Thursday, October 25, 2007

Desentralisasi dan Efektivitas Tata Pemerintahan

Pendahuluan
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang dilahirkan berdasar UU 22/1999, yang sekarang telah direvisi dengan UU 32/2004 sekurang-kurangnya didorong oleh dua faktor yang berperan sangat kuat. Pertama, faktor internal yang didukung oleh berbagai protes atas kebijakan politik yang sangat sentralistik di masa lalu. Kedua, faktor eksternal yang dipengaruhi oleh dorongan internasional terhadap kepentingan investasi terutama untuk efisiensi dari biaya yang tinggi sebagai akibat dari rantai birokrasi yang panjang.

Implementasi kebijakan desentralisasi di Indonesia menjadi kebutuhan politik yang penting untuk memajukan kehidupan demokrasi. Bukan hanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sangat heterogen dari segi perkembangan politiknya, namun juga otonomi daerah sudah menjadi dasar bagi tumbuhnya dinamika politik yang diharapkan akan mendorong lahirnya prakarsa, keadilan serta tata pemerintahan yang efektif dan efisien di daerah. Walaupun ada pandangan kritis yang melihat otonomi daerah sebagai jalan bagi eksploitasi dan investasi asing, namun sebagai upaya membangun prakarsa tata pemerintahan lokal yang baik, maka otonomi daerah dapat menjadi alternatif bagi tumbuhnya harapan dan efektivitas pemerintahan daerah, dan bagi kemajuan daerah.

Di samping itu, krisis multidimensional yang melanda Indonesia sejak 1998 telah menyadarkan kepada segenap komponen bangsa akan pentingnya menggagas kembali konsep desentralisasi dalam arti yang sebenarnya. Gagasan penataan kembali sistem desentralisasi bertolak dari pemikiran untuk menjamin terjadinya efisiensi, efektivitas, transparansi, akuntabilitas, dan demokratisasi nilai-nilai kerakyatan dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selama masa Orde Baru, harapan yang besar dari pemerintah daerah untuk dapat membangun daerah berdasarkan kemampuan dan kehendak daerah sendiri ternyata dari tahun ke tahun dirasakan semakin jauh dari kenyataan. Pada akhirnya yang terjadi adalah ketergantungan fiskal dan subsidi serta bantuan Pemerintah Pusat sebagai wujud ketidakberdayaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam membiayai Belanja Daerah sehingga tidak terjadi efektivitas tata pemerintahan daerah.

Analisis
Kritik yang muncul sebelum adanya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sesuai dengan UU No. 22/1999 jo. UU No. 32/2004 adalah pemerintah pusat terlalu dominan terhadap pemerintah daerah. Pola pendekatan yang sentralistik dan seragam yang selama ini dikembangkan pemerintah pusat telah mematikan inisiatif dan kreativitas daerah sehingga proses penyelenggaraan pemerintahan di daeah menjadi tidak efektif. Pemerintah daerah kurang diberi keleluasaan (local discreation) untuk menentukan kebijakan daerahnya sendiri. Kewenangan yang selama ini diberikan kepada daerah tidak disertai dengan pemberian infrastruktur yang memadai, penyiapan sumber daya manusia yang profesional, dan pembiayaan yang adil. Akibatnya, yang terjadi bukannya tercipta kemandirian dan efektivitas pemerintahan daerah, tetapi justru ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.

Dampak dari sistem yang selama ini di anut oleh Indonesia menyebabkan pemerintah daerah tidak responsif dan kurang peka terhadap aspirasi masyarakat daerah. Banyak proyek pembangunan daerah yang tidak menghiraukan manfaat yang dirasakan masyarakat, karena beberapa proyek merupakan proyek titipan yang sarat dengan petunjuk dan arahan dari pemerintah pusat. Pemerintah pusat melakukan campur tangan terhadap daerah dengan alasan untuk menjamin stabilitas nasional dan masih lemahnya sumber daya manusia yang ada di daerah. Karena dua alasan tersebut, sentralisasi otoritas dipandang sebagai prasyarat untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada awalnya pandangan tersebut terbukti benar. Sepanjang tahun 70-an dan 80-an, misalnya, Indonesia mengalami pertumbuhan yang berkelanjutan dan stabilitas politik yang mantap. Namun dalam jangka panjang, sentralisasi seperti itu telah menimbulkan ketimpangan dan/atau ketidakadilan, rendahnya akuntabilitas, lambatnya pembangunan infrastruktur sosial, rendahnya tingkat pengembalian proyek-proyek publik, serta memperlambat pengembangan kelembagaan sosial ekonomi di daerah. Hingga, keluarlah kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang didukung oleh UU tersebut di atas.

Mengikuti logika UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat-Daerah, desentralisasi dalam konteks otonomi daerah diwujudkan dalam bentuk transfer kewenangan, tanggungjawab dan keuangan (fiskal). Transfer kewenangan secara sempit dipahami dan dipraktikkan melalui penyerahan urusan secara luas kepada daerah dan pemangkasan instansi vertikal (dekonsentrasi) yang dulu terdapat di daerah. Desentralisasi keuangan diwujudkan dengan menata kembali perimbangan keuangan dan juga memberikan kewenangan pada daerah untuk menggali dan membelanjakan sumber-sumber keuangan daerah. Secara teoretis, perluasan wewenang pemerintah daerah akan mendorong terciptanya apa yang oleh B.C Smith (1985) sebut dengan tanggungjawab daerah (local accountability), yakni kiranya dapat meningkatkan kemampuan dan akuntabilitas pemerintah daerah terhadap masyarakat di daerah.[1]

Otonomi daerah terkait erat dengan otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab. Otonomi luas maksudnya bahwa kewenangan sisa (residu) justru berada di tangan Pusat (seperti pada negara federal); dan nyata berarti kewenangan menyangkut yang diperlukan, tumbuh dan hidup, serta berkembang di daerah; dan bertanggungjawab karena kewenangan yang diserahkan harus diselenggarakan demi pencapaian tujuan otonomi daerah, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik dengan efetivitas pemerintahan daerah, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antar daerah. Otonomi seluas-luasnya atau keleluasaan (discretion) juga mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya melalui perencanaan, implementasi, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Kewenangan yang dialihkan ke daerah disertai pula penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, dan sumber daya manusia.

Transfer kewenangan dari pusat ke daerah seperti ini sebenarnya berdasarkan prinsip negara kesatuan dengan semangat “federalisme”. Sejumlah kewenangan yang dikelola pusat hampir sama dengan yang dikelola oleh pemerintah di negara federal: hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter, dan agama, serta berbagai jenis urusan yang memang lebih efisien ditangani secara sentralistik oleh pusat, seperti kebijakan makro ekonomi, perimbangan keuangan, standarisasi nasional, administrasi pemerintahan, pengembangan teknologi tinggi serta badan usaha milik negara. Daerah propinsi memiliki kewenangan yang bersifat lintas kabupaten/kota, sementara itu kabupaten dan kota memiliki kewenangan wajib diantaranya: (1) pekerjaan umum, (2) kesehatan, (3) pendidikan dan kebudayaan, (4) pertanian, (5) perhubungan, (6) industri dan perdagangan, (7) penanaman modal, (8) lingkungan hidup, (9) pertahanan, (10) koperasi, dan (11) tenaga kerja.

Penentuan jenis kewenangan yang diserahkan kepada propinsi lebih didasarkan pada kriteria efisiensi dan efektivitas pemerintahan daerah daripada kriteria politik. Artinya, jenis kewenangan yang dipandang lebih efisien dan efektif diselenggarakan oleh propinsi daripada pusat ataupun kabupaten/kota. Tentu saja dengan kekecualian bagi kewenangan yang diserahkan kepada propinsi khusus dan istimewa. Dari segi tujuan yang dicapai dengan otonomi daerah (jenis dan jumlah kewenangan) tersebut, tampaknya pertumbuhan ekonomi dan penyediaan infrastruktur lebih menonjol sebagai sasaran yang akan dicapai dari pada peningkatan pelayanan publik kebutuhan dasar dan kesejahteraan rakyat.[2] Menurut UU No. 32/2004, sebagian besar otonomi daerah diberikan kepada Kabupaten dan Kota atas dasar pertimbangan budaya, politik (demokrasi), dan ekonomi lokal.
Catatan Akhir
Implementasi desentralisasi akan melahirkan tata pemerintahan daerahyang efektif dan efisien. Dengan desentralisasi dan otonomi daerah, pemerintah daerah akan lebih jelas mengetahui kebutuhan masyakat lokal. Pemerintah daerah merupakan pihak yang paling dekat dengan rakyat. Secara tidak langsung, pemerintah daerah berwibawa untuk bertindak sebagai penghubung antara pemerintahan pusat dengan rakyat. Dengan implementasi desentralisasi, tata pemerintahan yang efektif akan tercapai sehingga tindakan untuk memperbiki dengan segera dapat diambil sekiranya terjadi masalah dalam pelaksanaan proses pemerintahan atau pembangunan.

Selain dari itu, implementasi kebijakan desentralisasi juga dapat memperbaiki ketajaman perencanaan dan pengurusan di dalam birokrasi pusat dalam rangka menyelesaikan masalah sosial, ekonomi dan politik negara. Implementasi desentralisasi dapat mengurangi beban tugas yang terpaksa ditanggung oleh pemerintah pusat melalui penyerahan kekuasaan dan tanggungjawab kepada unit-unit pengelola pemerintahan daerah.

[1] Brian C. Smith, Decentralization: The Territorial Demension of the State (London, Sydney: Allen and Unwin, 1985).
[2] Ramlan Surbakti, “Otonomi Daerah Seluas-Luasnya dan Faktor Pendukungnya”, www.otoda.or.id

No comments:

Post a Comment

DPRD KABUPATEN PELALAWAN
SIAK SRI INDRAPURA