Pendahuluan
Krisis kepemimpinan (baik di pusat maupun di daerah) selama ini merupakan bentuk simbol dari absennya pemimpin yang memiliki sifat dan karakter kenegarawanan. Pemimpin umumnya memiliki pengaruh dalam suatu kelompok masyarakat yang dapat bersumber dari kepemilikan atas materi atau penguasaan sumber daya lainnya seperti ilmu pengetahuan, agama, adat istiadat, kebijaksanaan (wisdom), kharisma, kewibawaan, dan lai-lain. Melalui penguasaan atas berbagai sumber daya tersebut, pemimpin menjadi figur panutan bagi masyarakat sekaligus dapat berperan sebagai mediator diantara masyarakat (Antlov, 2003).
Kelemahan para pemimpin saat ini (terutama di daerah) adalah penekanan loyalitas hanya pada identitas tertentu, seperti suku, agama, ras dan golongan, sehingga ketika terjadi perbedaan pendapat apalagi konflik kepentingan selalu dicari solusi yang didasarkan pada kepentingan identitas dan kepentingan sesaat, bukan didasarkan pada kepentingan daerah yang lebih luas. Hal ini bukan hanya tercermin dalam perilaku semata, melainkan dari produk-produk hukum (perda) dan semua aturan beserta implementasi dan interpretasinya selalu berdasarkan vested interest, akibatnya instabilitas terjadi di berbagai sektor.
Krisis kepemimpinan (baik di pusat maupun di daerah) selama ini merupakan bentuk simbol dari absennya pemimpin yang memiliki sifat dan karakter kenegarawanan. Pemimpin umumnya memiliki pengaruh dalam suatu kelompok masyarakat yang dapat bersumber dari kepemilikan atas materi atau penguasaan sumber daya lainnya seperti ilmu pengetahuan, agama, adat istiadat, kebijaksanaan (wisdom), kharisma, kewibawaan, dan lai-lain. Melalui penguasaan atas berbagai sumber daya tersebut, pemimpin menjadi figur panutan bagi masyarakat sekaligus dapat berperan sebagai mediator diantara masyarakat (Antlov, 2003).
Kelemahan para pemimpin saat ini (terutama di daerah) adalah penekanan loyalitas hanya pada identitas tertentu, seperti suku, agama, ras dan golongan, sehingga ketika terjadi perbedaan pendapat apalagi konflik kepentingan selalu dicari solusi yang didasarkan pada kepentingan identitas dan kepentingan sesaat, bukan didasarkan pada kepentingan daerah yang lebih luas. Hal ini bukan hanya tercermin dalam perilaku semata, melainkan dari produk-produk hukum (perda) dan semua aturan beserta implementasi dan interpretasinya selalu berdasarkan vested interest, akibatnya instabilitas terjadi di berbagai sektor.
Karenanya, tidaklah mengherankan kalau sampai saat ini di daerah masih belum banyak pemimpin yang memiliki sifat kenegarawanan yang ditandai dengan bertambahnya jumlah penduduk miskin dan meningkatnya pengangguran sehingga memperlemah ketahanan bidang ekonomi. Hal ini salah satunya dikarenakan para pemimpin daerah belum punya dasar moralitas yang kuat dan hanya didasarkan pada hubungan ekonomi yang bersifat eksploitatif yang melahirkan the winners and the loosers (Rachbini, 2001; Petras dan Veltmeyer, 2001; Fakih, M. 2002). Penyebab dari permasalahan tersebut adalah karena rendahnya pemahaman pemimpin daerah tentang kepemimpinan negarawan guna mendukung ketahanan bidang ekonomi.
Analisis
Meningkatnya ketimpangan dan kesenjangan ekonomi, termarjinalisasinya rakyat kecil, meningkatnya penduduk miskin, dan meningkatnya angka pengangguran seharusnya membuat stakeholders di daerah dan terutama pemimpin daerah berfikir ulang tentang konsepsi kepemimpinan negarawan guna membangunan ketahanan ekonomi daerah yang telah dilakukan selama ini. Akumulasi berbagai masalah kesejahteraan masyarakat, terbatasnya kemampuan daerah dalam penanggulangan berbagai masalah tersebut mengakibatkan permasalahan pembangunan daerah di bidang ekonomi menjadi makin kompleks dan apabila tidak ditangani dengan baik dapat mengganggu persatuan dan kesatuan serta stabilitas daerah yang akan berujung pada goyahnya stabilitas nasional.
Secara teoritis, pembangunan ekonomi daerah tidak terlepas dari pembangunan ekonomi nasional yang berimplikasi pada pembangunan dan ketahanan ekonomi daerah. Pembangunan ekonomi pusat-daerah selama ini ternyata hanya terkonsentrasi pada kegiatan ekonomi padat modal, dan tidak menyentuh kegiatan ekonomi padat karya. Akibatnya, walaupun pertumbuhan ekonomi mencapai 6,5% pada tahun 2006 tetapi tidak mampu mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran. Bahkan menurut Hamidi (2004), kecenderungan pola pembangunan ekonomi nasional telah menimbulkan akumulasi pengangguran hampir di setiap daerah di Indonesia. Hal ini jelas bertentangan dengan kebijakan pemerintah saat ini dengan triple track strategy nya yaitu pro-poor, pro-job dan pro-growth. Kondisi tersebut akan sangat mempengaruhi penciptaan stabilitas nasional dan ketahanan ekonomi daerah.
Terkait dengan globalisasi, pemimpin daerah guna mendukung ketahanan ekonomi daerah belum sesuai seperti pola kepemimpinan yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Keadilan tampak begitu jauh bagi rakyat kecil di daerah. Nasib rakyat kecil bukan saja tidak tersentuh oleh pembangunan, akan tetapi malah menjadi korban (victim of progress) dari pembangunan itu sendiri. Mereka dipaksa untuk mengorbankan segala apa yang dimiliki atau dikorbankan demi pembangunan, dan menjadi korban berbagai bentuk pembangunan yang dilakukan selama ini (misalnya penggusuran warga).
Seorang pemimpin yang negarawan mempunyai kemampuan untuk membina hubungan sinergis dengan mitra kerjanya maupun dengan pengikutnya. Dihadapkan pada berbagai perkembangan masalah yang kompleks, keahlian dari seorang pemimpin yang negarawan sangat diperlukan terutama dalam menciptakan hubungan antarmanusia, secara demikian dapat memantapkan profesionalisme dan jati dirinya sebagai seorang pemimpin yang disegani oleh berbagai pihak. Menurut Feith (1962) seorang pemimpin yang negarawan harus memiliki pengetahuan manajerial yang memadai, sehingga mampu mengumpulkan, mengolah, memadukan dan menginterpretasikan segala informasi yang berkaitan dengan tanggungjawabnya sebagai seorang pemimpin.
Dikaitkan dengan perkembangan kontemporer, pemimpin daerah yang berjiwa kenegarawanan harus bersifat demokratis yang berorientasi pada manusia dan memberikan bimbingan yang efisien pada para pengikutnya, dengan penekanan pada kekuatan tim dan partisipasi aktif dari setiap anggotanya. Oleh karena itu, pemimpin daerah seperti ini selalu menghargai potensi setiap individu, mau mendengarkan pendapat orang lain dan menghargai perbedaan pendapat, serta mengakui profesionalisme. Perpaduan antara perilaku dan pendekatan manajerial dengan perilaku demokratis akan melahirkan kepemimpinan daerah yang efektif.
Selain itu, seorang pemimpin daerah yang berjiwa kenegarawanan harus mempunyai wawasan kebangsaan, meskipun tetap hirau terhadap kebutuhan setiap komponen bangsa yang memang secara alami bangsa Indonesia ini telah dirajut oleh segala perbedaan identitas dan kultur (multikulturalism). Berbagai kegagalan pemimpin daerah dan juga nasional dalam mengantisipasi dan merespons kebutuhan masyarakat telah memperkuat tuntutan akan reformasi model kepemimpinan yang tidak terpusat pada pemerintah. Pola kepemimpinan yang desentralistis akan mengubah perilaku pemerintah, baik di pusat maupun daerah, untuk lebih efisien dan profesional dengan tetap menghargai kearifan setempat (indigenous wisdom).
Sifat pemimpin negarawan adalah pemimpin yang dapat menjalin komunikasi dengan baik, mampu meyakinkan pada semua pihak, memperhatikan keamanan dan kesejahteraan rakyatnya, memiliki karakter yang kuat, mampu beradaptasi dengan segala perubahan, memiliki inisiatif untuk menjangkau kemajuan. Oleh karena itu, peran seorang pemimpin daerah yang negarawan seperti itulah yang memadai dihadapkan dengan berbagai perkembangan --yang secara profesional dengan karakter yang kuat-- mampu pula secara berkualitas mengatasi hal tersebut, sehingga dapat menciptakan ketahanan ekonomi daerah, tertib sosial yang pada akhirnya dapat menunjang stabilitas nasional.
Berdasarkan uraian di atas, diharapkan peningkatan pemahaman terhadap kepemimpinan negarawan berdasarkan Pancasila dan UUD1945 dan mengimplemen-tasikannya dengan baik akan dapat memecahkan berbagai persoalan yang mengancam eksistensi daerah tetapi juga dapat memperkuat rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Karenanya pemimpin daerah yang negarawan dengan mengamalkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila sangatlah diperlukan. Ketahanan ekonomi daerah yang berbasiskan ideologi Pancasila diharapkan dapat menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945 dapat meningkatkan partisipasi masyarakat, transparansi, berkeadilan dan demokrasi dan berkelanjutan yang dapat menjaga persatuan dan kesatuan bangsa guna mendukung ketahanan ekonomi daerah.
Catatan Akhir
Kondisi riil saat ini dari pemimpin daerah yang negarawan guna mendukung ketahanan ekonomi daerah masih terus termarjinalkan di tengah arus globalisasi. Pemimpin daerah yang tidak negarawan mengakibatkan kondisi dan ketahanan ekonomi daerah terus terpuruk. Hal ini terlihat dari permasalahan pemerataan baik antar daerah, sektor dan golongan pendapatan; belum adanya jaminan sosial untuk seluruh penduduk dan lemahnya perlindungan fakir miskin dan anak terlantar. Kondisi tersebut bertentangan dengan cita-cita luhur dan tujuan nasional seperti termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945. Salah satu hal yang paling mendasar dari belum di implementasikannnya kepemimpinan negarawan oleh para pemimpin daerah guna mendukung ketahanan ekonomi yang berlandaskan Pancasila juga disebabkan oleh rendahnya tingkat pemahaman para pemimpin daerah terhadap Pancasila.
Oleh karenanya peningkatan pemahaman tentang kepemimpinan negarawan guna mendukung ketahanan ekonomi daerah berlandaskan Pancasila yang tidak teraplikasi hampir satu dekade belakangan ini, harus mampu disikapi dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Pemimpin daerah yang negarawan baik dapat mengatasi berbagai masalah yang dihadapi daerah seperti kemiskinan, pengangguran, dan lainnya dengan berusaha memecahkan berbagai persoalan yang menyebabkan rendahnya pemahaman stakeholders bangsa terhadap ekonomi Pancasila.
Referensi
Antlov, Hans. 2003. Negara dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal, Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
Fakih, M. 2002. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Insist Press bekerjasama dengan Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Feith, Herbert. 1962. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Ithaca and London: Cornell University Press.
Petras, J. And H. Veltmeyer. 2001. Globalization Unmasked: Imperialisme in the 21 st Century. Zed Books Ltd. United Kingdom.
Rachbini, J. 2001. Mitos dan Implikasi Globalisasi: Catatan untuk Bidang Ekonomi dan Keuangan. Dalam Paul Hirst dan Grahame Thompson,
No comments:
Post a Comment