaksanakan di Indonesia karena payung hukum bagi pelaksanaan pilkada langsung secara legal formal ada.

Berdasarkan UU tersebut, semakin jelas bahwa proses transisi demokrasi yang sedang berlangsung di Indonesia sejak reformasi 1998 telah menemukan jalan terang guna membangun kesejahteraan rakyat melalui proses pemerintahan yang lebih baik. Begitu juga halnya dengan berbagai proses pilkada di berbagai daerah di Indonesia yang selama ini telah atau akan berlangsung, termasuk proses pilkada di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat. Dengan pilkada langsung, lokus politik telah bergeser dari pemerintah ke pemerintah daerah, dari sentralisasi ke desentralisasi, dari bureaucratic government ke party government, serta dari executive heavy ke legislative heavy.

Secara teoritis, konsep otonomi daerah dan desentralisasi merupakan upaya untuk membuat negara (pemerintah) lebih dekat kepada masyarakat daerah untuk mendorong tata pemerintahan lokal yang lebih demokratis (good governance). Dengan kata lain bahwa, otonomi daerah dan desentralisasi tidak semata-mata untuk membentuk pemerintah daerah yang menjalankan kekuasaan dan menghasilkan kebijakan, tetapi lebih penting dari itu semua yaitu untuk membangkitkan partisipasi dan kompetensi warga terhadap urusannya sendiri, komunitas dan pemerintahan lokalnya.

Secara implisit, konsep otonomi daerah mengarah pada penguatan modal sosial, desentralisasi dan demokrasi lokal. Desentralisasi diharapkan akan menumbuhkan modal sosial dan tradisi kewargaan ditingkat lokal. Partisipasi politik dan demokrasi warga diharapkan akan melahirkan hubungan-hubungan horizontal seperti kepercayaan, toleransi, kerjasama dan solidaritas yang membentuk secara permanen suatu komunitas sipil (civic community). Solidaritas sosial dan partisipasi masal pada gilirannya akan berkorelasi tinggi dengan kinerja pembangunan ekonomi dan kualitas pembangunan demokrasi di daerah.

Lebih lanjut bahwa transisi menuju demokrasi yang telah berlangsung di Indonesia telah menciptakan lingkungan yang lebih terbuka di mana asosiasi dalam masyarakat sipil lebih dimungkinkan untuk berfungsi secara lebih baik. Belajar dari keberhasilan pilpres langsung 2004 dan beberapa pilkada yang telah berlangsung di Indonesia, tentunya masyarakat semakin memiliki kesadaran dan kesiapan yang lebih baik dalam menghadapi momentum politik lokal tersebut, utamanya pilkada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat. Dimana, hal yang paling krusial adalah terkait dengan kualitas pasangan calon dalam pilkada.

Di samping itu, momentum politik lokal berupa pelaksanaan pilkada langsung adalah salah satu bentuk konkret dari perwujudan demokrasi di tingkat lokal yang meletakkan rakyat sebagai subyek yang menentukan, bukan obyek yang ditentukan. Jika pada UU No. 22 Tahun 1999, pilkada dilakukan dan dipilih oleh anggota DPRD, maka sesuai dengan perundangan baru, pilkada dilakukan langsung oleh rakyat daerah. Kepala Daerah menurut perundangan baru tersebut adalah kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis oleh rakyat daerah.

Dengan demikian, sebuah daerah yang kepala daerahnya dipilih melalui mekanisme pilkada langsung (dimana kualitas personalnya telah dinilai dan dipilih oleh rakyat melalui mekanisme pilkada) diharapkan akan memiliki kinerja dalam bidang kepemimpinan pemerintahan yang lebih baik dibandingkan ketika kepala daerahnya dipilih oleh DPRD karena lebih legitimate. Hingga, pilkada langsung yang telah dilaksanakan oleh sebuah daerah otonom diharapkan akan lebih menjamin kesejahteraan masyarakat dengan meningkatnya kinerja pemerintahan dalam bidang pelayanan publik.

Sebagai contoh, Kota Depok sebagai daerah otonom di Provinsi Jawa Barat telah melaksanakan pilkada langsung pada tanggal 26 Juni 2005. Dalam pilkada langsung tersebut, terdapat lima pasangan calon wali kota dan wakil walikota yang berkompetisi. Kelima pasangan calon tersebut adalah pasangan H. Abdul Wahab Abidin dan M. Ilham Wijaya; pasangan Drs. Harun Heryana dan Drs. H. Farkhan; pasangan Drs. Badrul Kamal M.M.dan KH. Syihabudin Ahmad BA; pasangan Drs. H. Yus Ruswandi-H.M. dan Soetadi Dipowongso SH; dan yang terkahir adalah pasangan Dr. Ir. H. Nur Mahmudi Isma'il M.Sc dan Drs. Yuyun Wirasaputra (KPUD Depok, 2005).

Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh KPUD Kota Depok dan/atau hasil sengketa pilkada di pengadilan (baik Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung), maka pada tanggal 26 Januari 2006 ditetapkan bahwa pasangan Dr. Ir. H. Nur Mahmudi Isma'il M.Sc dan Drs. Yuyun Wirasaputra sebagai walikota Depok periode 2005-2010. Setelah pelantikan, Dr. Ir. H. Nur Mahmudi Isma'il M.Sc dan Drs. Yuyun Wirasaputra sebagai walikota dan wakil walikota Depok secara definitif mulai bekerja memimpin Kota Depok.

Terlepas dari hasil sengketa dalam pilkada, pasangan walikota dan wakil walikota Depok merupakan pasangan yang legitimate karena dipilih langsung oleh rakyat dalam mekanisme pemilihan yang demokratis. Berbeda ketika walikota atau bupati yang dipilih oleh anggota DPRD sebagai representasi dari perwakilan rakyat, pilkada langsung merupakan sebuah langkah atau terobosan baru dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia guna mewujudkan demokratisasi di daerah.

Begitu halnya dengan Kabupaten Tasikmalaya, sebagai daerah otonom di Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Tasikmalaya telah melaksanakan pilkada pada tanggal 7 Januari 2006. Dalam pilkada langsung tersebut, terdapat 4 (empat) pasang calon yaitu pasangan Drs. H. Ach­mad Saleh K. dan Drs. H. Tetep Abdulatip, pasangan Drs. H. Tatang Farhanul Hakim, M.Pd. dan H.E. Hida­yat B.A., pasangan Harun Al-Rasjid, S.H., M.H., dan Drs. H. Acep Adang Ruhiat, M.Si., dan pasangan H. Ade Hermawan dan Drs. H. Kiswaya (KPUD Kabupaten Tasikmalaya, 2006).

Berdasarkan data KPU Kabupaten Tasikmalaya, pasangan Drs. H. Tatang Farhanul Hakim, M.Pd. dan H.E. Hida­yat B.A., memenangi pilkada dengan meraih 352.218 suara (43,74%), pasangan Drs. H. Ach­mad Saleh K. dan Drs. H. Tetep Abdulatip meraih 195,216 suara (22,24%), pasangan Harun Al-Rasjid, S.H., M.H., dan Drs. H. Acep Adang Ruhiat, M.Si. meraih 150.161 suara (18,65%), sedangkan pasangan H. Ade Hermawan dan Drs. H. Kiswaya memperoleh 107.666 suara (13,37%).

Berdasar perhitungan suara tersebut, pasangan Drs. H. Tatang Farhanul Hakim, M.Pd. dan H.E. Hida­yat B.A., terpilih dan ditetapkan sebagai Bupati dan Wakil Bupati definitif Kabupaten Tasikmalaya (KPUD Tasikmalaya, 2006). Hal menarik terkait dengan pilkada langsung adalah, masyarakat cenderung memilih figur yang diajukan oleh partai politik dibandingkan dengan figur atau nama besar partai politik apa yang mendukung pasangan calon tersebut. Dalam pemilu legislatif 2004 di Kabupaten Tasikmalaya, Partai Golkar (PG) menduduki posisi 1 (satu), sedangkan dalam pilkada 2006, pasangan Tatang Farhanul Hakim yang diusung oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tampil sebagai pemenang.

Hal lain yang menarik dan menjadi perhatian selain preferensi pemilih terhadap pasangan calon yang berkompetisi dan kepemimpinan kepala daerah terpilih adalah, pilkada langsung diyakini membutuhkan biaya yang sangat besar dalam prosesnya dibandingkan ketika dipilih oleh DPRD. Ketika kepala daerah (baik bupati, walikota maupun gubernur) dipilih oleh DPRD, biaya yang di bebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tidak sebesar dibandingkan dengan pilkada langsung. Permasalahan selanjutnya, selain perkembangan demokrasi di daerah yang semakin baik dengan adanya pilkada langsung adalah kinerja pemerintah daerah, apakah semakin baik dengan adanya kepemimpinan kepala daerah hasil pemilihan langsung tersebut.

Permasalahan tersebut di atas sangat terkait dengan kepemimpinan kepala daerah hasil pilkada langsung dengan kepemimpinan kepala daerah hasil pilihan anggota DPRD sebagai representasi dari rakyat. Apakah dengan mekanisme pilkada langsung tersebut berdampak terhadap peningkatan kinerja pemerintah daerah yang bersangkutan ataukah sebaliknya. Padahal, biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan sebuah proses pilkada sangat besar. Pilkada langsung Kota Depok misalnya, menghabiskan anggaran sebesar Rp.14 milyar, sedangkan ketika dilakukan pemilihan kepala daerah oleh anggota DPRD, hanya menghabiskan anggaran kurang lebih sebesar Rp. 1 milyar (Pemkot Depok, 2005). Begitu juga halnya dengan pilkada langsung di Kabupaten Tasikmalaya yang menghabiskan biaya APBD lebih dari Rp.13 milyar, dibandingkan dengan pemilihan oleh anggota DPRD yang menghabiskan biaya APBD sebesar Rp.1,6 milyar (KPUD Tasikmalaya, 2006).

Di samping itu, dalam era otonomi daerah yang saat ini tengah berlangsung di Indonesia, penting untuk diimbangi dengan peningkatan kinerja yang lebih baik oleh segenap aparatur pemerintah. Hal ini mengingat bahwa dalam era otonomi daerah, akan terjadi fenomena berkembangnya berbagai macam tuntutan dari seluruh lapisan masyarakat agar segenap aparatur pemerintah, baik dari segi kelembagaan, kinerja maupun pelayanan kepada masyarakat dapat melakukan berbagai perubahan menuju ke arah perbaikan.

Salah satu faktor yang sangat menentukan dalam keberhasilan peningkatan kinerja pemerintahan bergantung dari sejauh mana kemampuan kepala daerah dan daya dukung aparat pemerintah daerah terhadap pelaksanaan tugas pokoknya. Walau prematur, harus diakui bahwa berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah terutama yang berkaitan dengan kegiatan pemerintahan sampai saat ini masih bersifat mutual.***

No comments:

Post a Comment

DPRD KABUPATEN PELALAWAN
SIAK SRI INDRAPURA