Saturday, May 08, 2010

TINDAK LANJUT PEMBATALAN UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN

I. DASAR HUKUM PEMBATALAN BADAN HUKUM PENDIDIKAN (BHP)
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor: 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009, Tanggal 31 Maret 2010, telah membatalkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

II. PERTIMBANGAN PEMBATALAN BHP:
  1. Mahkamah Konstitusi tidak menemukan alasan yang mendasar diperlukannya penyeragaman penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dalam bentuk badan hukum pendidikan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang BHP.
  2. Undang-Undang BHP yang menyeragamkan bentuk hukum badan hukum pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat (Badan Hukum Pendidikan Masyarakat) adalah tidak sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara Nomor 021/PUU-IV/2006 tanggal 22 Februari 2007.
  3. Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) dan Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD) yang diatur dalam Undang-Undang BHP tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional dan menimbulkan ketidakpastian hukum, padahal menurut Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), negara mempunyai peran dan tanggung jawab yang utama.
  4. Meskipun keberadaan BHPP dan BHPPD sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang BHP bertentangan dengan UUD 1945, namun tidak semua prinsip yang diterapkan dalam BHPP dan BHPPD bertentangan dengan UUD 1945.
  5. Penyelenggaraan pendidikan harus menerapkan prinsip nirlaba (tidak mencari keuntungan) dalam pengelolaan pendidikan adalah benar dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Meskipun demikian, prinsip nirlaba itu tidak hanya dapat diterapkan di dalam BHP, tetapi dapat diterapkan pula dalam bentuk-bentuk badan hukum penyelenggara pendidikan yang lain.

III. PERTIMBANGAN PARA PEMOHON UJI MATERIL (TERCANTUM DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 11-14-21-126 DAN 136/PUU-VII/2009, TANGGAL 31 MARET 2010), ANTARA LAIN:
  1. Undang-Undang BHP sama sekali tidak memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat, akan tetapi justru meniadakan yayasan dan sebagainya yang sudah eksis.
  2. Undang-Undang BHP tidak mencerminkan kebhinnekaan tetapi justeru penyeragaman yang tidak perlu.
  3. Pembuatan Undang-Undang BHP telah tidak mengindahkan asas-asas yang termaktub dalam kaedah UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan serta mengabaikan fakta sosial yang ada, yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, terutama terkait dengan kedudukan dan peran badan hukum yayasan, perkumpulan, wakaf dan lain sebagainya sebagai pelaksana satuan pendidikan formal.
  4. Undang-Undang BHP sebagai subjek hukum baru telah mematikan satu subjek hukum lain di luarnya yakni yayasan, perkumpulan, wakaf dan lain sebagainya dalam melaksanakan pendidikan.
IV. MASUKAN TINDAK LANJUT PEMBATALAN BHP (UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN):
  1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan tidak terlepas dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Pasal 53 yang menyatakan:

Pasal 53:
(1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
(2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.
(3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.
(4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri.
Untuk itu, perlu dipikirkan dan dikaji keberadaan Pasal 53 tersebut di atas.

Pengaturan penyelenggaraan pendidikan:
1) Tetap mendasarkan pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Alinea Ke-4 yang berbunyi: “........ dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.......”
2) Disamping itu, juga mendasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 31 yang berbunyi:
Pasal 31:
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
3) Memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan dalam bentuk pengelolaan yang tidak seragam yaitu antara lain badan hukum pendidikan, badan hukum yayasan, badan hukum perkumpulan, badan hukum wakaf sebagai pelaksana satuan pendidikan formal dengan tetap memegang prinsip nirlaba (tidak mencari keuntungan).
4) Pembiayaan Satuan Pendidikan Negeri pada dasarnya sepenuhnya menjadi tanggungjawab pemerintah. Namun demikian untuk meningkatkan kualitas pendidikan Satuan Pendidikan Negeri tersebut dapat menggali sumber biaya lain yaitu melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
5) Untuk Satuan Pendidikan Tinggi Negeri yang saat ini telah menerapkan BHP, perlu diambil langkah-langkah:
(1) Pengkajian dampak pembatalan Undang-Undang BHP, utamanya terkait dengan kepentingan peserta didik/mahasiswa, pengelolaan akademik, dan pengelolaan manajemen kampus.
(2) Dipersiapkan dasar hukum pengganti Undang-Undang BHP, dengan prinsip:
• Adanya jaminan kebebasan akademik dalam kampus.
• Memberikan kesempatan yang sama bagi lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas untuk mengikuti pendidikan tinggi.
• Adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan manajemen kampus.
• Nirlaba/nonprofit dalam pengelolaan pendidikan.
• Kemandirian pengelolaan akademik dan pengelolaan manajemen kampus dibawah koordinasi, supervisi dan pengendalian Kementerian Pendidikan Nasional.

V. LAIN-LAIN
Terkait dengan pembatalan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, maka perlu dipikirkan kembali pengaturan yang terkait dengan Pendidikan Kedinasan, yaitu antara lain:
1. Pengertian pendidikan kedinasan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 15 dan Pasal 29, yang berbunyi:
Pasal 15:
Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
Penjelasan Pasal 15:
“......... pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus........”

Pasal 29:
(1) Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah non departemen.
(2) Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah non departemen.
(3) Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan non formal.
(4) Ketentuan mengenai pendidikan kedinasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Kenyataan saat ini, pendidikan kedinasan lebih banyak diselenggarakan pada Program Strata Satu (S-1), Program Diploma (D-I, D-II, D-III dan D-IV) dan pendidikan tingkat dibawahnya.
Untuk itu, agar pengertian pendidikan kedinasan dapat mengakomodir seluruh tingkatan pendidikan yang memang masih diperlukan oleh kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian, termasuk kepentingan Kementerian Dalam Negeri yang bertanggungjawab mendidik kader-kader pamongpraja yang ditugaskan diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Terkait dengan angka 1 tersebut di atas, maka perlu ditinjau kembali Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2010 Tentang Pendidikan Kedinasan, antara lain:

1) Pasal 1:
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Pendidikan kedinasan adalah pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh kementerian, kementerian lain, atau lembaga pemerintah non kementerian yang berfungsi untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai negeri dan calon pegawai negeri.
2. Pendidikan profesi adalah pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus.

2) Pasal 24
(1) Satuan pendidikan kedinasan yang diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional wajib diubah dengan memilih salah satu alternatif sebagai berikut:
a. Untuk pendidikan kedinasan yang peserta didiknya pegawai negeri dan calon pegawai negeri, baik pusat maupun daerah, tersedia 4 (empat) alternatif penyesuaian:
1) Pendidikan kedinasan yang bersangkutan dijadikan pendidikan dan pelatihan pegawai yang diselenggarakan oleh kementerian, kementerian lain, atau LPNK yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, untuk memenuhi kebutuhan akan keterampilan pegawai;
2) Pendidikan kedinasan yang bersangkutan dipertahankan tetap menjadi pendidikan kedinasan yang memenuhi semua persyaratan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, untuk memenuhi kebutuhan akan pendidikan profesi, spesialis, dan keahlian khusus lainnya;
3) Pendidikan kedinasan yang bersangkutan dialihstatuskan menjadi badan hukum pendidikan, yang kementerian lain atau LPNK yang bersangkutan sebagai pendiri memiliki representasi dalam organ representasi pemangku kepentingan, untuk memenuhi kebutuhan akan pendidikan menengah, pendidikan tinggi vokasi, dan pendidikan tinggi akademik;
4) Pendidikan kedinasan yang bersangkutan dialihstatuskan menjadi badan hukum pendidikan, yang kementerian lain atau LPNK yang bersangkutan sebagai pendiri memiliki representasi dalam organ representasi pemangku kepentingan, untuk memenuhi sekaligus semua kebutuhan sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1), angka 2), dan angka 3).
b. Untuk pendidikan kedinasan yang peserta didiknya bukan pegawai negeri dan bukan calon pegawai negeri, tersedia 3 (tiga) alternatif penyesuaian:
1) Pendidikan kedinasan yang bersangkutan dialihstatuskan menjadi badan hukum pendidikan, yang kementerian lain atau LPNK yang bersangkutan sebagai pendiri memiliki representasi dalam organ representasi pemangku kepentingan, untuk memenuhi kebutuhan sektoral yang berkelanjutan dan memerlukan pengawasan dan penjaminan mutu yang ketat dari kementerian lain atau LPNK yang bersangkutan;
2) Pendidikan kedinasan yang bersangkutan diintegrasikan dengan perguruan tinggi negeri tertentu dan setelah integrasi diadakan kerja sama dengan kemasan khusus untuk memenuhi kebutuhan sektoral yang bersifat temporer dan memerlukan pengawasan dan penjaminan mutu yang ketat dari kementerian lain atau LPNK yang bersangkutan;
3) Pendidikan kedinasan yang bersangkutan diintegrasikan dengan perguruan tinggi negeri tertentu atau diserahkan kepada pemerintah daerah jika kebutuhan akan pengawasan dan penjaminan mutu yang ketat dari kementerian lain atau LPNK yang bersangkutan rendah.

VI. PENUTUP
Demikian beberapa pokok pikiran yang dapat kami sampaikan untuk menjadi bahan pertimbangan tindak lanjut dibatalkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

No comments:

Post a Comment

DPRD KABUPATEN PELALAWAN
SIAK SRI INDRAPURA