Di Indonesia, sekolah dasar (enam tahun) dan yang sederajat sudah tercapai secara universal dengan angka partisipasi kasar (APK) lebih dari 100% pada tahun 1994. Oleh karena itu sejak 1994, target telah ditingkatkan untuk mencapai jenjang pendidikan dasar (sembilan tahun), yang mencakup sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah (SD/MI), sekolah menengah pertama dan madrasah tsanawiyah (SMP/MTs) dan bentuk lain yang sederajat. Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun ditargetkan dapat mencapai APK jenjang SMP/MTs sebesar 90% paling lambat pada tahun 2008.
Di sisi lain, target millenium development goals (MDGs) adalah menjamin bahwa sampai dengan 2015, semua anak, di mana pun, laki-laki dan perempuan, dapat menyelesaikan sekolah dasar. Target itu sejalan dengan target Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (wajardikdas), yaitu meningkatkan partisipasi pendidikan dasar dengan indikator kinerja pencapaian Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang SLTP/MTs mencapai 90% paling lambat pada 2008, dan meningkatkan mutu pendidikan dasar yang pada saat ini masih di bawah standar internasional.
Dengan demikian, untuk meningkatkan pembangunan suatu bangsa, diperlukan critical mass di bidang pendidikan. Hal ini membutuhkan adanya persentase penduduk dengan tingkat pendidikan yang memadai untuk mendukung pembangunan ekonomi dan sosial yang cepat. Program wajib belajar pendidikan dasar merupakan salah satu upaya pemerintah dan pemerintah daerah untuk mewujudkan critical mass itu dan sebagai upaya untuk membekali anak didik dengan ketrampilan dan pengetahuan dasar guna melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan dasar juga dapat menjadi bekal guna menjalani kehidupan dalam masyarakat, membuat pilihan-pilihan dan memanfaatkan produk-produk berteknologi tinggi, mengadakan interaksi dan kompetisi antar warga masyarakat, kelompok, dan antar bangsa.
Dalam 20 tahun terakhir, secara umum Indonesia telah mengalami kemajuan di bidang pendidikan dasar. Hal ini ditandai dengan rasio bersih anak usia 7-15 tahun yang bersekolah mencapai angka 94%. Meskipun demikian, Indonesia masih menghadapi masalah pendidikan yang berkaitan dengan sistem yang tidak efisien dan kualitas yang rendah, misalnya anak yang putus sekolah diperkirakan masih sekitar dua juta (Unicef, 2002). Dengan kata lain, Indonesia belum berhasil memberikan jaminan hak atas pendidikan bagi semua anak.
Hal tersebut ditambah dengan masih banyaknya masalah yang harus dihadapi, seperti misalnya kualifikasi guru, metode pengajaran yang tidak efektif, manajemen sekolah dan keterlibatan masyarakat yang rendah serta banyaknya sekolah yang berada dalam keadaan rusak sehingga mengganggu kegiatan belajar dan mengajar. Di sisi lain, sebagian besar anak usia 3-6 tahun kurang mendapat akses aktifitas pengembangan dan pembelajaran dalam pendidikan anak usia dini (PAUD) yang memadai terutama anak-anak yang tinggal di pedalaman dan pedesaan.
Anak-anak Indonesia yang berada di daerah (utamanya daerah tertinggal dan sedang dalam kondisi konflik) sering harus belajar di bangunan sekolah yang rusak karena alokasi anggaran dari pemerintah daerah dan pusat yang tidak memadai untuk melakukan rehabilitasi. Begitu juga halnya dengan keberadaan sekolah-sekolah yang rusak dan belum di rehabilitasi serta sekolah yang kekurangan ruang kelas di Jawa Barat.
Keberadaan sekolah yang rusak diperparah dengan biaya pendidikan yang mahal sehingga banyak anak usia sekolah yang tidak dapat melanjutkan sekolah karena orang tuanya terkendala oleh biaya. Padahal dalam UUD 1945 amandemen ke empat, Bab XIII Pasal 31 ayat (1) disebutkan bahwa “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”; ayat (2) menyatakan bahwa “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Lebih lanjut, guna mewujudkan amanat UUD 1945 tersebut di atas, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Republik Indonesia telah menetapkan Visi Pendidikan Nasional, yakni “Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif Tahun 2025”. Berdasarkan Visi pendidikan nasional tersebut, pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) guna kepentingan pendidikan.
Dalam upaya mencapai alokasi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD, maka dirancanglah sebuah mekanisme kebijakan strategis dalam membagi peran (role sharing) pendanaan pendidikan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, serta Pemerintah Kabupaten dan Kota secara proporsional. Selanjutnya dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 46 dinyatakan bahwa “Pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Masyarakat”. Pesan yang terkandung dalam Pasal 46 tersebut memberikan peluang yang besar bagi terwujudnya pembangian peran antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat secara adil dan proporsional dalam mengatasi masalah pendidikan terutama masalah penuntasan wajardikdas 9 tahun secara umum di Indonesia dan secara khusus di Provinsi Jawa Barat.
Amanat undang-undang di atas selaras dengan Visi Provinsi Jawa Barat yang tertuang dalam Peraturan Daerah No. 1 tahun 2003 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Jawa Barat yaitu “Jawa Barat dengan Iman dan Taqwa sebagai Provinsi Termaju di Indonesia dan Mitra Terdepan Ibukota Negara tahun 2010”. Dalam rangka pencapaian visi tersebut, telah ditetapkan Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2004 tentang Rencana Strategis Jawa Barat tahun 2003-2008 yang menyebutkan Visi Pemerintah Provinsi dalam pembangunan Jawa Barat yaitu “Akselerasi peningkatan kesejahteraan masyarakat guna mendukung pencapaian Visi Jawa Barat tahun 2010”.
Berdasarkan visi akselerasi tersebut, ditetapkan lima prioritas pembangunan Jawa Barat yang dikenal sebagai lima vocal concern yang salah satunya adalah “Meningkatkan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia di Jawa Barat”. Untuk mewujudkan upaya pembangunan sumber daya manusia tersebut diantaranya ada tiga domain yang menjadi agenda Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yaitu (1) percepatan penuntasan wajardikdas 9 tahun; (2) pencegahan drop out (DO); dan (3) pemberantasan buta aksara.
Lebih lanjut dalam rangka percepatan penuntasan dan pelayanan wajardikdas 9 tahun, di Jawa Barat telah dinyatakan sebuah kesepakatan bersama antara Gubernur dengan Bupati/Walikota se-Jawa Barat yang tertuang dalam deklarasi Penuntasan Wajardikdas 9 tahun di Jawa Barat yang ditandatangani pada tanggal 28 Desember 2004. Empat butir hasil deklarasi bersama tersebut antara lain, yaitu (a). membangun komitmen dan sinergitas program dengan semua unsur terkait, (b). mengalokasikan anggaran pembangunan pendidikan dasar secara signifikan, (c). melaksanakan program percepatan penuntasan wajar dikdas 9 tahun dengan meningkatkan angka partisipasi murni (APM) dan angka partisipasi kasar (APK) jenjang pendidikan dasar secara gradual hingga tuntas tahun 2008, dan (d). melaksanakan pemberantasan buta aksara melalui program keaksaraan fungsional.
Langkah untuk meningkatkan APM dan APK jenjang pendidikan dasar secara gradual hingga mencapai target yang direncanakan telah mulai dilakukan secara serius oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat sejak tahun 2005. upaya tersebut antara lain dilakukan dengan miningkatkan angka melanjutkan lulusan SD, MI dan yang sederajat ke SMP, MTs dan yang sederajat hingga mencapai angka 100%, mencegah terjadinya DO pada jenjang pendidikan dasar, terutama disebabkan oleh faktor ekonomi orang tua siswa. Upaya mendorong anak usia 7-15 tahun yang belum sekolah atau tidak sekolah karena DO dari keluarga tidak mampu untuk sekolah. Kesungguhan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat tersebut telah dinyatakan dalam beberapa kebijakan, diantaranya penerimaan siswa baru (PSB) di Provinsi Jawa Barat tahun pelajaran 2006/2007 yang berpihak pada keluarga tidak mampu, penerbitan kartu bantuan Gubernur untuk siswa (bagus), dan beasiswa bakat dan prestasi bagi anak-anak usia sekolah dasar (7-15 tahun) yang berprestasi.
Berdasarkan hasil pendataan pada bulan April 2006, di seluruh Provinsi Jawa Barat terdapat 42.492 ruang kelas Sekolah Dasar (SD), 6.523 ruang kelas Madrasah Ibtidaiyah (MI), 6.767 ruang kelas Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan 2.729 ruang kelas Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang berada dalam kondisi rusak berat, serta kekurangan ruang kelas SMP, MTs sebanyak 7.334 ruang kelas. Untuk memperbaiki (merehabilitasi) sekolah yang rusak dan rusak berat tersebut dibutuhkan dana sekitar Rp 2,8 trilyun yang rencananya akan dilaksanakan selama tiga tahun mulai tahun 2006 sampai dengan 2008. Pembagian proporsi pendanaan yang direncanakan adalah oleh Pemerintah Pusat sebesar 50%, oleh Pemerintah Provinsi sebesar 30% dan Pemerintah Kabupaten/Kota sebesar 20% (Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, 2006).
Untuk mengatasi kondisi kerusakan sekolah/madrasah di Provinsi Jawa Barat tersebut, pada tanggal 24 April 2006, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Gubernur serta Bupati dan Walikota se-Provinsi Jawa Barat telah menandatangani Kesepakatan Bersama No. 119/11/Disdik/2006 tentang program role sharing pendanaan rehabilitasi ruang kelas SD, MI, SMP, MTs, serta pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB) SMP, MTs Negeri dan Swasta di Jawa Barat. Penandatanganan nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) antara Mendiknas, Gubernur serta Bupati dan Walikota se-Provinsi Jawa Barat tersebut dianggap sebagai solusi yang tepat guna menyelesaikan persoalan kerusakan ruang kelas dan pembangunan RKB di Jawa Barat dalam upayanya meningkatkan aksesibilitas dan daya tampung siswa khususnya pendidikan dasar. Program atau kebijakan tersebut akan berimplikasi besar terhadap pembangunan pendidikan di Jawa Barat terutama dalam hal penuntasan wajardikdas.
Rehabilitasi sekolah-sekolah yang rusak dan pembangunan RKB menjadi isyarat bahwa pembangunan pendidikan di Provinsi Jawa Barat terutama dalam menuntaskan wajardikdas mendapat prioritas yang memadai dari berbagai stakeholder terkait. Disadari atau tidak, pembangunan sebuah bangsa atau daerah sangat ditentukan oleh seberapa besar masyarakat mampu mengakses pendidikan terutama pendidikan dasar. Pendidikan dasar sebagai landasan bagi jenjang pendidikan yang lebih tinggi merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh pemerintah dalam membangun negara atau daerahnya. Upaya penuntasan wajardikdas di Provinsi Jawa Barat terkait erat dengan pencapaian Visi Jawa Barat untuk mencapai IPM sebesar 80 pada tahun 2010.
Menyinggung soal sumber pembiayaan role sharing yang pernah menjadi polemik di media massa, role sharing menunjuk pada pasal 4 kesepakatan bersama (MoU) yang menyatakan, (1) Pembiayaan yang timbul akibat pelaksanaan kesepakatan bersama bersumber dari APBN, APBD Provinsi Jawa Barat, APBD Kabupaten/Kota dan sumber dana lainnya yang sah dan tidak mengikat; (2) Perincian rekapitulasi sharing dana serta jumlah rehabilitasi ruang kelas SD, MI, SMP dan MTs negeri dan swasta, serta pembangunan ruang kelas baru SMP dan MTs negeri dan swasta di Jawa Barat, didasarkan pada hasil pendataan oleh pihak kedua (Provinsi Jawa Barat) dan pihak ketiga (Kabupaten/Kota). Kesepakatan bersama tersebut berlaku untuk jangka waktu tiga tahun terhitung sejak tanggal ditandatangani MoU yaitu pada 24 April 2006, dan dapat diperpanjang sesuai kesepakatan, dengan ketentuan setiap tahun diadakan evaluasi untuk menentukan langkah tindak lanjut.
Pemerintah melalui APBN Tahun Anggaran 2006-2007, telah mengalokasikan dana untuk rehabilitasi gedung sekolah di Provinsi Jawa Barat sebesar Rp 824,994 miliar. Dana ini disalurkan melalui dana dekonsentrasi dan dana alokasi khusus (DAK). Sementara itu, berdasarkan komitmen pendanaan role sharing yang bersumber dari APBD 2006-2007, pada tahun 2006 Provinsi Jawa Barat mengalokasikan dana dekonsentrasi untuk rehab ruang kelas SMP dan pembangunan RKB SMP sebesar Rp.150,145 miliar. Sedangkan dari DAK 2006, Provinsi Jawa Barat mengalokasikan dana sebesar Rp 224,150 miliar untuk rehab ruang kelas SD, termasuk di dalamnya dana peningkatan mutu pendidikan.
Lebih lanjut, pada APBD Tahun Anggaran 2007, Provinsi Jawa Barat mengalokasikan dana Rp.127,400 miliar untuk rehab ruang kelas dan pembangunan RKB SMP. Sedangkan dari DAK 2007 mendapat alokasi dana Rp.323,299 miliar untuk rehab ruang kelas SD, termasuk di dalamnya dana untuk kegiatan peningkatan mutu pendidikan.
Dalam peraturan Mendiknas No. 4 tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis (Juknis) Pelaksanaa DAK 2007 tertanggal 29 Januari 2007 disebutkan, yang dimaksud DAK adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang menjadi urusan daerah dan merupakan prioritas nasional, khususnya dalam upaya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat.
DAK bidang pendidikan dialokasikan untuk menunjang pelaksanaan wajardikdas yang bermutu. Alokasi DAK bidang pendidikan untuk tahun anggaran 2007 secara nasional ditetapkan Rp. 5 triliun lebih. Penggunaan DAK bidang pendidikan, menurut Permendiknas No. 4 tahun 2007 disebutkan, penggunaan DAK bidang pendidikan kategori I (rehabilitasi dan peningkatan mutu) diperuntukkan bagi kabupaten/kota yang masih memerlukan program rehabilitasi sekolah. Kegiatannya mencakup rehabilitasi fisik sekolah dan pengadaan sarana pendidikan, serta sarana perpustakaan dengan perbandingan penggunaan DAK ditetapkan 60:40 dengan perincian 60% untuk rehabilitasi fisik sekolah dan 40% pengadaan sarana pendidikan dan sarana perpustakaan. Untuk kategori II (peningkatan umum), penggunaan DAK bidang pendidikan diperuntukkan bagi kabupaten/kota atau sekolah yang sudah tidak memerlukan lagi program rehabilitasi sekolah. Kegiatannya meliputi, rehabilitasi atau membangun ruang perpustakaan serta pengadaan sarana pendidikan dan sarana perpustakaan.
Pada tahun terakhir ini, kita lihat apakah mekanisme pendanaan role sharing dana rehabilitasi sekolah di Jawa Barat telah dilaksanakan dengan benar dan dapat menunjang pelayanan wajardikdas?***
No comments:
Post a Comment